Kamis, 15 Agustus 2013

Terawang


Malam menunjukkan pukul sembilan.  Namun gelak tawa masih terdengar ramai.  Disudut jalan itu, temaran lampu jalan menghangatkan suasana.  Deretan kursi dan meja berjajar sepanjang jalan, dikepung gerobak-gerobak tukang makanan.

Tampak di salah satu meja, sepasang anak manusia, duduk saling berhadapan.  Berserak piring bekas makanan diatas meja mereka, tak lupa 2 gelas Es Kelapa Muda yang hanya tersisa es batu saja. 

Mereka tampak serius.  Jika meja lain dihiasi hangat gelak tawa, maka lain halnya dengan mereka.  Sang pemudi sedang menunjukkan kedua telapak tangan, dengan pandangan lurus ke depan. Sang pemuda duduk tegak bersandar udara.  Mimik mukanya serius.  Menatap, mempelajari, menelusuri garis demi garis yang membentuk guratan yang terukir dihadapannya.  Sesekali dia menengadah, sambl memicingkan mata, mencari fokus diantara remang cahaya, melahap sudut demi sudut wajah yang ada dihadapannya.

Palmistry, katanya.  Sang pemuda sedang mencoba unjuk gigi, ilmu baru yang sedang ditekuninya.  Mencoba menjalin suatu kesimpulan yang didasarkan pada garis tangan sang pemudi yang sudah lama tak ditemuinya.  Dipadu dengan Fisiognomi, katanya.  Garis wajah dijadikan dasar untuk mengungkap karakter seorang manusia. 

“Kamu, terlalu keras sama dirimu sendiri.  Semua ingin kamu kerjakan sendiri.  Kamu merasa dirimu serba mampu, layakanya super hero.  Padahal kamu tak lain dari manusia biasa."

Sang pemudi tersenyum.  “Apa butuh garis tangan dan tulang pipi, agar kamu dapat mengungkap satu sikap yang bahkan dihari pertama kita bertemu pun kamu sudah tau?”

“Nggak.  Hanya penegasan, bahwa sifat itulah yang sangat terlihat darimu.  Bahkan setelah 4 tahun berlalu, sikapmu tak kunjung berubah.  Bahkan cenderung bertambah.”

“Aku hanya mencoba menjadi panutan yang baik bagi adik-adikku.  Jika memang bisa ku lakukan sendiri, kenapa harus merepotkan orang.”

“Baik, masuk akal, dapat diterima.  Meskipun nggak sepenuhnya benar.”

“Maksudnya apa?  Kamu ngeremehin kekuatan seorang perempuan?”

“Tidak.  Tidak pernah sedikitpun terlintas dibenakku untuk meremehkan tenaga kalian, kaum perempuan.  Bahkan salah satu manusia yang paling tangguh yang pernah ku kenal adalah perempuan.  Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dengan mendedikasikan hidupnya untukku.  Dialah ibuku, wanita perkasa.”

“Terus, makna perkataanmu apa?  Apa yang tidak sepenuhnya benar?”

“Tidakkah kamu terkadang merasa lelah, ingin bergantung menyandarkan kepala di bahu seseorang?  Sekedar melihat, pekerjaan yang seharusnya kamu kerjakan, justru kamu limpahkan kepada seseorang untuk diselesaikan?  Tidakkah kau jenuh, menjadi pribadi yang sempurna di mata adik-adikmu?”

“Tidak.”

“Baik untukmu, kalau begitu.”

Terpekur sejenak, sang Pemuda tiba-tiba berkata, pelan.            

“Hatimu, sudah terlalu lama kosong.  Kamu butuh seseorang untuk jadi panutan hatimu.”

“Betul, sudah dua tahun hatiku tak berlabuh ke suatu tempat.  Butuh nahkoda untuk dapat melabuhkannya, tak hanya sekedar bantuan angin sepoi-sepoi yang hanya mampu meliukkan nyiur kelapa,” ujar sang pemudi, penuh makna.

“Udah ada berapa orang yang ndaftar jadi nahkoda?” 

“Ada sih, beberapa.  Tapi kok yo nggak ada yang sreg.”

“Baru sampe tahap seleksi administrasi apa udah sampe wawancara?”

Sang pemudi tersenyum.  “Bervariasi dong. Ada yang masih administrasi, ada yang udah wawancara. Tapi nggak ada yang sampe tanda tangan dan mulai kerja.  Ada yang mengundurkan diri, ada yang emang nggak lolos tahapannya.”

“Penyebabnya adalah?”

“Ya karena emang nggak memenuhi kualifikasi...”

“Apa kualifikasimu?  Kesempurnaan?” tanya sang pemuda, cepat.  Membuat sang pemudi tercekat, merapat dalam diam.

“Kualifikasimu ketinggian bung, untuk orang sepertimu.  Mohon maaf beribu ampun, tapi kamu juga harus realistis pada harapanmu.  Memangnya kamu nabi, dengan kesempurnaan lahir batin?  Sehingga mampu mengeliminasi laki-laki hanya karena tidak sesuai dengan inginmu?  Bahkan nabi pun tidak sempurna.”

Pemudi terus terdiam.  Dadanya bergemuruh.  Ingin dilayangkan kepalan tangan yang sedari tadi telah tergenggam, lurus ke hadapannya.  Ke arah wajah itu.  Wajah yang pernah dirindu dan didambanya selama setahun lamanya, jika kembali ke 5 tahun sebelumnya.

“Maaf, bukan bermaksud mencelamu.  Bukan pula mengolok-olok dirimu.  Aku hanya ingin membantumu terlepas dari jerat yang kamu jalin sendiri.  Jerat yang jika tak kunjung kamu urai, akan menjeratmu semakin erat.”

Pemudi tersenyum.  Tanpa kata.  Hanya sinar matanya menunjukkan kepedihan.  Dia memang sudah bosan, menjerit memohon pertolongan.

“Yang namanya manusia, pasti nggak sempurna.  Kalo kamu mau mencari manusia yang sempurna, satu-satunya cara ya menggabungkan semua sikap baik setiap manusia di satu raga.  Kamu buang semua sikap buruknya, sisakan hanya kebaikannya.  Apakah itu sempurna?  Mungkin, menurutmu.  Namun sejatinya, raga itu pun tidaklah sempurna.  Kesempurnaan bukanlah sesuatu yang mulus tanpa cela.  Sempurna adalah, ketika kamu mampu menutupi suatu kekurangan dengan suatu kelebihan.”

“Boleh saya menyela?  Sikap saya itu bukannya tanpa alasan.  Saya mengukur kualitas diri seseorang, berdasarkan kualitas diri saya.  Apa itu artinya saya berkualitas super bintang lima?  Tidak.  Justru saya tidak memiliki kualitas tinggi.  Kualitas diri saya justru dibawah rata-rata orang pada umumnya.  Makanya, saya mencoba mencari seseorang yang memiliki kualitas diatas rata-rata, bahkan kualitas paling atas.  Agar kualitas orang itu bisa mengimbangi kualitas saya yang biasa-biasa saja.”

“Ah,, sesuai dengan garis tanganmu yang selanjutnya.  Tapi itu nanti saja, kita selesaikan dulu yang satu ini.  Daripada kamu mencari kesempurnaan seperti itu, sesuatu yang sebenarnya sangat sulit untuk ditemukan, kenapa nggak kamu coba ciptakan sendiri kesempurnaan itu.  Gabungkan kelebihanmu dan kelebihannya.  Kolaborasikan keduanya, seiring dengan kolaborasi jalan hidup kalian.”

“Sulit, emosiku belum matang.”

“Umurmu tak lagi muda.”

Sang pemudi tertegun, hilang kata.  Ditatapnya wajah itu.  Wajah penuh kebijaksanaan, namun tersamar oleh sikapnya yang terkadang layaknya anak gaul ibu kota. 

“Pokoknya pesanku, hilangkan egomu.  Demi kebaikanmu sendiri,” ia tersenyum. Penuh arti.

Sang pemuda kembali menunduk, menatap, tenggelam dalam balutan pemikiran-pemikiran yang harus dia simpulkan.

“Seperti yang aku bilang tadi, yang bahkan kamu sendiri telah akui.  Terkadang, kamu tidak cukup percaya akan dirimu sendiri.  Terkadang, kamu menanggap dirimu kecil, lemah.  Entah dengan siapa, atau dalam hal apa kamu merasa rendah diri.  Yang jelas si, urusan cinta salah satunya.”

“Iya, salah satunya.  Tapi itu mah nggak terlalu.  Aku masih cukup percaya diri dengan kualitas diri aku...”

“Plin plan, bertentangan sekali dengan yang kamu omongin sama aku sebelumnya.  Siapa yang tadi bilang, kualitas diri rendah, bla bla bla,” potong sang pemuda, cepat.

Sang pemudi tersenyum.  “Aku kan nggak bilang aku nggak percaya diri.  Aku cuma bilang, kualitas diri aku masih rata-rata, kelas menengah.”

“Betapa agung sosok laki-laki yang kamu idamkan itu, Nes.  Kualitas dirimu yang udah super power ini pun masih kamu bilang kelas menengah?”

“Aku cuma berusaha mencari yang terbaik, Dol.  Boleh aku lanjut?” tanya sang pemudi.

“Sebetulnya, di lingkungan kantor aku ngerasa lebih bodoh jika dibandingkan kolegaku yang lain.  Pendidikanku tak lebih dari mereka.  Bahkan dibawah mereka.  Pengetahuan di seputar dunia kerja pun masih kurang.  Layaknya anak SD yang terbata-bata ketika membaca, dibandingkan mereka yang mulai mendendangkan sebuah balada.”

“Makanya kamu kurang percaya diri?  Karena kamu tidak seperti mereka?”

Sang pemudi mengangguk.

“Kalo begitu, tingkatkan kualitas dirimu.  Tingkatkan kedisiplinanmu dalam menjalankan perintah.  Tingkatkan ketepatan waktumu dalam menelaah tugas.  Tingkatkan pengetahuanmu dengan bertanya. Tingkatkan keprofesionalanmu dengan berlatih.  Tingkatkan kepercayaan dirimu.  Semua datang dari dirimu sendiri.  Aku cuma bisa membantu, dengan doa, dorongan dan motivasi, seperti sekarang ini.”

“Baik, akan ku turuti saranmu.  Berikutnya, kapan aku nikah?  Berapa anak yang bakal aku punya?  Gimana rejekiku?” sang pemudi mencecar.

Bukannya menjawab, sang pemuda justru meletakkan tangan halus itu.  Sambil tersenyum, dia berkata, “Aku hanya mencoba melihat garis tangan yang menggurat sifat-sifat.  Guratan yang mendefinisikan dirimu, karaktermu.  Aku tak berhak melihat masa depanmu, karena itu adalah rahasia Ilahi.  Seyogyanya tak ada satu manusiapun yang boleh, bahkan untuk sekedar mengintip, menerawang.”

Sang pemudi terpana.

Sang pemuda menatap.

Temaran lampu jalan menghangatkan suasana.  Dalam diam.


-Menteng, 27 Juli 2013-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar