Senin, 10 Maret 2014

Kaumnya dan Kaumku


Jarum menunjukkan pukul 11 malam, ketika ku lihat dari sudut mataku, kerlipan lampu indikator di handphoneku yang menyala.  Sebuah chat baru dari sahabatku di pulau seberang.  Stabilokuning.  Give me a hug, please.  A very warm and huge hug.”

Segera ku hubungi dia.  Agak lama kutunggu sambutan suara nyaring diseberang sana.  Bahkan pada panggilan ketiga, baru terdengar suaranya.  Agak sengau.

 Stabilokuning:  Holla.. (dengan suara sengaunya).

 Aku:  Kenapa kamu?  (nada suaraku memelan, khawatir atas dirinya).

 Stabilokuning:  Kenapa pake acara nelpon sih?  Wong aku cuma mau chatingan doang..

 Aku:  Biasa, lagi kaya ni, kemarin baru dikirim pulsa sama mama.

 Stabilokuning:  Dasar kamu, pelaku papa minta pulsa.  Aku laporin pak RT baru tau ntar (tertawa)

 Aku:  (Tertawa)  Lah, emang bener.  Aku kemarin baru diisin pulsa nyasar sama orang.  Pas udahannya, dia sms, “Pulsanya udah mamah kirim ya pah”.  Lah, ya aku happy.  Masa mau aku balikin pulsanya?  

 Stabilokuning:  (Tertawa dari kejauhan)  Iya, iya, percaya deh papah.  (Terdiam)

 Aku: So, piye, piye?  Ada berita apa cuyung?

 Stabilokuning:  (Menghela nafas, ringan)  Nggak ada apa-apa, cuma pengen ngalem-ngaleman aja sama kamu.

 Aku:  Emang aku cowok apaan, tempat kamu ngalem-ngalem?  Dadaku nggak cukup bidang untuk menampung kamu dan cewekku.

 Stabilokuning:  (Tertawa tergelak)  Nampung-nampung, emangnya kita air  hujan pake ditampung-tampung.  Kan cuma lewat chat doang, aku juga nggak butuh dada kamu yang nggak bidang itu.  Buat cewekmu ajalah.  

 Aku: Piye jadi?  Kenapa kamu?

 Stabilokuning: (Hening)

 .......


Percakapan kami berlanjut hingga beberapa puluh menit.  Intinya, dia sedang berpikir kritis.  Dia mengkritisi kaumku.  Sebuah kaum yang menurutnya merupakan kaum yang seharusnya lebih dalam segala hal dibanding kaumnya. 

Dia menggugat.  Mengapa kaumku sering menggunakan alasan bahwa kaumnya lebih baik dari kaumku? Sehingga kaumku merasa bahwa kaumku itu tidak pantas untuk kaumnya.  Dia heran, mengapa jika memang kaumku merasa seperti itu, bukannya malah berusaha untuk menjadi lebih daripada kaumnya, kaumku justru mundur dan melarikan diri.  Dia tak habis pikir, jika memang kaumku merasa kaumnya lebih baik daripada kaumku, mengapa kaumku mencoba mendekati kaumnya dari awal, dan menjebak kaumnya dalam perasaan semu belaka.

Dia bertanya, mengapa kaumku justru merasa takut atas kelebihan yang dimiliki kaumnya dibanding kaumku?  Bukankah seharusnya kaumku merasa bangga dapat bersanding dengan kaumnya yang menurut kaumku memiliki sejuta kelebihan itu?  Dia ingin tahu, jika memang kaumku tidak ingin bersanding dengan kaumnya yang berpendidikan cukup baik, mengapa kaumku tidak mencari kaumnya yang tidak berpendidikan sama sekali?  

Dia ingin kaumku tahu, bahwa sesungguhnya pandangan yang dibentuk oleh kaumku atas kehebatan kaumnya, adalah murni, semata-mata merupakan penilaian kaumku atas kaumnya.  Penilaian yang terkadang diberikan secara berlebih, yang terkadang justru menjerumuskan kaumku sehingga merasa kecil dihadapan kaumnya.

Dia ingin jawaban, mengapa terkadang kaumku tak juga lantas maju untuk mengambil kesempatan yang sudah ditawarkan  oleh kaumnya?  Atas kesetiaan dan kesabaran serta kasih sayang yang tak akan berkesudahan.

Aku diam.  Dalam kondisi seperti itu, sahabat manisku itu tak membutuhkan balasan.  Dalam kondisi seperti itu, dia hanya ingin didengar segala keluh kesahnya.   Sebab aku tahu, dia tidak sedang bersedih.  Mungkin kesedihannya sudah dipendamnya di sudut hati terdalam, tak ingin dimunculkan lagi.  Yang ada, hanyalah guratan kekecewaan.  Atas perwakilan kaumku yang tak mampu menjawab semua gugatan  maupun pertanyaan yang diutarakannya padaku.  Atau justru yang telah memicunya untuk menggugat dan bertanya seperti itu.

Sahabatku ini memang tidak menyebutkan objek pembicaraannya.  Namun aku tahu, siapakah perwakilan kaumku yang mampu membuatnya bersuara selaku perwakilan kaumnya.  Sudah cukup lama cerita manis itu terbina antara mereka berdua.  Hanya sekedar cerita manis, yang tak terbingkai dalam suatu ceremonial kecil yang banyak digilai oleh kaumnya.  Belum terbingkai.  Sebuah ceremonial kecil yang setahuku, akan mereka ciptakan di akhir bulan lalu.  Namun tampaknya, mendengar celotehannya selama setengah jam terakhir, ceremonial kecil tersebut tak pernah terjadi.

Hanya beberapa kalimat yang keluar dari mulutku.  Sekedar penghibur, untuk menguatkannya.  Agar tak lantas dirudung duka yang tak berkesudahan.  Agar tak lantas duduk diam dan mematung tanpa pergerakan.  Agar tak lantas menjadi pupus asa.

Namun, setelah gemuruh napasnya terdengar mulai perlahan, beberapa masukan pun aku sampaikan.  Bahwa tidak semua yang dia utarakan benar adanya.  Bahwa tak jarang, kaumku pun bertindak selain yang disebut olehnya.  Bahwa tidak ku perkenankan untuk menyamaratakan penilaiannya itu terhadap kaumku.  Bahwa dia harus lebih legowo  menerima pengalamannya itu.  Bahwa pengalamannya itu tak akan menjadi suatu kesia-siaan.  Bahwa pasti akan ada hal yang baik yang kelak didapatnya.

Pukul 11.50 malam, handphone-ku kembali berkerlip.  Stabilokuning.  Terimakasih ya, Sinaga untuk waktunya.”

4 komentar:

  1. Menurutku, kebanyakan kaummu memang begitu adanya. Penebar janji disetiap hati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Ismie, hati-hati lo dalam membaca tulisanku diatas, terutama dalam penggunaan sudut pandangnya. Aku dan kamu gk beda kok ;)

      Hapus
  2. Aku suka dalam penggunaan sudut pandang penceritanya. Itu baru kusadari ketika masuk di percakapan, ngapain stabilo kuning manggil lawan bicaranya stabilo kuning. Kemudian.. I see. Sungguh manis penceritaannya.

    Namun, sangat disayangkan pesannya kurang masuk dan tidak memberi arti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih pak guru untuk comment-nya.

      Cerita diatas sebetulnya bagian dari 75.000wrds, sehingga tepat adanya ketika pk guru merasa tidak ada pesan maupun arti yang tersampaikan dg baik. :p

      Hapus