Rabu, 18 Desember 2013

Berkendara Commuter Line

Sebenarnya, judul yang saya rasa lebih tepat untuk mewakili tulisan saya kali ini adalah, Tenggang Rasa ala Commuter Line.   Tapi, saya rasa judul itu akan terlalu mengerucut pada satu akar masalah saja, meskipun memang benar itu adalah hal yang ingin saya angkat kali ini.

Saya penghuni Bekasi yang mencari nafkah di Jakarta.  Jelas, setiap minggunya, selama 5 hari berturut-turut saya harus berpetualang ke ibukota.  Awalnya, saya menggunakan mobil pribadi.  Tapi rasanya terlalu banyak yang harus saya korbankan.  Waktu, tenaga, dan pastinya uang.  Akhirnya saya beralih ke moda transportasi publik yang paling mudah untuk saya gapai dari perumahan saya.  Kereta Listrik Aliran Atas atau yang lebih populer disebut Commuter Line.

Di tulisan ini saya tidak akan mengkritik pelayanan yang diberikan oleh PT. KAI Commuter Jabodetabek selaku pengelola Commuter Line, sebab saya rasa sudah cukup banyak masukan atau saran atau keluhan atau kritikan bahkan cacian serta makian yang ditujukan kepada mereka.  Saya justru akan menyorot perilaku pengguna Commuter Line itu sendiri, yaitu saya dan kawan-kawan sejawat saya lainnya.

Yang pertama, terkadang banyak penumpang yang bisa dikategorikan penumpang prioritas (ibu hamil, membawa anak, manula atau penyandang cacat), yang tidak kebagian tempat duduk.  Sebagai gambaran, satu rangkaian Commuter Line terdiri dari 8 gerbong (atau untuk kereta Feeder antar stasiun tertentu terdiri dari 4 gerbong).  Disetiap gerbong disediakan tempat khusus prioritas, biasanya total untuk 12 orang.


Nah, karena mungkin penumpang prioritasnya sudah terlalu banyak, ada penumpang prioritas yang tidak kebagian tempat duduk prioritas.  Walhasil, mereka terpaksa tampak kepayahan di tengah hiruk pikuk penumpang commuter lainnya.  Sepantasnya, penumpang yang duduk di tempat duduk biasa dapat memberikan "jatah"nya kepada mereka.  Tapi masalahnya, banyak dari penumpang yang duduk di tempat biasa justru akan menyarankan mereka untuk mencari tempat duduk prioritas, yang memang sudah jelas penuh.  Atau yang lebih parah, mereka akan berpura-pura tidak tahu dengan mengusung aksi pura-pura tidur.  Selama hampir 2 tahun saya berkendara Commuter (dan saya biasanya selalu berdiri, karena memang saya males berdesak-desakan dan berebutan tempat duduk), moment dimana saya melihat kemurahan hati sesorang untuk merelakan tempatnya ke penumpang prioritas, bisa dihitung dengan jari.

Kedua, saya kurang sepaham dengan penumpang Commuter Line yang asik memainkan gadget sembari berkendara Commuter.  Saya sendiri termasuk orang suka mencari hiburan via gadget, tapi setidaknya saya lihat-lihat kondisi dulu.  Apakah memungkinkan untuk membebaskan satu tangan (bahkan kedua tangan) agar bisa leluasa dengan gagdetnya.  Misalnya, saat Anda berkendara Commuter di jam-jam sibuk, yang mana Anda untuk menjejakkan kaki pun sudah sulit.  Istilahnya, alat vital pun sudah diobral sehingga dengan bebas bersentuhan dengan penumpang lainnya.  Bagaimana mungkin Anda masih tega "mengambil lahan" yang harusnya menjadi hak penumpang yang ada di depan Anda dengan sibuk dengan gadget ditangan?  Apalagi ukuran gadget-gadget super canggih saat ini bisa dibilang cukup besar dan dan memakan tempat cukup banyak.

Okelah, mungkin saat itu sang pengguna gadget ada keperluan penting yang tidak bisa ditunda lagi, seperti membalas email atau apalah.  Mungkin kalo seperti itu, masih bisa ditolerir.  Tapi kebanyakan, gadget-gadget itu hanya digunakan untuk bermain games.  "Alangkah sayang, alat semahal itu cuma bisa dipake buat maen games abal-abal, mana nyusahin orang lagi,"  ucap saya dalam hati.  Banyak-banyakin dosa saya saja.

Berikutnya, saya tidak habis pikir sama penumpang yang sengaja berdiri di depan pintu selayaknya penjaga pintu, padahal di dalam gerbong masih lowong.  Lowong disini bukan berarti bisa dipake buat nari-nari ala film India.  Maksudnya masih bisa berdiri lega tanpa harus bersentuhan dengan penumpang lainnya.  Dengan berdirinya mereka di depan pintu, seolah-olah kondisi di dalam gerbong sudah penuh, sesak, padat, rapat, tanpa ada lagi ruang untuk sekedar bergeser dan bergerak, sehingga membuat penumpang lain yang baru mau masuk ke gerbong, seolah-olah sudah tidak ada lagi harapan untuk ikut naik commuter.

Rapatnya barisan seperti ini tentu membuat penumpang yang tidak memiliki nyali, menjadi menciut dan mengurungkan niatnya untuk bergabung bersama massa lainnya di dalam kereta.  Padahal, nyatanya, jika saja penumpang tersebut berkeras hati dan menerobos "sang penjaga pintu" tersebut, mereka masih bisa bergerak dan bergeser ke dalam gerbong kereta.  Seperti yang sering saya lakukan.

Yang lebih egoisnya, terkadang terlontar celetukan dari "sang penjaga", "Udah penuuh, ikutan kereta berikutnya ajaa" atau "Adduuuhh, jangan dorong-dorong doong!!", atau "Heii, jangan dipaksain mbaakk!!."  Sikap kurang bersahabat ini akan semakin terdengar saat kereta sudah bergerak dan menepi di stasiun-stasiun berikutnya (stasiun transit).  "Udah bu,jangan dipaksain, kereta yang berikutnya aja. Udah deket kookkk!!!"

Yang saya heran, apa para penceloteh-penceloteh itu tidak berpikir, bagaimana jika posisinya dibalik, mereka yang jadi penumpang stasiun-stasiun transit itu.  Merasakan bagaimana rasanya harus berjuang menerjang masuk ke gerbong yang sudah penuh.  Tentu bukan salah mereka keretanya sudah penuh saat menepi di stasiun-stasiun transit itu.  Dan bukan ingin mereka juga untuk berhimpit-himpitan dan sedikit memaksa agar sekedar bisa terangkut oleh kereta.

Nah, dari ketiga contoh fenomena diatas, mungkin tidak akan terjadi jika terdapat lebih banyak tenggang rasa diantara sesama.  Ingat, saya tidak menyatakan bahwa penumpang Commuter Line tidak memiliki perasaan.  Sebagai orang Timur, tentu kepribadian kita masih bisa diacungi jempol.  SEANDAINYA LEBIH BANYAK TENGGANG RASA.

Mungkin, sudah saatnya bagi kita yang kebetulan mendapat kesempatan emas untuk duduk, meskipun bukan di tempat duduk prioritas, jika melihat ada penumpang lain yang mungkin lebih pantas mendapatkan keistimewaan tersebut, tidak ada salahnya untuk berbagi.  Mengikhlaskan kenyamanan yang temponya juga sebetulnya tidak seberapa itu.  Tuhan pasti membalas kebaikan kita.  Entah itu kepada diri kita, atau kerabat dan sahabat tercinta kita.

Mungkin, jika kita ingin membunuh rasa jenuh dengan gadget, ada baiknya melihat kondisi sekitar terlebih dahulu.  Jika memang masih ada ruang untuk bergerak, kalo saya patokannya sejangkauan lengan tangan, maka tak apalah untuk bermain bersama gadget.  Tapi kalo wajah kita langsung berhadapan dengan kepala atau punggung penumpang lain, akan lebih nyaman bagi kita untuk tidak mengeluarkan gadget kita itu.  Toh masih banyak cara lain yang bisa kita lakukan untuk membunuh waktu.  Misalnya dengan membaca doa-doa dalam hati, yang justru akan membawa keberkahan lebih kepada kita.

Mungkin, jika kita memang suka menjadi "penjaga pintu", yang tidak pula saya salahkan, jadilah penjaga pintu yang bijak.  Katakan penuh ketika kereta sudah penuh, persilahkan penumpang lain masuk ketika kereta masih bisa dimuati penumpang tambahan.  Bayangkan saja jika kita bertukar posisi dengan penumpang yang baru mau masuk tersebut, atau penumpang yang memulai perjalanannya di stasiun transit, bukan stasiun pemberangkatan.  Tentu tidak enak, jika kita yang sudah harap-harap cemas akankah ketinggalan kereta, atau bisa masuk ke kereta, tiba-tiba diteriakin "Kereta yang berikutnya aja mbakk."

Bertenggang-rasalah terhadap orang lain.
Bukan hanya sekedar berharap mendapat tenggang rasa dari orang lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar