Belum lagi mulai menulis, sudah menitik air mataku. Betapa tidak, judul postingan ini sudah ku simpan selama hampir dua tahun lamanya, teronggok sepi di sudut terjauh yang lama tak ku jamah. Padahal seyogyanya, tulisan ini hendak ku persembahkan kepadamu Ibuku tercinta.
Berawal dari obrolan santai sembari bersantap di suatu siang, saat itu rekan kerjaku bercerita bahwa ia baru saja mengunjungi putri tercintanya yang sedang menimba ilmu di suatu pesantren. Dengan berbekal buah tangan berupa makanan kesukaannya, cukup membuat putrinya itu berkata, "Ibu tau, buatku, ibu benar-benar sesosok malaikat yang terlihat".
Sontak, mendengar perkataan seorang anak usia 14 tahun seperti itu, serasa menampar pipiku. Di usiaku yang kala itu yang seharusnya sudah cukup dewasa dalam menggunakan akal pikiran, belum mampu menggelitik kepalaku hingga berpikir, betapa agungnya sosok Ibuku.
Benar adanya, Ibu merupakan sesosok yang tak kan terganti. Dengan rahim hangatnya, memberikan tempat gratis bagiku untuk berlaku dan bertindak selayaknya parasit, menggerogoti dan menghisap sari-sari makanan semampu yang aku bisa, selama 9 bulan lamanya. Dengan dekapannya yang hangat, senantiasa memberikan rasa aman dan nyaman hingga aku tak lagi larut dalam isak tangis tanpa sebab. Dengan kesabaran tiada tara, tak pernah bosan menuntun dan mengarahkan langkah yang akan aku ambil, sehingga sebisa mungkin aku terhidar dari kerikil-kerikil dunia. Dengan untaian doanya yang tanpa putus, memberikan perisai maha dasyat sebagai modal ku melanglang buana dengan seijinnya.
Ibu, sungguh dirimu adalah malaikat yang terlihat. Sesosok yang demikian mulia, yang sayangnya terkadang belum mampu ku muliakan.
Berawal dari obrolan santai sembari bersantap di suatu siang, saat itu rekan kerjaku bercerita bahwa ia baru saja mengunjungi putri tercintanya yang sedang menimba ilmu di suatu pesantren. Dengan berbekal buah tangan berupa makanan kesukaannya, cukup membuat putrinya itu berkata, "Ibu tau, buatku, ibu benar-benar sesosok malaikat yang terlihat".
Sontak, mendengar perkataan seorang anak usia 14 tahun seperti itu, serasa menampar pipiku. Di usiaku yang kala itu yang seharusnya sudah cukup dewasa dalam menggunakan akal pikiran, belum mampu menggelitik kepalaku hingga berpikir, betapa agungnya sosok Ibuku.
Benar adanya, Ibu merupakan sesosok yang tak kan terganti. Dengan rahim hangatnya, memberikan tempat gratis bagiku untuk berlaku dan bertindak selayaknya parasit, menggerogoti dan menghisap sari-sari makanan semampu yang aku bisa, selama 9 bulan lamanya. Dengan dekapannya yang hangat, senantiasa memberikan rasa aman dan nyaman hingga aku tak lagi larut dalam isak tangis tanpa sebab. Dengan kesabaran tiada tara, tak pernah bosan menuntun dan mengarahkan langkah yang akan aku ambil, sehingga sebisa mungkin aku terhidar dari kerikil-kerikil dunia. Dengan untaian doanya yang tanpa putus, memberikan perisai maha dasyat sebagai modal ku melanglang buana dengan seijinnya.
Ibu, sungguh dirimu adalah malaikat yang terlihat. Sesosok yang demikian mulia, yang sayangnya terkadang belum mampu ku muliakan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar