Kamis, 15 Agustus 2013

dia dulu PERNAH suka, tapi tidak lagi (part-1)


Saya punya cerita.  Tentang seseorang yang telah memendam rasa selama bertahun-tahun lamanya.  Perasaan yang senantiasa dipupuk dan dijaga dengan seksama, agar tak pernah padam, meskipun dimakan oleh waktu.  Tentang seorang gadis, yang menyayangi sahabatnya sendiri, selama hampir 8 tahun lamanya.

Klise memang, layaknya roman picisan yang dijual dipinggir jalan, yang bisa dikarang oleh pelajar usia 16 tahun sebagai pekerjaan rumah pelajaran Bahasa Indonesia.  Basi, karena ide seperti ini sudah banyak ditulis oleh sejumlah pengarang, baik yang ternama maupun yang baru mulai mencari nama.   Tidak menarik, karena memang tidak ada yang menarik dari cerita sang gadis.

Namun yang pasti, saya dapat pastikan bahwa perasaan sang gadis benar-benar tulus.  Tanpa alasan, tanpa batasan.

Tanpa alasan.  Ketika kita menyukai seseorang, pastinya dilandasi oleh alasan-alasan tertentu.  Alasan yang rasional, dan tidak rasional.

“Dia itu, sosok yang cool banget kalo di sekolah.  Asli, nggak pake bohong.  Mana pinter lagi.”

“Dia ganteng bangettt, kaya bintang film.”

“Buset, anak orang kaya tau.  Masa iya nggak suka sama yang kaya-kaya?  Anaknya royal banget, nggak kira-kira kalo ngeluarin duit buat jajan.”

“Dia itu anak band, pinter maen musik.  Aku paling suka dirayu sambil maen alat musik.”

Dan banyak alasan-alasan lain, yang bisa diajukan ketika kita ditanya, kenapa kita suka sama seseorang.  Tapi tahukah kamu, semua alasan-alasan tersebut, jika memang sudah waktunya, dapat hilang berganti, disapu angin.

Sosok cool di sekolah, dapat berubah.  Karena kebanyakan gaya, bisa-bisa jadi betingkah nggak karu-karuan.  Sok cari perhatian.  Bahkan tak jarang, malah jadi anak berandalan.

Kelebihan fisik tidak bisa dipegang sebagai faktor utama, sebab ia bukanlah sesuatu yang tak lekang dimakan zaman.  Kamu terluka, atau kamu dewasa. Hal itu bisa membuatmu memiliki rupa berbeda hanya dalam tempo yang sekejap saja.

Selama harta yang bisa kau pamerkan adalah harta orang tua, jangan merasa bangga.  Kamu hanya numpang, parasit.  Nggak ada yang bisa dipamerkan dari harta itu.

Keahlian dalam bermain musik, bisa semakin berkembang dengan diasah, namun dapat juga menghilang, usang.

Apabila, hal-hal yang kita jadikan alasan dalam menyukai seserang hilang, maka hilanglah perasaan suka kita pada dia.  Namun, jika kita tulus menyukai seseorang, apa adanya, untuk segala yang ada pada dirinya, baik yang baru maupun yang terus menerus melekang padanya, itu baru hebat.  Itu yang namanya, menyukai tanpa alasan, mencintai tanpa alasan.

Tanpa batasan.  8 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mempertahankan suatu perasaan kepada seseorang.  Apalagi jika seseorang yang kamu sukai memiliki kepribadian  yang luar biasa.  Ramah, mudah bergaul, lucu, dan bahkan cukup tampan.  Cukup mudah untuk kita menjadi marah dan cemburu melihat sepak terjangnya di lingkungan sekitar.  Banyak yang ingin menjadi temannya, sahabatnya, dan bahkan tak jarang pacarnya.  Cukup mudah untuk menyerah pada kenyataan bahwa, dia selama ini menganggapmu, tak lebih dari teman biasa.  Yang bisa diajak tertawa dan bercanda, serta menangis dan berduka.

Tidak hanya itu saja.  Permasalahan yang lebih pelik akan muncul ketika pujaanmu, dengan bangganya berkata bahwa dia sedang berhubungan dengan seseorang, yang tentunya bukan dirimu.  Apa yang akan kamu lakukan, ketika pujaanmu, yang juga teman baikmu, datang kepadamu dan berkata “Aku punya pacar.”  Dengan senyumnya yang super sumringah, layaknya dunia hanya milik mereka berdua.   Apa yang akan kamu lakukan, ketika pujaanmu, yang juga teman baikmu, menceritakan bagaimana dia menyatakan perasaan ke gadis pujaannya, malam minggu pertama mereka, pertengkaran pertama mereka, akhir dari perjalanan cinta mereka.  Tak hanya sambil lalu, melainkan secara mendetail, tanpa ada satupun informasi yang terlewatkan.

“Bodoh, aku nggak mau denger ini semua.”  Itu yang kamu katakan dalam hati. 

“Serius? Busettt, so sweet banget kamu.  Beruntung banget cewek itu.”  Itu ucapmu, dilengkapi dengan senyuman super palsu. 

“Astagaaaa, hentikan semua ini.  Bukan dia yang harusnya bersamamu, tapi aku.”  Itu yang kamu gumamkan dalam hati.

“Kalian kesana? Ah, iri aku.  Makannya enak, viewnya juga ok.  Kapan-kapan aku kesana ah sama pacarku.”  Itu sambutanmu, dengan mata berbinar-binar penuh harapan hendak kesana.  Bukan, bukan dengan pacarmu, tapi dengan pujaanmu.

“Bagus, akhirnya berantem juga.  Bosen banget aku denger yang indah-indah mulu dari kalian berdua, nggak ada habis-habisnya.”  Suara hatimu, menyuarakan pandanganmu yang sesungguhnya terhadap hubungan mereka.

“Hmm, sabar ya.  Namanya juga lagi pacaran, nggak seru dong kalo nggak berantem.   Udah, kamu yang duluan telepon dia, minta maap.  Cowok dikit napa, biar keren.”  Ucapmu menenangkannya, dibarengi dengan usapan lembut dipunggungnya.

“Yesss, akhirnya, alhamdulilah.  Aku nggak perlu lagi degerin semua cerita dia sama pacarnya.  Ada kesempatan buat PKDT nih.”  Kamu bersyukur dalam hati, gembira, lega.

“Apa?? Kalian putus? Kok bisa? Duh, kalian kan pasangan serasi banget.. Udah nggak usah sedih, kalo emang jodoh kalian bakal balikan lagi.”  Kamu mencoba menguatkan pujaanmu, sambil memasang wajah sedih penuh perhatian.

Dan siklus diatas terjadi berkali-kali, berulang waktu demi waktu, on and on, like it will never stop.

Tak jarang, terjadi improvisasi.  Karena bukan hanya pujaanmu yang bisa memiliki kekasih, melainkan kamu juga.  Meskipun kamu sedang menjalin kasih dengan orang lain, pasti tetap ada tempat khusus di hatimu yang secara sadar maupun tidak, kamu tujukan untuknya.

Sewaktu sahabatmu berkunjung ke tempatmu, kamu akan senantiasa mendahulukan kepentingan pujaanmu ketimbang pacarmu.  Bahkan ketika mereka berdua berada dalam suatu situasi yang sama.  Kamu akan lebih dahulu mengambilkan makanan atau minuman untuk pujaanmu, menyusul kemudian kekasihmu.  Kamu akan lebih mendengar dan memperhatikan ucapan dari pujaanmu, dibandingkan kekasihmu.  Kamu akan dengan senang hati menemaninya membeli oleh-oleh, atau sekedar berjalan-jalan sore-sore keliling kota. 

Jika pacarmu bertanya, ada apa dengan sikapmu hari itu, kamu akan berkilah.

“Loh, dia kan sobat aku dari jaman dulu, udah kaya sodara sendiri.  Bukan cuma sama aku, sama ayah ibu juga udah sering ketemu, maen ke rumah.  nggak ada yang perlu kamu takutin, aku nggak bakal selingkuh dari kamu,” ujarmu menenangkan kekasihmu.

Untung bagimu jika kekasihmu bisa menerima penjelasanmu.  Sebab ada masanya, penjelasanmu itu, meskipun kamu kemas sedemikian rupa sehingga menjadi masuk akal, tidak dapat diterima dengan baik oleh kekasihmu.  Dia akan membuatmu memilih, antara dirinya atau sahabatmu. 

Kebingungan pun melanda hatimu.

Jika kamu lebih memilih sahabatmu, tentu kamu akan kehilangan pacarmu, seseorang yang secara fisik ada di hadapanmu.  Tempatmu berkeluh kesah, mendapatkan curahan kasih sayang dan perhatian, secara utuh, secara nyata. Konsekuensinya, kamu akan kehilangan dia yang telah kamu sayang untuk beberapa saat lamanya.  Kamu akan kehilangan pujaanmu.

Sebaliknya, jika kamu memilih sahabatmu, kamu akan kehilangan pacarmu.  Dan kamu tidak mendapatkan apa-apa, hanya sekedar perasaan puas, lega bahwa kamu tetap bisa mempertahankan ego-mu yang tak berkesudahan.  Sebab semua yang kamu rasakan terhadap sahabatmu, hanya bersifat satu arah saja.  Tanpa balasan.

Akhirnya, kamu ambil jalan tengah.  Kamu bilang ke pacarmu, kamu lebih memilih dia ketimbang sahabatmu.  Namun kamu tetap menyisakan sedikit ruang dihatimu, yang bahkan tak dapat terjamah oleh kekasihmu, untuk sahabatmu.  Tentu kasihmu tidak mengetahui kebohonganmu. Sebab, hati manusia tiada satu pun yang tahu kecuali sang pemilik hati itu sendiri.  Bahkan tak jarang, ada pemilik hati yang tak mengetahui kondisi hati yang dimilikinya.  Ya sang gadis itu sendiri.

Dia tak tahu, betapa celakanya ia, telah mendustakan seseorang yang telah begitu tulus hadir untuk dirinya.  Justru menyia-nyiakannya, memanfaatkannya.

Beberapa pertanyaan pasti muncul.  Kenapa sang gadis, sampai detik ini tidak juga berani menyatakan perasanaannya kepada sahabatnya itu?  Kalo emang sayang, cinta, ya dicoba disampaikan dong. Mau jungkir balik jalan jongkok juga, kalo suatu perasaan tidak pernah disampaikan, ya tidak akan pernah tersampaikan.

Banyak faktor yang membuat sang gadis tak juga menyampaikan perasaannya, tak berani memandang dan mengatakan rasa sayangnya kepada sang sahabat.  Logis, dan tidak logis.

“Iya kalo dia suka sama aku, kalo nggak gimana? Aku nggak mau kehilangan seorang sahabat, yang sangat berarti buat aku.  Bohong kalo ada cerita seorang cewek ditolak sama cowok, dan mereka berdua masih sahabatan terus-terusan.  Itu nggak logis.  Yang logis adalah, kalo emang si cowok masih ada di sekitar si cewek, itu karena si cowok ngerasa kasian sama si cewek, nggak mau si cewek ngerasa kecil hati karena ditolak terus ditinggalin sama si cewek.  Dan kalo ditinggalin, itu karena emang situasinya pasti udah nggak senyaman yang dulu lagi.  Ada rasa janggal diantara keduanya.  Yang satu masih ada feeling, bahkan bisa-bisa ngarep bakal ada secerah harapan buat kelangsungan hubungan mereka berdua. Sedangkan yang satu, ya awkward aja, canggung, kaku.  Dan bisanya, untuk menghilangkan kekakuan tersebut, jalan paling ampuh ya lari, menghindar, menghilangkan diri.  Emang pelan, tapi pasti.”  Argumentasi logis.

“Aku cewek, ya masa iya mau nembak cowok duluan.  Mau dikemanain muka aku, muka cowok itu.  Hakekatnya, laki-laki itu musti maju duluan, berani mengambil sikap.  Kalo emang suka, ya bilang dong suka sama si cewek.  Masa mau jadi ayam sayur? Kan nggak lucu kalo misalnya emang mereka berdua jadi, trus ditanya sama anak-anaknya.  Ayah, dulu sama ibu yang duluan nembak siapa?? Terus ibunya ceria, Ayahmu itu, nggak berani nembak Ibu.  Terpaksa Ibu yang ngungkapin perasaan ibu ke Ayah.  Kan bukan panutan yang baik buat anak-anaknya.”  Argumentasi nggak logis.

Namun akhirnya, sang gadis merasa cukup. Setelah 8 tahun bergelut dengan rasa yang tak kunjung padam, sang gadis mencoba memberanikan diri untuk menyampaikan kepada sang sahabat.

Betapa dia menyukainya.

Betapa dia perduli padanya.

Betapa dia menyayanginya.

Sang gadis sudah siap, dengan segala konsekuensi yang ada, dengan argumentasi logisnya.

Dia tak berharap banyak dari sang sahabat.  Dia tidak lagi terlalu berharap, hendak menjadi kekasihnya.  Dia hanya sudah terlalu lelah, menyimpan sejumput asa di hatinya.  Dia hanya ingin sahabatnya tau, bahwa selama ini dia selalu berusaha ada untuknya.  Tak perduli betapa sulit, sakit dan beratnya perasaan cemburu, amarah, sedih yang harus dirasakan.

Dan, tentu saja.  Kisah cinta mereka tidak berakhir bahagia.  Bahkan tidak pantas disebut kisah cinta, karena sejumput asa itu hanya berasal dari satu pihak saja.

Dan benar terjadi.  Sang sahabat, perlahan tapi pasti mulai menghilang dari hidup sang gadis.  Komunikasi, hanya dilakukan melalui alat komunikasi, tak lagi bertatapan langsung.

Tak perlu ada yang ditangisi, tak ada yang perlu disesali.  Karena setiap jalan yang kita ambil, pasti akan ada maknanya.

Sang gadis hanya perlu ikhlas.  Tak sulit baginya untuk mengikhlaskan ketidak hadiran sang sahabat di hadapannya.  Karena memang ia sudah terbiasa tanpa kehadirannya.  Yang sulit adalah, mengikhlaskan perasaan yang telah tertanam di dalam hatinya.  Mengikhlaskan harapan dan keinginan yang tumbuh dalam waktu tak singkat.  Yang paling utama, mengikhlaskan bayangan atas keberadaannya bersama dengan sang pujaan, terikat dalam satu hubungan kasih yang tak berkesudahan.

IKHLAS ITU SULIT, BAHKAN UNTUK SESUATU YANG BAHKAN TIDAK PERNAH KITA MILIKI.


Tidak.

Sebagai pemilik cerita ini, saya tidak rela jika penantian panjang sang gadis berakhir hanya seperti itu.  Terlalu panjang penantian yang harus dilaluinya.  8 tahun lamanya.  Jika saya mengakhiri cerita ini sampai disitu, terlalu sedih bagi sang gadis.  Jadi, saya ingin memberikan suatu penawaran lain.

Saya memang tidak bisa menentukan secara pasti, bagaimana akhir dari cerita cinta ini.  Sebab untuk menentukan akhir dari suatu cerita, harus ada kompromi dari dua belah pihak.  Dan satu yang tidak bisa saya pastikan.  Bagaimanakah sebetulnya perasaan dari sang sahabat.

Sebagai pemilik cerita, saya tentu bisa memaksakan bagaimana perasaan sang sahabat agar memuaskan keinginan sang gadis.  Tapi, tentu itu bukanlah hal yang adil.  Tidak bagi sang sahabat, tidak pula bagi sang gadis.  Karena sesuatu yang dipaksakan, tidaklah akan bertahan lama.

Yang saya bisa lakukan adalah, memberikan alternatif lain dari penyelesaian cerita cinta sang gadis.  Simpel, sederhana.

MEREKA BERDUA, HIDUP BAHAGIA SELAMANYA.

Tapi, itu pun dapat berarti beberapa hal yang sangat berbeda.

Pertama.  Seperti alternatif yang telah saya terangkan diatas, sang sahabat perlahan-lahan menjauh darinya.  Sang gadis mendapatkan penyelesaian, kelegaan yang mendalam, dan bisa mulai memberikan perasaannya secara penuh kepada laki-laki lain.  Sang sahabat pun menemukan tambatan hatinya.  Mereka berdua, masing-masing hidup bahagia selamanya.

Kedua.  Sang sahabat menerima perasaan sang gadis, karena tersentuh dengan cerita cintanya.  Ia mulai merasakan hal yang sama kepada sang gadis.  Mereka berdua, hidup bahagia selamanya.

Ketiga.  Ternyata sang sahabat selama ini memiliki perasaan yang sama seperti sang gadis, dan selama ini tidak memiliki cukup keberanian untuk menyatakan hal tersebut kepada sang gadis.  Mereka berdua, hidup bahagia selamanya.

Pilihan ada di tangan kita. 

Masing-masing manusia memiliki peran sendiri dalam menentukan jalan hidupnya, selain kemudian berserah pada Yang Kuasa.  Kombinasi dari kedua hal tersebut, yang akan menentukan akhir dari suatu cerita.   Apakah itu bahagia, ataukah nestapa.

Dan dalam hal ini, kisah cinta yang akan kita selesaikan adalah kisah cinta sang gadis.

Ingat.  Saya hanya memberikan alternatif, yang menurut saya masuk akal dan mungkin terjadi.  

Harus digaris bawahi.  Saya hanya memberikan alternatif, tidak memaksakan suatu pilihan.  Jika memang sang sahabat ternyata tidak nyaman dengan alternatif yang saya ajukan,  bisa saja.  Mungkin saya tidak cukup kreatif dalam mempertimbangan adanya kemungkinan-kemungkinan lain.  Karena tidak dapat saya pungkiri, saya mendukung sang gadis, saya memihak sang gadis.  Saya ingin yang terbaik untuk sang gadis, dengan tidak melupakan sang sahabat.

Sungguh, hanya Tuhan yang tahu kemana mereka akan melangkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar