Selasa, 29 Oktober 2013

Chapter I



“SENJA.  Demikian akan ku sebut sebuah cerita yang akan kusampaikan pagi ini,” Rangga memulai dengan perlahan. 
“Gemuruh petir terdengar dikejauhan.  Hujan turun dengan derasnya, bagaikan sengaja ditumpahkan oleh Dewa Langit.  Awan gelap menyelimuti senja itu, tanpa mentari dengan rona jingganya di ufuk barat.  Hanya kelabu, menebar sendu ke penjuru negeri.
Dia berdiri, mematung.  Tak akan ada yang menyadari, bahwa dia sedang menangis.  Bagaimana tidak.  Air mata yang mengalir di pipinya, tersamarkan oleh tetesan air hujan yang dengan setia menerpa wajahnya.  Dia terisak dalam diam, meratapi kesendirian.
Diarahkan pandangannya ke sekeliling taman.  Hening, sepi.  Hanya beberapa pengendara motor yang kepayahan sedang berteduh di halte bus, atau beberapa mobil yang tetap melaju perlahan.  Namun yang pasti, tak ada satupun wajah yang dikenalnya.  Ya, tak ada satu orang pun yang bersusah payah mencarinya.
Wajar saja, saat itu dia sedang berada di sebuah tempat yang bahkan dia sendiri pun tak tahu ada dimana.  Ingatannya samar, memorinya tak mampu diajak bekerja sama.  Sekeras apapun dia mengernyitkan kening, berusaha untuk mengingat, berakhir tanpa hasil.
Di tengah taman dia berdiri, mematung.  Terdiam dalam senyi, sepi.”
Tampak Rangga kembali menghela napas.  Tangannya terkepal, gemetar.
“Dengan langkah gontai, dia menuju sudut taman.  Tempat wahana bermain anak-anak berada.  Dia mencari perlindungan.  Tubuhnya tak lagi sanggup menahan lebih lama terpaan hujan.  Dia menggigil kedinginan, seluruh tubuhnya bergetar, giginya bergemelatukan.
Disana dia segera masuk ke dalam sebuah wahana permainan yang menyerupai rumah.  Meskipun tanpa pintu, setidaknya dia aman dari guyuran hujan.  Hanya angin yang masih setia mengganggunya, membuat rasa dingin semakin menusuk, masuk ke tulang.  Dia terduduk, menyender ke dinding plastik.  Dilipat kakinya, didekatkan ke dada, berusaha mencari kehangatan.
Namun ternyata posisi itu membuatnya tak nyaman.  Gumpalan di perutnya membuat dekapannya tak lagi rapat, malah tertahan, sakit.  Dia tersentak, kembali menangis.  Disadarinya satu hal, ada sesuatu yang bergerak di dalam sana.  Sesuatu yang tidak diinginkannya.
Ingatannya seketika kembali.
Dia sedang dalam pelarian, dari seseorang yang sesungguhnya disayanginya, namun juga sangat dibencinya.  Sudah hampir seharian dia berjalan tak tentu arah, dengan perbekalan seadanya.  Tak tahu kemana akan menuju.  Yang dia tahu, dia harus meninggalkan tempat laknat itu.  Tempat yang selama 2 bulan terakhir menjadi neraka dunia baginya.”
Wajah Rangga memerah, darah mengalir deras ke kepala.  Nadinya berdenyut hebat.
“Tak ingin diingatnya kembali, namun bayangan kekejian itu kembali menghantuinya.  Bagaimana selama 2 bulan itu dia dikhianati dan dinodai oleh ayah tirinya.  Dipaksa melayani nafsu bejatnya yang tak berkesudahan.  Tak kuasa dia menolak, tak mampu dia memberontak.  Dia hanya mampu menangis, meraung, merutuki dirinya sendiri karena kelemahannya.
Kembali terbayang olehnya, malam neraka yang harus dilaluinya.  Malam tanpa bintang, tanpa ada orang lain di rumah tempat tinggalnya.  Malam tanpa perlindungan sang ibu dan adik yang sedang dalam perjalanan lain.  Malam ketika sang ayah tiri memaksa masuk kamar yang telah dikuncinya dengan rapat.  Malam ketika nafsu binatang merasuki sang ayah tiri.  Malam ketika kesuciannya teraih dengan paksa.”
Deru nafas Rangga terdengar kencang, bahkan hidungnya mengeras.  Bahunya semakin terangkat tinggi di setiap tarikan nafasnya, seiring dia melanjutkan ceritanya.
“Dua bulan penuh derita dia lalui, tanpa mampu meminta pertolongan.  Setiap dilihatnya wajah ibu dan adiknya, kembali teringat ancaman yang dilontarkan ayah tirinya.  Bahwa sang ayah tiri tak segan-segan untuk menyakiti mereka berdua.  Bahwa sang ayah tiri bahkan akan lebih menyiksanya, secara fisik, maupun mental.  Bahwa dirinya tak lagi berharga, tanpa kehormatan.
Dirinya letih.  Tak lagi mampu melawan.  Diterimanya nasib yang begitu dibencinya.”
Kembali Rangga menghela nafas panjang, dalam.
“Tentu, perubahan sikap ditunjukkannya.  Meskipun sang ibu dan sang adik sering bertanya, “Kamu kenapa mbak?  Ada masalah apa?”  Lidahnya kelu, tak mampu menjawab jujur.  Rangkaian kebohongan yang akhirnya mengalir dari mulutnya.  Bahwa dia sedang berada dalam pertengkaran bersama pacarnya.  Bahwa pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya.  Bahwa ibu dan adik tidak perlu mengkhawatirkannya.  Bahwa dia baik-baik saja.
Dia menangis, dalam diam.  Terbayang dengan jelas malam ketika dia menggila.  Pikirannya dipenuhi oleh amarah.  Hatinya tak lagi ada, setan telah merasuki nuraninya.  Dihunusnya pisau, sesaat setelah sang ayah tiri melangkah masuk ke kamarnya.  Dihujamkannya berkali-kali, sekuat tenaga.  Hingga akhirnya sang ayah roboh, bersimbah darah.
Petir dan gemuruh guntur yang sahut-menyahut dikejauhan, mengiringi kepergiannya dari rumah.  Tak ada yang tahu apa yang telah diperbuatnya malam itu, dan dia tak perduli apakah akan ada yang tahu atau tidak.  Yang dia tahu, dia sudah terbebas dari belenggu nafsu bejat itu.  Dia berjalan dan berjalan dalam diam.
Di dalam rumah-rumahan, dia semakin menggigil hebat.  Pandangannya gelap, matanya berkunang-kunang.  Nafasnya memburu cepat. Tubuhnya lemah, tak mampu bergerak banyak.  Dingin yang semakin menusuk tak lagi dirasakannya.  Justru kepanasan yang dirasa, bahkan dengan pakaian tipis yang melekat dibadan.  Satu persatu mulai ditanggalkannya baju yang dia kenakan dengan harapan kesejukan akan membelai lembut tubuhnya.  Namun dia tak lagi merasakan apa-apa.  Dia terjatuh dalam tidur.  Hingga kemudian polisi menemukannya, tanpa nyawa.  Begitu pula dengan gumpalan kecil yang sedang tumbuh diperutnya. Tanpa tahu betapa hancurnya hati keluarga yang ditinggalkannya.  Tanpa tahu beta hancurnya hati sang ibu dan sang adik.
Senja itu, tak juga menampakkan rona jingganya.  Justru berganti pekat malam, tanpa bintang ataupun bulan, dalam diam.”  Rangga mengakhiri ceritanya.  Semua terdiam dengan nafas tercekat.
Aku terpana, terhanyut dalam balutan khayal yang muncul dalam angan-angan.  Dengan jelas tergambarkan di benakku, adegan demi adegan yang tercipta tatkala mendengar jalinan cerita yang dituturkan Rangga.  Haru biru, semua menyatu menjadi satu.  Tanpa kusadari, pelupuk mataku telah basah, perlahan mengalir menuruni pipi.
Langkahnya kembali ke tempat duduk tak lagi sama dengan yang awal, sedikit gontai. “Sumpah,.. ceritamu bagus banget Ngga.  Aku suka..” suaraku tersendat, masih terisak.    Rangga hanya tersenyum, pahit.

75.000wrds

Tidak ada komentar:

Posting Komentar