Rabu, 11 Desember 2013

Tiga Langkah Kaki

Borneo, 2 November 2013.

Akhirnya aku liburan lagi.  Puji Tuhan.  Sungguh panjang waktu yang harus aku habiskan untuk bisa menemui waktu libur ini.  49 hari, dengan jatah libur yang kuambil di setiap hari Rabu.  Walhasil, kurang lebih selama 2 bulan, 6 hari seminggu, ku habiskan ditempat bekerja tercinta. Mekanisme bekerja di tempatku memang seperti itu.  Dan setelahnya, 2 minggu berturut-turut, waktunya berlibur.

Seperti yang sudah-sudah, aku tidak akan menghabiskan waktu liburku di Borneo ini.  Aku sudah cukup puas merasakan ketenangan dan kedamaian di kala bekerja.  Tapi untuk waktu libur, aku butuh keramaian.  Agar aku tidak gila dalam kesendirian ini.

Kuputuskan, untuk mengunjungi Jogjakarta.  Tempat yang penuh kenangan, terutama masalah percintaan.  Tapi, aku ke Jogja bukan untuk mengingat kembali kisah cinta yang telah lalu itu.  Bukan, bisa-bisa kepalaku dijitak nanti sama Stabilokuning.  Aku ke Jogja, karena memang ada beberapa hal yang harus aku selesaikan.  Selain itu, misi terbesarku adalah membawa Nolkomadua mengunjungi Stabilokuning di Bekasi.


"Piye, jadi ndak?" tanyaku kala itu ke Nolkomadua.  Tapi yang bersangkutan hanya menjawab, "Ya kamu dateng dulu dong sini ke Jogja, ntar tak kasih tau aku jadi apa ndak ikutan kesana."

Sedangkan kabar kedatanganku ke Bekasi bersama Nolkomadua sudah diketahui oleh Stabilokuning.

"Pokoknya, apapun yang terjadi, kalian berdua musti nyampe di Bekasi.  Harusss!!!"

Akhirnya, aku bertolak ke Jogjakarta, kota tercinta.

***

Jogjakarta,7 November 2013.

Siang itu terik, matahari sedang bersinar dengan garangnya.  Kulirik jam dinding, baru menunjukkan pukul 1 siang.  Selaras dengan kondisi perutku yang membuncit, pertanda baru selesai diasupi bakal energi. Mungkin piring kotor bekas makan siangku masih ada di pantry, belum sempat dicuci oleh OB.

Tak sabar, aku ingin malam segera datang.  Kuarahkan pandangan ke komputer, konsentrasi kupaksakan, agar seluruh pekerjaan dapat segera dituntaskan.  Agar tak ada beban yang menggantung di pundak, selagi aku bersenang-senang bersama teman lama.

Tak lama ponselku berdering.

"Dab, koe mulih jam piro?" Terdengar suara Sinaga dikejauhan.  Nada suaranya terdengar bosan.  Wajar, sebab dia sedang berada di rumahku.  Kuperintahkan dia menungguku di rumah, agar sepulangku dari kantor, kami bisa segera bertualang ke Jakarta.

"Jam 4 dab, nanti begitu kelar tak langsung pulang," ku jawab pertanyaannya.  Dan kutepati.

Selepas jam 4 sore, segera kususuri jalanan Jogjakarta, menuju rumahku.  Selepas berbenah, dengan berbekal satu ransel hitam yang senantiasa bertengger manis di pundak, kami menuju stasiun Tugu.  Tepat pukul 7 malam, dengan menumpang sebuah kereta, perjalanan kami pun dimulai.

"Kamu udah bilang sama Stabilokuning kalo kamu jadi dateng?" Sinaga bertanya, sambil sibuk mengunyah nasi padang.  Perutnya yang sudah sama membulatnya dengan perutku, menunjukkan betapa besar selera makan kami berdua.  Kami berdua duduk berhadapan, dengan ransel yang kami letakkan di kaki, agar tak lepas dari pandangan mata.

"Haha, belum e, aku masih bilang kalo aku ndak jadi ikut ke Jakarta.  Dia masih taunya kamu sendirian yang berangkat."

"Wah, bisa heboh nanti dia begitu liat kamu.  Kalo ketemu sama aku kan udah sering, sama kamu yang nggak pernah lagi abis kita les bareng."  Sinaga tertawa.

"Iya e, udah lama banget aku nggak ketemu sama dia.  Udah mau tiga tahun apa ya.  Tapi kamu jangan kasih info apa-apa dulu, biar dia kaget.  Ni aku lagi bbman sama dia."

Kulirik handphoneku.  "Yaahh, kamu beneran nggak ikut po?  Sinaga lagi, Sinaga lagi.  Bosen aku sama dia, haha"


"Tapi kita besok nggak langsung ke Bekasi ya, kita ke Cinere dulu, ada gawean dari pak bos.  Sabtu pagi aja kita berangkat Bekasi, lagian tu anak juga kan kerja kalo hari Jumat," usulku.  Karena memang aku ke Jakarta tidak lantas hanya untuk menemui dia saja, melainkan sambil mengerjakan tugas kantor.

"Siap laksanakan pak bos.  Eh, ayammu nggak abis to?  Sini tak abisin wae, haha" dengan santainya Sinaga merebut potongan ayam terakhir dan terbesar, yang sengaja kusisakan untuk kumakan di akhir.

"Siaul koe dab!"

***

Jakarta, 9 November 2013

Sedari pagi, aku sibuk.  Menyapu, ngepel, membereskan perabot rumah, mencuci baju, piring kotor, serta pekerjaan rumah tangga lainnya.  Hatiku riang, gerakanku ringan.  Sebab hari ini aku akan berkumpul dengan teman lamaku. Sinaga namanya, kenalanku sewaktu bertualang di Jogjakarta.  Saat ini dia sudah bekerja di sebuah perusahaan tambang yang berlokasi di Borneo. 

Sebetulnya bukan hanya Sinaga yang seharusnya datang ke Bekasi hari ini.  Ada lagi satu sahabatku yang berlokasi di Jogjakarta.  Tapi sayangnya dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Jogjakarta.

"Maap ya Ning, aku beneran nggak bisa ikut.  Aku tadi cuma sempet nganterin Sinaga ke Tugu doang.  Pengen ikut siiih, tapi nggak bisa e."

Walhasil, hanya Sinagalah yang harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk mentraktirku sepanjang hari ini.

Pukul 10.00 pagi, sambil gelisah mataku memandang layar televisi.

"Ning, aku di depan rumah."

Sedetik setelah membaca bbm dari Sinaga tersebut, aku segera menuju pintu garasi.  Langkahku ringan, mengingat sudah cukup lama aku tidak bertemu sahabatku yang satu ini.  Terkahir kali kami bertemu adalah pertengahan semester 2012, sebelum dia berangkat merantau ke pulau seberang.  Namun saat membuka pintu, justru wajah lain yang menyita pandanganku.

"Nolkomaduaaaa!!!! Kok kamu bisa ikutan???"  suaraku riang lagi kencang.  Yang mempunyai  nama, bukannya  segera menjawab, justru duduk manis di pinggiran taman depan rumahku.

"Sinaga, lu ngapain bawa bocah sentul kenyut itu?" aku tertawa, masih tak menyangka kedatangan dua wajah yang sudah lama tak ku lihat.

"Kan aku kangen sama kamu Ning," si Nolkomadua berucap.

"Preeeetttt!!!  Ayo masuk-masuk, mesakke tenan kalian.  Udah mandi belum?  Udah makan?  Dari terminal naik apa kesini?  Pantes nggak mau dijemput kamu Ga, wong bawa gembolan kaya begini ........." dan sederet pernyataan maupun pertanyaan lainnya.  Kujabat hangat tangan kedua sahabatku itu, ku tarik mereka masuk ke rumah.   Perbincangan pun dengan cepat pindah ke ruang tamu.

"Silahkan diminum,"  ku letakkan dua gelas plus seteko air es sirup.  Aku tau, kedua sahabatku ini pasti sedang kepayahan, tampak dari mukanya yang suram.  Akibat belum mandi, mungkin.

"Thankyou non, gerah banget aku," Sinaga segera meneguk sirupnya, tandas.  Dia sudah tak lagi malu-malu, sebab sudah beberapa kali mengunjungiku.  Sedangkan si Nolkomadua, masih sibuk memperhatikan keadaan rumahku.  Ditelitinya setiap foto yang terpajang di ruang tamu atau pot-pot bunga yang tersusun di pekarangan rumah.  Bahkan kucing kesayanganku pun tak luput dari penglihatannya.

"Adik-adikmu lebih cantik daripada kamu, Ning."  Dengan santainya Nolkomadua tertawa sambil melihatku memberengut, yang lantas ikut tertawa bersamanya.

"Apaan, ya pastinya cantikkan aku lah daripada adik-adikku.  Kamu kecapekan tu, makanya matanya jadi nggak awas," jawabku usil.


Percakapan pun berlangsung seru.  Memang sudah lama kami tidak berkumpul seperti ini.  Aku, Sinaga dan Nolkomadua pertama bertemu di satu tempat Kursus Bahasa Inggris yang ada di kota Jogjakarta.  Tidak seperti Nolkomadua yang memang bermukim di Jogja, aku dan Sinaga hanya numpang tinggal sambil menimba ilmu di kampus masing-masing.  Anak rantau.

"Orang rumah pada kemana Ning?" Nolkomadua bertanya sambil mencomot bolu yang terhidang di meja.

"Ayah kan lagi tugas di Jambi, Adikku yang satu di Jogja, yang satu di Purwokerto, kalo ibu lagi ada acara reuni sama temennya.  Aku sendirian di rumah hari ini, makanya nggak masak," jawabku cepat.

"Ah preet, alasan saja kau"  Sinaga terbahak mendengar alasanku.

"Udah pada makan belum?  Yuk aku traktir, perumahanku baru Grand Opening mall baru.  Pasti lagi banyak diskonnya,"  ajakku bersemangat.  Sedangkan Sinaga dan Nolkomadua hanya tertawa melihat tingkahku.  "Tapi si Classic lagi ngambek, nggak bisa jalan.  Kita kesananya naek motor aja yah!"

"Cenglu?  Yuk, yuk!" raut wajah Sinaga membulat, sedangkan Nolkomadua memainkan alisnya seperti ulat gendut yang sedang berjalan kepayahan.

Giliran aku yang memberengut.  "Ngacoo.  Jadi gini, karena motorku cuma satu, nanti kamu Ga, anter Nolkomadua dulu kesana, trus nanti kamu balik lagi kesini buat jemput aku yang ok banget ini.  Trus baru deh kita makan bareng," jelasku panjang lebar.  Sedangkan kedua sobatku hanya manggut-manggut, entah mengerti atau tidak.

Selepas berbenah seadanya, kami segera bertolak ke tujuan. Dan sisa hari itu pun kami habiskan bersama.

***

Tempat makan, 9 November 2013.

"What, kamu mau merit??"

Kabar baik itu datang dari Nolkomadua, membuat Stabilokuning terpelongo.  Tak heran, sebab cerita cinta antara Nolkomadua dan pacarnya, yang diketahui oleh Stabilokuning barulah sebatas pacaran belaka. Namun, Stabilokuning tetap bergembira mendengar sahabatnya akan mengakhiri masa lajang.

"Iya Ning, mau merit dia.  Udah duluan aja, ninggalin kita bedua yang masih jomblo sampe sekarang."  Sinaga menyahuti pernyataan Nolkomadua, sambil mata dan tangannya tetap terfokus pada hidangan yang ada dihadapannya.

Sedangkan yang punya hajat, hanya cengar cengir.  "Iya, Insya Allah Februari depan.  Nanti pada dateng ya."

"Insya Allah, aku usahakan datang,"  sambut Stabilokuning senang.

"Tapi sebelumnya, aku mau cerita dulu sama kalian.  Biar aku lega, rahasia ini nggak aku simpen sendirian."

Suara Nolkomadua berubah, nadanya datar, tak terdengar guratan canda didalamnya.  Mendengar nada suara seperti itu, baik Stabilokuning maupun Sinaga sama-sama berpaling dan memandang wajah Nolkomadua.

"Jadi, ceritanya antara aku, dia dan ............"

Cerita berlanjut, tentang langkah kaki tiga anak manusia, dalam mengarungi hidup.  Sebuah cerita, yang membutuhkan tempat lebih, tak hanya sekedar satu postingan saja.

***
Bekasi, 10 November 2013

Nyala lampu taksi menerangi lorong di depan sebuah rumah.  Bulan masih merajai diatas sana, bersahutan suara azan dan kokok ayam.  Tampak tiga anak manusia, sedang bersiap-siap dalam gelap.  Yang wanita melepas kepergian dua sahabat lelakinya.

"Nanti langsung ke Pasar Senen ya Pak, lewat tol Cakung aja,"  Stabilokuning berseru pada Supir Taksi.  "Kalian hati-hati ya di jalan, nanti barang-barang bawaan diliatin, jangan ditinggal sembarangan."  Dipandangnya kedua sahabatnya, sembari kemudian menjabat tangan, satu demi satu.

"Siap bos, perintah diterima dan akan dilaksanakan,"  Sinaga menyahut, sambil menunjukkan sikap hormat selayaknya kepada bendera negara.

"Iya, nanti kita ati-ati kok.  Tampang Sinaga kan lebih nakutin dibanding reman-reman di Jakarta, Ning," gurau Nolkomadua, yang diiringi tonjokan di lengan kanannya.

"Ahaaha, ok deh. Hati-hati ya cuyungs!  Jangan sampe ketinggalan kereta.  Sinaga nanti balik ke Borneonya ati-ati ya.  Nolkomadua, salam buat mbak Arin."

Dan mereka meretas langkah masing-masing.


Credit for:  ACS & AF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar