...........
Seperti itulah akhir kisahku dan Rizki.
***
Ku pandang langit utara, berharap mataku dapat menembus cakrawala. Membawaku ke tempatnya berada.
Terngiang kembali dalam pikirianku saat Rizki mampu melepaskanku dari cengkraman
bayangan Bimo. Ketika itu, hanya beberapa hari berselang sejak perkenalan
pertamaku dengannya.
“Ra, aku denger dari Echa kalo kamu lagi putus cinta ya.”
Aku tercekat, pembahasan ini adalah pembahasan yang paling ku benci, ku
hindari. “Iya,” jawabku singkat.
“Aku boleh kasih masukan nggak Ra?
Supaya kamu tidak lagi terjebak masa lalu,” pintanya.
Aku hanya terdiam. Hanya hela
napasku yang terdengar, menandakan persetujuanku.
“Ikhlaskan dia. Ikhlaskan
kepergiannya. Semakin lama kamu
membenamkan diri dalam kesedihan, semakin rusak dirimu. Apa yang seharusnya kamu cinta darinya tidak
lagi sama. Jika awalnya yang kamu cinta
adalah sifatnya, kepribadiannya, maka yang sekarang kamu cinta hanyalah sekedar
sosoknya saja, keberadaannya saja disampingmu.
Cintamu tak lagi murni, sudah terkotori oleh nafsu. Nafsu untuk memiliki.”
“Jika memang kamu mencitainya karena sifat atau kepribadiannya, maka
kenanglah sifat dan kepribadiannya itu.
Tiru, lakukan. Justru dia akan senang, karena
kebaikannya berdampak positif buatmu.
Dan yang paling utama, jangan kamu ingkari takdir Allah. Suratan-Nya itu nyata, tak dapat disandingkan
dengan berjuta perandaian yang mahir dimainkan oleh manusia.”
Seketika itu juga, aku dapat merelakan kepergian Bimo.
***
Banyak yang kurindukan darinya, terlepas begitu singkatnya masa perkenalan
dan komunikasi kami. Kebanyakan yang
kurindukan darinya adalah, betapa tentram hatiku dibuat dengan hanya mendengar
perkataannya.
“Kamu tau Ki, untuk bisa berkencan denganku, kamu harus bisa nyanyi loh.
Jadi kalo nanti kapan-kapan kita karaokean, duet kita bisa bagus hasilnya,” usilku pada minggu pertama kami
berkomunikasi.
“Oh ya? Sayangnya aku kurang bagus
suaranya,” ujarnya tenang.
“Yahh, nggak asik dong Ki. Kalo kamu punya syarat apa?” tanyaku
bersemangat.
“Gak ada syarat apa-apa Ra. Aku cukup pengen denger kamu ngaji.”
Atau ketika aku bertanya di minggu kedua kami berkomunikasi.
“Aku denger dari Echa, kamu katanya pemuda masjid ya Ki? Yah, culun doongg,” ujarku penasaran.
Dapat ku dengar senyumnya yang lembut, sembari berkata “Aku bukan pemuda Masjid.
Tapi aku ingin menjadi pemuda yang hatinya terpaut oleh Masjid.”
Atau ketika dia menyampaikan salam untuk ayah yang kebetulan sedang cuti
dari dinas luar kota sehingga bisa menyempatkan diri pulang ke rumah, namun
tidak mengirimkan salam kepadaku.
“Kalo ayah kan pas suasananya, lagi cuti.
Kan jarang-jarang ayah ada di rumah.
Ya kalo buat kamu, salamku dalam doaku aja.”
Hatiku selalu tersentuh setiap mendengar tanggapannya atas segala kekonyolan
yang ku lontarkan. Belum pernah aku bertemu dengan laki-laki yang memiliki pemikiran
sesederhana namun berkelas seperti itu.
Atau ketika tak putus mengingatkanku untuk selalu berdzikir menyebut nama
Allah meskipun aku sedang tidak dapat melaksanakan ibadah.
Atau ketika dia memutus telepon meskipun pembicaraan kami baru dimulai
atau sedang seru-serunya sewaktu mendengar panggilan adzan dan segera bergegas
ke Masjid terdekat.
Kerinduanku padanya cukup sederhana, sebab yang kurindukan darinya adalah kesederhanaannya.
***
Rizki itu laksana Ungu. Ia mampu
memberikan pandangan yang tak dapat diberikan oleh orang lain. Pengetahuannya sungguh luas, lengkap dengan
kemampuannya membuat orang mencerna. Ia
memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dengan tidak lantas merendahkan orang
lain. Dan yang paling utama, dia mampu
menjadikan hidupku kembali berwarna, dengan keajaibannya sendiri.
Dan kini, semua itu tak lagi dapat kuraih, kugenggam. Namun, layaknya wejangan yang diberikan
olehnya sebelumnya, akan kurelakan kepergiannya dari hidupku. Akan kucintai kepribadiannya, tak hanya
sekedar sosoknya. Akan kuikhlaskan
kenyataan bahwa kami tak akan bersama. Meskipun sulit.
Ikhlas itu sulit, bahkan untuk sesuatu yang sebetulnya tidak pernah kita
miliki.
75.000wrds
Tidak ada komentar:
Posting Komentar