Minggu, 23 Februari 2014

Chapter IX


...........
Seperti itulah akhir kisahku dan Rizki.
***
Ku pandang langit utara, berharap mataku dapat menembus cakrawala.  Membawaku ke tempatnya berada.
Terngiang kembali dalam pikirianku saat Rizki mampu melepaskanku dari cengkraman bayangan Bimo. Ketika itu, hanya beberapa hari berselang sejak perkenalan pertamaku dengannya.
“Ra, aku denger dari Echa kalo kamu lagi putus cinta ya.”
Aku tercekat, pembahasan ini adalah pembahasan yang paling ku benci, ku hindari.  “Iya,” jawabku singkat.
“Aku boleh kasih masukan nggak Ra?  Supaya kamu tidak lagi terjebak masa lalu,” pintanya.
Aku hanya terdiam.  Hanya hela napasku yang terdengar, menandakan persetujuanku.
“Ikhlaskan dia.  Ikhlaskan kepergiannya.  Semakin lama kamu membenamkan diri dalam kesedihan, semakin rusak dirimu.  Apa yang seharusnya kamu cinta darinya tidak lagi sama.  Jika awalnya yang kamu cinta adalah sifatnya, kepribadiannya, maka yang sekarang kamu cinta hanyalah sekedar sosoknya saja, keberadaannya saja disampingmu.  Cintamu tak lagi murni, sudah terkotori oleh nafsu.  Nafsu untuk memiliki.”
“Jika memang kamu mencitainya karena sifat atau kepribadiannya, maka kenanglah sifat dan kepribadiannya itu.  Tiru, lakukan.  Justru dia akan senang, karena kebaikannya berdampak positif buatmu.  Dan yang paling utama, jangan kamu ingkari takdir Allah.  Suratan-Nya itu nyata, tak dapat disandingkan dengan berjuta perandaian yang mahir dimainkan oleh manusia.”
Seketika itu juga, aku dapat merelakan kepergian Bimo.
***
Banyak yang kurindukan darinya, terlepas begitu singkatnya masa perkenalan dan komunikasi kami.  Kebanyakan yang kurindukan darinya adalah, betapa tentram hatiku dibuat dengan hanya mendengar perkataannya.
“Kamu tau Ki, untuk bisa berkencan denganku, kamu harus bisa nyanyi loh. Jadi kalo nanti kapan-kapan kita karaokean, duet kita bisa bagus hasilnya,” usilku pada minggu pertama kami berkomunikasi.
“Oh ya?  Sayangnya aku kurang bagus suaranya,” ujarnya tenang.
“Yahh, nggak asik dong Ki.  Kalo kamu punya syarat apa?” tanyaku bersemangat.
“Gak ada syarat apa-apa Ra. Aku cukup pengen denger kamu ngaji.
Atau ketika aku bertanya di minggu kedua kami berkomunikasi.
“Aku denger dari Echa, kamu katanya pemuda masjid ya Ki?  Yah, culun doongg,” ujarku penasaran.
Dapat ku dengar senyumnya yang lembut, sembari berkata “Aku bukan pemuda Masjid.  Tapi aku ingin menjadi pemuda yang hatinya terpaut oleh Masjid.
Atau ketika dia menyampaikan salam untuk ayah yang kebetulan sedang cuti dari dinas luar kota sehingga bisa menyempatkan diri pulang ke rumah, namun tidak mengirimkan salam kepadaku.
“Kalo ayah kan pas suasananya, lagi cuti.  Kan jarang-jarang ayah ada di rumah.  Ya kalo buat kamu, salamku dalam doaku aja.
Hatiku selalu tersentuh setiap mendengar tanggapannya atas segala kekonyolan yang ku lontarkan. Belum pernah aku bertemu dengan laki-laki yang memiliki pemikiran sesederhana namun berkelas seperti itu.
Atau ketika tak putus mengingatkanku untuk selalu berdzikir menyebut nama Allah meskipun aku sedang tidak dapat melaksanakan ibadah.
Atau ketika dia memutus telepon meskipun pembicaraan kami baru dimulai atau sedang seru-serunya sewaktu mendengar panggilan adzan dan segera bergegas ke Masjid terdekat.
Kerinduanku padanya cukup sederhana, sebab yang kurindukan darinya adalah kesederhanaannya.
***
Rizki itu laksana Ungu.  Ia mampu memberikan pandangan yang tak dapat diberikan oleh orang lain.  Pengetahuannya sungguh luas, lengkap dengan kemampuannya membuat orang mencerna.  Ia memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dengan tidak lantas merendahkan orang lain.  Dan yang paling utama, dia mampu menjadikan hidupku kembali berwarna, dengan keajaibannya sendiri. 
Dan kini, semua itu tak lagi dapat kuraih, kugenggam.  Namun, layaknya wejangan yang diberikan olehnya sebelumnya, akan kurelakan kepergiannya dari hidupku.  Akan kucintai kepribadiannya, tak hanya sekedar sosoknya.  Akan kuikhlaskan kenyataan bahwa kami tak akan bersama. Meskipun sulit.
Ikhlas itu sulit, bahkan untuk sesuatu yang sebetulnya tidak pernah kita miliki.

75.000wrds

Tidak ada komentar:

Posting Komentar