Malam menunjukkan pukul sembilan. Namun gelak tawa masih terdengar ramai. Disudut jalan itu, temaran lampu jalan
menghangatkan suasana. Deretan kursi dan
meja berjajar sepanjang jalan, dikepung gerobak-gerobak tukang makanan.
Tampak di salah satu meja, sepasang anak manusia, duduk
saling berhadapan. Berserak piring bekas
makanan diatas meja mereka, tak lupa 2 gelas Es Kelapa Muda yang hanya tersisa es batu saja.
Mereka tampak serius.
Jika meja lain dihiasi
hangat gelak tawa, maka lain halnya dengan mereka. Sang pemudi sedang menunjukkan kedua telapak
tangan, dengan pandangan lurus ke depan. Sang pemuda duduk tegak bersandar
udara. Mimik mukanya serius. Menatap, mempelajari, menelusuri garis demi garis yang
membentuk guratan yang terukir dihadapannya.
Sesekali dia menengadah, sambl memicingkan mata, mencari fokus diantara
remang cahaya, melahap sudut demi sudut wajah yang ada dihadapannya.
Palmistry, katanya.
Sang pemuda sedang mencoba unjuk gigi, ilmu baru yang sedang
ditekuninya. Mencoba menjalin suatu
kesimpulan yang didasarkan pada garis tangan sang pemudi yang sudah lama tak
ditemuinya. Dipadu dengan Fisiognomi,
katanya. Garis wajah dijadikan dasar
untuk mengungkap karakter seorang manusia.
“Kamu, terlalu keras sama dirimu sendiri. Semua ingin kamu kerjakan sendiri. Kamu merasa dirimu serba mampu, layakanya
super hero. Padahal kamu tak lain dari
manusia biasa."
Sang pemudi tersenyum.
“Apa butuh garis tangan dan tulang pipi, agar kamu dapat mengungkap satu
sikap yang bahkan dihari pertama kita bertemu pun kamu sudah tau?”
“Nggak. Hanya
penegasan, bahwa sifat itulah yang sangat
terlihat darimu. Bahkan setelah 4 tahun berlalu, sikapmu tak kunjung berubah. Bahkan cenderung bertambah.”
“Aku hanya mencoba menjadi
panutan yang baik bagi adik-adikku. Jika
memang bisa ku lakukan sendiri, kenapa harus merepotkan orang.”
“Baik, masuk akal, dapat
diterima. Meskipun nggak sepenuhnya
benar.”
“Maksudnya apa? Kamu ngeremehin kekuatan seorang perempuan?”
“Tidak. Tidak pernah sedikitpun terlintas dibenakku
untuk meremehkan tenaga kalian, kaum perempuan.
Bahkan salah satu manusia yang paling tangguh yang pernah ku kenal
adalah perempuan. Hampir separuh
hidupnya, dihabiskan dengan mendedikasikan hidupnya untukku. Dialah ibuku, wanita perkasa.”
“Terus, makna perkataanmu
apa? Apa yang tidak sepenuhnya benar?”
“Tidakkah kamu terkadang merasa
lelah, ingin bergantung menyandarkan kepala di bahu seseorang? Sekedar melihat, pekerjaan yang seharusnya
kamu kerjakan, justru kamu limpahkan kepada seseorang untuk diselesaikan? Tidakkah kau jenuh, menjadi pribadi yang
sempurna di mata adik-adikmu?”
“Tidak.”
“Baik untukmu, kalau begitu.”
Terpekur sejenak, sang Pemuda
tiba-tiba berkata, pelan.
“Hatimu, sudah terlalu lama kosong. Kamu butuh seseorang untuk jadi panutan
hatimu.”
“Betul, sudah dua tahun hatiku tak berlabuh ke suatu
tempat. Butuh nahkoda untuk dapat
melabuhkannya, tak hanya sekedar bantuan angin sepoi-sepoi yang hanya mampu
meliukkan nyiur kelapa,” ujar sang pemudi, penuh makna.
“Udah ada berapa orang yang ndaftar jadi
nahkoda?”
“Ada sih, beberapa.
Tapi kok yo nggak ada yang sreg.”
“Baru sampe tahap seleksi administrasi apa udah sampe
wawancara?”
Sang pemudi tersenyum.
“Bervariasi dong. Ada yang masih administrasi, ada yang udah wawancara.
Tapi nggak ada yang sampe tanda tangan dan mulai kerja.
Ada yang mengundurkan diri, ada yang emang nggak lolos tahapannya.”
“Penyebabnya adalah?”
“Ya karena emang nggak memenuhi kualifikasi...”
“Apa kualifikasimu?
Kesempurnaan?” tanya sang pemuda, cepat.
Membuat sang pemudi tercekat, merapat dalam diam.
“Kualifikasimu ketinggian bung, untuk orang
sepertimu. Mohon maaf beribu ampun, tapi
kamu juga harus realistis pada harapanmu.
Memangnya kamu nabi, dengan kesempurnaan lahir batin? Sehingga mampu mengeliminasi laki-laki hanya
karena tidak sesuai dengan inginmu?
Bahkan nabi pun tidak sempurna.”
Pemudi terus terdiam.
Dadanya bergemuruh. Ingin
dilayangkan kepalan tangan yang sedari tadi telah tergenggam, lurus ke
hadapannya. Ke arah wajah itu. Wajah yang pernah dirindu dan didambanya
selama setahun lamanya, jika kembali ke 5 tahun sebelumnya.
“Maaf, bukan bermaksud mencelamu. Bukan pula mengolok-olok dirimu. Aku hanya ingin membantumu terlepas dari
jerat yang kamu jalin sendiri. Jerat yang
jika tak kunjung kamu urai, akan menjeratmu semakin erat.”
Pemudi tersenyum.
Tanpa kata. Hanya sinar matanya
menunjukkan kepedihan. Dia memang sudah
bosan, menjerit memohon pertolongan.
“Yang namanya manusia, pasti nggak sempurna. Kalo kamu mau mencari manusia yang sempurna,
satu-satunya cara ya menggabungkan semua sikap baik setiap manusia di satu
raga. Kamu buang semua sikap buruknya,
sisakan hanya kebaikannya. Apakah itu
sempurna? Mungkin, menurutmu. Namun sejatinya, raga itu pun tidaklah
sempurna. Kesempurnaan bukanlah sesuatu
yang mulus tanpa cela. Sempurna adalah,
ketika kamu mampu menutupi suatu kekurangan dengan suatu kelebihan.”
“Boleh saya menyela?
Sikap saya itu bukannya tanpa alasan.
Saya mengukur kualitas diri seseorang, berdasarkan kualitas diri saya. Apa itu artinya saya berkualitas super
bintang lima? Tidak. Justru saya tidak memiliki kualitas tinggi. Kualitas diri saya justru dibawah rata-rata
orang pada umumnya. Makanya, saya
mencoba mencari seseorang yang memiliki kualitas diatas rata-rata, bahkan
kualitas paling atas. Agar kualitas
orang itu bisa mengimbangi kualitas saya yang biasa-biasa saja.”
“Ah,, sesuai dengan garis tanganmu yang selanjutnya. Tapi itu nanti saja, kita selesaikan dulu
yang satu ini. Daripada kamu mencari
kesempurnaan seperti itu, sesuatu yang sebenarnya sangat sulit untuk ditemukan,
kenapa nggak kamu coba ciptakan sendiri kesempurnaan itu. Gabungkan kelebihanmu dan kelebihannya. Kolaborasikan keduanya, seiring dengan
kolaborasi jalan hidup kalian.”
“Sulit, emosiku belum matang.”
“Umurmu tak lagi muda.”
Sang pemudi
tertegun, hilang kata. Ditatapnya wajah itu.
Wajah penuh kebijaksanaan, namun tersamar oleh sikapnya yang terkadang
layaknya anak gaul ibu kota.
“Pokoknya pesanku, hilangkan egomu. Demi kebaikanmu sendiri,” ia tersenyum. Penuh
arti.
Sang pemuda kembali menunduk, menatap, tenggelam dalam
balutan pemikiran-pemikiran yang harus dia simpulkan.
“Seperti yang aku bilang tadi, yang bahkan kamu sendiri
telah akui. Terkadang, kamu tidak cukup
percaya akan dirimu sendiri. Terkadang,
kamu menanggap dirimu kecil, lemah.
Entah dengan siapa, atau dalam hal apa kamu merasa rendah diri. Yang jelas si, urusan cinta salah satunya.”
“Iya, salah satunya.
Tapi itu mah nggak terlalu. Aku
masih cukup percaya diri dengan kualitas diri aku...”
“Plin plan, bertentangan sekali dengan yang kamu omongin
sama aku sebelumnya. Siapa yang tadi
bilang, kualitas diri rendah, bla bla bla,” potong sang pemuda, cepat.
Sang pemudi tersenyum.
“Aku kan nggak bilang aku nggak percaya diri. Aku cuma bilang, kualitas diri aku masih
rata-rata, kelas menengah.”
“Betapa agung sosok laki-laki yang kamu idamkan itu,
Nes. Kualitas dirimu yang udah super
power ini pun masih kamu bilang kelas menengah?”
“Aku cuma berusaha mencari yang terbaik, Dol. Boleh aku lanjut?” tanya sang pemudi.
“Sebetulnya, di lingkungan kantor aku ngerasa lebih bodoh
jika dibandingkan kolegaku yang lain.
Pendidikanku tak lebih dari mereka.
Bahkan dibawah mereka.
Pengetahuan di seputar dunia kerja pun masih kurang. Layaknya anak SD yang terbata-bata ketika
membaca, dibandingkan mereka yang mulai mendendangkan sebuah balada.”
“Makanya kamu kurang percaya diri? Karena kamu tidak seperti mereka?”
Sang pemudi mengangguk.
“Kalo begitu, tingkatkan kualitas dirimu. Tingkatkan kedisiplinanmu dalam menjalankan
perintah. Tingkatkan ketepatan waktumu
dalam menelaah tugas. Tingkatkan
pengetahuanmu dengan bertanya. Tingkatkan keprofesionalanmu dengan berlatih. Tingkatkan kepercayaan dirimu. Semua datang dari dirimu sendiri. Aku cuma bisa membantu, dengan doa, dorongan
dan motivasi, seperti sekarang ini.”
“Baik, akan ku turuti saranmu. Berikutnya, kapan aku nikah? Berapa anak yang bakal aku punya? Gimana rejekiku?” sang pemudi mencecar.
Bukannya menjawab, sang pemuda justru meletakkan tangan
halus itu. Sambil tersenyum, dia
berkata, “Aku hanya mencoba melihat garis tangan yang menggurat
sifat-sifat. Guratan yang mendefinisikan
dirimu, karaktermu. Aku tak berhak
melihat masa depanmu, karena itu adalah rahasia Ilahi. Seyogyanya tak ada satu manusiapun yang
boleh, bahkan untuk sekedar mengintip, menerawang.”
Sang pemudi terpana.
Sang pemuda menatap.
Temaran lampu jalan menghangatkan suasana. Dalam diam.
-Menteng, 27 Juli 2013-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar