Nah, saya ingin melanjutkan cerita saya tersebut.
Di akhir cerita, saya katakan bahwa sang gadis
menyerah kalah pada perasaannya. Bahwa akhirnya
sang gadis memilih menyatakan perasan yang sesungguhnya pada sang sahabat. Mau tau caranya?
Begini caranya.
Karena sang gadis masih tak juga berani menatap
langsung dan menyatakan perasaannya, akhirnya dia memilih satu cara yang sangat
mudah. Sang gadis menulis. Setumpuk lembaran kertas ditemukan di sudut
kamarnya. Kalimat demi kalimat dia coba
rangkai, untuk menunjukkan perasaannya yang terdalam. Terus menerus. Hingga akhirnya, lembaran ini lah yang dia
selesaikan.
8 tahun saya galau.
Galau tentang apa yang sedang saya rasa. Galau tentang apakah yang sedang dia rasa.
Saya tidak
mau berbasa basi. Saya tidak mau
mengulur-ulur waktu lagi. Sudah terlalu
lama waktu yang saya “korbankan” demi kegalauan ini. Kegalauan tiada akhir, yang harus segera
diakhiri. Meskipun dalam akhir tersebut,
ada konsekuensinya. Antara bahagia, atau
sedikit sentuhan duka lara. Tak
mengapa. Sebab saya sudah lelah. Saya lelah mematut hati pada satu hal yang
sama. Terus menerus, tanpa pernah
berhenti atau berganti.
Meskipun
harus saya akui, tak selamanya kegalauan ini berkobar layaknya lautan api. Memang ada kalanya kegalauan ini berkobar
layaknya lautan api. Namun terkadang, ia
hanya berbentuk serupa lilin, yang justru memiliki panas yang konstan, stabil.
8 tahun saya
mendamba, merindunya. Namun, layaknya sebuah peribahasa. Bagaikan pungguk merindukan bulan. Tiada suatu apa yang dapat saya lakukan. Kecuali melihat, mengharap. Keberanian saya terlampau kecil, bahkan untuk
sekedar bertatap serius sembari menyatakan rasa suka padanya. Hanya dapat bercengkrama dan bergembira,
menutup rasa suka yang teramat sangat.
Berbagai
kesempatan datang silih berganti. Namun
tiada pernah ada satu pergerakan apapun darinya, tidak juga dari saya. Saya tidak berani menduga, apa
penyebabnya. Saya tidak mau memikirkan
hal-hal yang justru dapat membuat saya sakit, merasa tercela.
Hingga
akhirnya, saat ini saya rasa cukup.
Terlalu lama hati saya berkorban untuk sebuah fakta, yang bahkan mungkin
tak pernah berubah sejak pertama saya memiliki rasa padanya.
Dan kini,
dihadapanmu.
Pertanyaan
saya singkat saja.
Dalam 8 tahun
terakhir, pernahkan dalam benakmu, terbesit namaku?
Dalam 8 tahun
terakhir, dapatkah kamu menangkap getar asmaraku tiap kali aku melihatmu?
Dalam 8 tahun
terakhir, apakah pernah ada kesempatan untukku agar bersamamu?
Atau.
Bilakah nanti
akan terbesit namaku dalam benakmu?
Bilakah nanti
dapat kau tangkap getar asmaraku tiap kali aku melihatmu?
Bilakah nanti
ada kesempatan untukku agar bersamamu?
Saya hanya
ingin mengakhiri kegalauan ini.
Tak jadi
soal, jika pahit harus dirasa. Selama
kepahitan itu dapat akhirnya mengubur segala rasa sakit akibat kegalauan yang
selama ini melanda. Saya tak ingin,
tahun-tahun kedepan akan diisi oleh kegalauan yang sama. Kegalauan tanpa akhir.
Nah, surat itulah yang disuatu hari, dengan
memberanikan diri, dikirimkan kepada sang Sahabat. Berharap sang sahabat akan luluh dan menerima
cintanya.
NOTE: tapi kita
udah tau kan, apa yang akan terjadi setelah sang gadis mengirimkan suratnya? Ya,
tiada seorang pun yang tau. ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar