Saya
punya cerita. Tentang seseorang yang telah memendam rasa selama
bertahun-tahun lamanya. Perasaan yang senantiasa dipupuk dan dijaga
dengan seksama, agar tak pernah padam, meskipun dimakan oleh waktu.
Tentang seorang gadis, yang menyayangi sahabatnya sendiri, selama hampir 8
tahun lamanya.
Klise
memang, layaknya roman picisan yang dijual dipinggir jalan, yang bisa dikarang
oleh pelajar usia 16 tahun sebagai pekerjaan rumah pelajaran Bahasa Indonesia.
Basi, karena ide seperti ini sudah banyak ditulis oleh sejumlah pengarang, baik
yang ternama maupun yang baru mulai mencari nama. Tidak menarik,
karena memang tidak ada yang menarik dari cerita sang gadis.
Namun
yang pasti, saya dapat pastikan bahwa perasaan sang gadis benar-benar tulus.
Tanpa alasan, tanpa batasan.
Tanpa
alasan. Ketika kita menyukai seseorang, pastinya dilandasi oleh
alasan-alasan tertentu. Alasan yang rasional, dan tidak rasional.
“Dia
itu, sosok yang cool banget kalo di sekolah. Asli, nggak pake bohong.
Mana pinter lagi.”
“Dia
ganteng bangettt, kaya bintang film.”
“Buset,
anak orang kaya tau. Masa iya nggak suka sama yang kaya-kaya?
Anaknya royal banget, nggak kira-kira kalo ngeluarin duit buat jajan.”
“Dia
itu anak band, pinter maen musik. Aku paling suka dirayu sambil maen alat
musik.”
Dan
banyak alasan-alasan lain, yang bisa diajukan ketika kita ditanya, kenapa kita
suka sama seseorang. Tapi tahukah kamu, semua alasan-alasan tersebut,
jika memang sudah waktunya, dapat hilang berganti, disapu angin.
Sosok
cool di sekolah, dapat berubah. Karena kebanyakan gaya, bisa-bisa jadi
betingkah nggak karu-karuan. Sok cari perhatian. Bahkan tak jarang,
malah jadi anak berandalan.
Kelebihan
fisik tidak bisa dipegang sebagai faktor utama, sebab ia bukanlah sesuatu yang
tak lekang dimakan zaman. Kamu terluka, atau kamu dewasa. Hal itu
bisa membuatmu memiliki rupa berbeda hanya dalam tempo yang sekejap saja.
Selama
harta yang bisa kau pamerkan adalah harta orang tua, jangan merasa bangga. Kamu
hanya numpang, parasit. Nggak ada yang bisa dipamerkan dari harta itu.
Keahlian
dalam bermain musik, bisa semakin berkembang dengan diasah, namun dapat juga
menghilang, usang.
Apabila,
hal-hal yang kita jadikan alasan dalam menyukai seserang hilang, maka hilanglah
perasaan suka kita pada dia. Namun, jika kita tulus menyukai seseorang,
apa adanya, untuk segala yang ada pada dirinya, baik yang baru maupun yang
terus menerus melekang padanya, itu baru hebat. Itu yang namanya,
menyukai tanpa alasan, mencintai tanpa alasan.
Tanpa
batasan. 8 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mempertahankan suatu
perasaan kepada seseorang. Apalagi jika seseorang yang kamu sukai
memiliki kepribadian yang luar biasa. Ramah, mudah bergaul, lucu,
dan bahkan cukup tampan. Cukup mudah untuk kita menjadi marah dan cemburu
melihat sepak terjangnya di lingkungan sekitar. Banyak yang ingin menjadi
temannya, sahabatnya, dan bahkan tak jarang pacarnya. Cukup mudah untuk
menyerah pada kenyataan bahwa, dia selama ini menganggapmu, tak lebih dari
teman biasa. Yang bisa diajak tertawa dan bercanda, serta menangis dan
berduka.
Tidak
hanya itu saja. Permasalahan yang lebih pelik akan muncul ketika pujaanmu,
dengan bangganya berkata bahwa dia sedang berhubungan dengan seseorang, yang
tentunya bukan dirimu. Apa yang akan kamu lakukan, ketika pujaanmu, yang
juga teman baikmu, datang kepadamu dan berkata “Aku punya pacar.” Dengan senyumnya yang super
sumringah, layaknya dunia hanya milik mereka berdua. Apa yang akan
kamu lakukan, ketika pujaanmu, yang juga teman baikmu, menceritakan bagaimana
dia menyatakan perasaan ke gadis pujaannya, malam minggu pertama mereka,
pertengkaran pertama mereka, akhir dari perjalanan cinta mereka. Tak
hanya sambil lalu, melainkan secara mendetail, tanpa ada satupun informasi yang
terlewatkan.
“Bodoh,
aku nggak mau denger ini semua.” Itu yang kamu katakan dalam hati.
“Serius?
Busettt, so sweet banget kamu. Beruntung banget cewek itu.” Itu ucapmu, dilengkapi dengan
senyuman super palsu.
“Astagaaaa,
hentikan semua ini. Bukan dia yang harusnya bersamamu, tapi aku.” Itu yang kamu gumamkan dalam hati.
“Kalian
kesana? Ah, iri aku. Makannya enak, viewnya juga ok.
Kapan-kapan aku kesana ah sama pacarku.” Itu sambutanmu, dengan mata berbinar-binar penuh harapan hendak
kesana. Bukan, bukan dengan pacarmu, tapi dengan pujaanmu.
“Bagus,
akhirnya berantem juga. Bosen banget aku denger yang indah-indah mulu
dari kalian berdua, nggak ada habis-habisnya.” Suara hatimu, menyuarakan pandanganmu yang
sesungguhnya terhadap hubungan mereka.
“Hmm,
sabar ya. Namanya juga lagi pacaran, nggak seru dong kalo nggak berantem.
Udah, kamu yang duluan telepon dia, minta maap. Cowok dikit napa, biar keren.” Ucapmu menenangkannya, dibarengi dengan
usapan lembut dipunggungnya.
“Yesss,
akhirnya, alhamdulilah. Aku nggak perlu lagi degerin semua cerita dia
sama pacarnya. Ada kesempatan buat PKDT nih.” Kamu bersyukur dalam hati, gembira, lega.
“Apa??
Kalian putus? Kok bisa? Duh, kalian kan pasangan serasi banget.. Udah nggak
usah sedih, kalo emang jodoh kalian bakal balikan lagi.” Kamu mencoba menguatkan pujaanmu, sambil
memasang wajah sedih penuh perhatian.
Dan
siklus diatas terjadi berkali-kali, berulang waktu demi waktu, on and on, like
it will never stop.
Tak
jarang, terjadi improvisasi. Karena bukan hanya pujaanmu yang bisa
memiliki kekasih, melainkan kamu juga. Meskipun kamu sedang menjalin
kasih dengan orang lain, pasti tetap ada tempat khusus di hatimu yang secara
sadar maupun tidak, kamu tujukan untuknya.
Sewaktu sahabatmu berkunjung ke tempatmu, kamu akan senantiasa mendahulukan
kepentingan pujaanmu ketimbang pacarmu. Bahkan ketika mereka berdua berada
dalam suatu situasi yang sama. Kamu akan lebih dahulu mengambilkan
makanan atau minuman untuk pujaanmu, menyusul kemudian kekasihmu. Kamu
akan lebih mendengar dan memperhatikan ucapan dari pujaanmu, dibandingkan
kekasihmu. Kamu akan dengan senang hati menemaninya membeli oleh-oleh,
atau sekedar berjalan-jalan sore-sore keliling kota.
Jika
pacarmu bertanya, ada apa dengan sikapmu hari itu, kamu akan berkilah.
“Loh,
dia kan sobat aku dari jaman dulu, udah kaya sodara sendiri. Bukan cuma
sama aku, sama ayah ibu juga udah sering ketemu, maen ke rumah. nggak ada
yang perlu kamu takutin, aku nggak bakal selingkuh dari kamu,” ujarmu menenangkan kekasihmu.
Untung
bagimu jika kekasihmu bisa menerima penjelasanmu. Sebab ada masanya,
penjelasanmu itu, meskipun kamu kemas sedemikian rupa sehingga menjadi masuk
akal, tidak dapat diterima dengan baik oleh kekasihmu. Dia akan membuatmu
memilih, antara dirinya atau sahabatmu.
Kebingungan
pun melanda hatimu.
Jika
kamu lebih memilih sahabatmu, tentu kamu akan kehilangan pacarmu, seseorang
yang secara fisik ada di hadapanmu. Tempatmu berkeluh kesah, mendapatkan curahan kasih
sayang dan perhatian, secara utuh, secara nyata. Konsekuensinya, kamu akan
kehilangan dia yang telah kamu sayang untuk beberapa saat lamanya. Kamu
akan kehilangan pujaanmu.
Sebaliknya,
jika kamu memilih sahabatmu, kamu akan kehilangan pacarmu. Dan kamu tidak
mendapatkan apa-apa, hanya sekedar perasaan puas, lega bahwa kamu tetap bisa
mempertahankan ego-mu yang tak berkesudahan. Sebab semua yang kamu
rasakan terhadap sahabatmu, hanya bersifat satu arah saja. Tanpa balasan.
Akhirnya,
kamu ambil jalan tengah. Kamu bilang ke pacarmu, kamu lebih memilih dia
ketimbang sahabatmu. Namun kamu tetap menyisakan sedikit ruang dihatimu,
yang bahkan tak dapat terjamah oleh kekasihmu, untuk sahabatmu. Tentu
kasihmu tidak mengetahui kebohonganmu. Sebab, hati manusia tiada satu pun yang
tahu kecuali sang pemilik hati itu sendiri. Bahkan tak jarang, ada pemilik
hati yang tak mengetahui kondisi hati yang dimilikinya. Ya sang gadis itu
sendiri.
Dia
tak tahu, betapa celakanya ia, telah mendustakan seseorang yang telah begitu
tulus hadir untuk dirinya. Justru menyia-nyiakannya, memanfaatkannya.
Beberapa
pertanyaan pasti muncul. Kenapa sang gadis, sampai detik ini tidak juga
berani menyatakan perasanaannya kepada sahabatnya itu? Kalo emang sayang,
cinta, ya dicoba disampaikan dong. Mau jungkir balik jalan jongkok juga, kalo
suatu perasaan tidak pernah disampaikan, ya tidak akan pernah tersampaikan.
Banyak
faktor yang membuat sang gadis tak juga menyampaikan perasaannya, tak berani
memandang dan mengatakan rasa sayangnya kepada sang sahabat. Logis, dan
tidak logis.
“Iya
kalo dia suka sama aku, kalo nggak gimana? Aku nggak mau kehilangan seorang
sahabat, yang sangat berarti buat aku. Bohong kalo ada cerita seorang
cewek ditolak sama cowok, dan mereka berdua masih sahabatan terus-terusan.
Itu nggak logis. Yang logis adalah, kalo emang si cowok masih ada di
sekitar si cewek, itu karena si cowok ngerasa kasian sama si cewek, nggak mau
si cewek ngerasa kecil hati karena ditolak terus ditinggalin sama si cewek.
Dan kalo ditinggalin, itu karena emang situasinya pasti udah nggak senyaman
yang dulu lagi. Ada rasa janggal diantara keduanya. Yang satu masih
ada feeling, bahkan bisa-bisa ngarep bakal ada secerah harapan buat
kelangsungan hubungan mereka berdua. Sedangkan yang satu, ya awkward aja,
canggung, kaku. Dan bisanya, untuk menghilangkan kekakuan tersebut, jalan
paling ampuh ya lari, menghindar, menghilangkan diri. Emang pelan, tapi
pasti.” Argumentasi
logis.
“Aku
cewek, ya masa iya mau nembak cowok duluan. Mau dikemanain muka aku, muka
cowok itu. Hakekatnya, laki-laki itu musti maju duluan, berani mengambil
sikap. Kalo emang suka, ya bilang dong suka sama si cewek. Masa mau
jadi ayam sayur? Kan nggak lucu kalo misalnya emang mereka berdua jadi, trus
ditanya sama anak-anaknya. Ayah, dulu sama ibu yang duluan nembak siapa??
Terus ibunya ceria, Ayahmu itu, nggak berani nembak Ibu. Terpaksa Ibu
yang ngungkapin perasaan ibu ke Ayah. Kan bukan panutan yang baik buat
anak-anaknya.”
Argumentasi nggak logis.
Namun
akhirnya, sang gadis merasa cukup. Setelah 8 tahun bergelut dengan rasa yang tak kunjung padam, sang gadis
mencoba memberanikan diri untuk menyampaikan kepada sang sahabat.
Betapa
dia menyukainya.
Betapa
dia perduli padanya.
Betapa
dia menyayanginya.
Sang
gadis sudah siap, dengan segala konsekuensi yang ada, dengan argumentasi logisnya.
Dia
tak berharap banyak dari sang sahabat. Dia tidak lagi terlalu berharap,
hendak menjadi kekasihnya. Dia hanya sudah terlalu lelah, menyimpan
sejumput asa di hatinya. Dia hanya ingin sahabatnya tau, bahwa selama ini
dia selalu berusaha ada untuknya. Tak perduli betapa sulit, sakit dan
beratnya perasaan cemburu, amarah, sedih yang harus dirasakan.
Dan,
tentu saja. Kisah cinta mereka tidak berakhir bahagia. Bahkan tidak
pantas disebut kisah cinta, karena sejumput asa itu hanya berasal dari satu
pihak saja.
Dan
benar terjadi. Sang sahabat, perlahan tapi pasti mulai menghilang dari
hidup sang gadis. Komunikasi, hanya dilakukan melalui alat komunikasi,
tak lagi bertatapan langsung.
Tak
perlu ada yang ditangisi, tak ada yang perlu disesali. Karena setiap
jalan yang kita ambil, pasti akan ada maknanya.
Sang
gadis hanya perlu ikhlas. Tak sulit baginya untuk mengikhlaskan ketidak
hadiran sang sahabat di hadapannya. Karena memang ia sudah terbiasa tanpa
kehadirannya. Yang sulit adalah, mengikhlaskan perasaan yang telah
tertanam di dalam hatinya. Mengikhlaskan harapan dan keinginan yang
tumbuh dalam waktu tak singkat. Yang paling utama, mengikhlaskan bayangan
atas keberadaannya bersama dengan
sang pujaan, terikat dalam satu hubungan kasih yang tak berkesudahan.
IKHLAS
ITU SULIT, BAHKAN UNTUK SESUATU YANG BAHKAN TIDAK PERNAH KITA MILIKI.
Tidak.
Sebagai pemilik cerita ini, saya tidak rela jika
penantian panjang sang gadis berakhir hanya seperti itu. Terlalu panjang
penantian yang harus dilaluinya. 8 tahun lamanya. Jika saya
mengakhiri cerita ini sampai disitu, terlalu sedih bagi sang gadis. Jadi,
saya ingin memberikan suatu penawaran lain.
Saya memang tidak bisa menentukan secara pasti,
bagaimana akhir dari cerita cinta ini. Sebab untuk menentukan akhir dari
suatu cerita, harus ada kompromi dari dua belah pihak. Dan satu yang
tidak bisa saya pastikan. Bagaimanakah sebetulnya perasaan dari sang
sahabat.
Sebagai pemilik cerita, saya tentu bisa
memaksakan bagaimana perasaan sang sahabat agar memuaskan keinginan sang gadis.
Tapi, tentu itu bukanlah hal yang adil. Tidak bagi sang sahabat, tidak
pula bagi sang gadis. Karena sesuatu yang dipaksakan, tidaklah akan
bertahan lama.
Yang saya bisa lakukan adalah, memberikan
alternatif lain dari penyelesaian cerita cinta sang gadis. Simpel,
sederhana.
MEREKA BERDUA, HIDUP BAHAGIA SELAMANYA.
Tapi, itu pun dapat berarti beberapa hal yang
sangat berbeda.
Pertama. Seperti alternatif yang telah saya
terangkan diatas, sang sahabat perlahan-lahan menjauh darinya. Sang gadis
mendapatkan penyelesaian, kelegaan yang mendalam, dan bisa mulai memberikan
perasaannya secara penuh kepada laki-laki lain. Sang sahabat pun
menemukan tambatan hatinya. Mereka berdua, masing-masing hidup bahagia
selamanya.
Kedua. Sang sahabat menerima perasaan sang
gadis, karena tersentuh dengan cerita cintanya. Ia mulai merasakan hal
yang sama kepada sang gadis. Mereka berdua, hidup bahagia selamanya.
Ketiga. Ternyata sang sahabat selama ini
memiliki perasaan yang sama seperti sang gadis, dan selama ini tidak memiliki
cukup keberanian untuk menyatakan hal tersebut kepada sang gadis. Mereka
berdua, hidup bahagia selamanya.
Pilihan ada di tangan kita.
Masing-masing manusia memiliki peran sendiri
dalam menentukan jalan hidupnya, selain kemudian berserah pada Yang Kuasa.
Kombinasi dari kedua hal tersebut, yang akan menentukan akhir dari suatu cerita.
Apakah itu bahagia, ataukah nestapa.
Dan dalam hal ini, kisah cinta yang akan kita
selesaikan adalah kisah cinta sang gadis.
Ingat. Saya hanya memberikan alternatif,
yang menurut saya masuk akal dan mungkin terjadi.
Harus digaris bawahi. Saya hanya memberikan
alternatif, tidak memaksakan suatu pilihan. Jika memang sang sahabat
ternyata tidak nyaman dengan alternatif yang saya ajukan, bisa saja.
Mungkin saya tidak cukup kreatif dalam mempertimbangan adanya
kemungkinan-kemungkinan lain. Karena tidak dapat saya pungkiri, saya
mendukung sang gadis, saya memihak sang gadis. Saya ingin yang terbaik
untuk sang gadis, dengan tidak melupakan sang sahabat.
Sungguh, hanya Tuhan yang tahu kemana mereka akan
melangkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar