Senin, 26 Agustus 2013

Brave

Today was a movie marathon day with my sister.  We watched some movies, three of them were Ice Age – The Meltdown, Wind Chill, and Harry Potter and the Goblet of Fire.  There was one thing I realized.  Men are always the same.  Mostly.

Why would I say that?  Here’s the thing.

In the Ice Age, there was a scene after the ice stop cracking, a group of Mammoths was walking to one direction, followed by Ellie.  Ellie was asking to Manny whether he was coming or not.  At that moment, it felt like Manny was about to say something to Ellie.  Saying that Ellie wasn’t supposed to follow the group, or did Ellie have feeling for him, or did Ellie want to be with him or not.  But, stupid him, instead of saying those, Manny just said that he wished her a happy trip.  What an idiot.  Because we could see from Ellie’s eyes, she was hoping Manny to ask her went with him.  My sister and I could see the disappointment in Ellie’s eyes.

In the Wind Chill, there were two main roles, a boy and a girl.  Just that, there were no names whatsoever.  The Boy offered the Girl a ride from Pennsylvania University to her home in Delaware.   Long story short, they were lost, in the middle of nowhere because actually the Boy didn’t come from Delaware as he declared to the girl before.  After some shocking scenes, he got injured.   To keep him awake, they talked.  He said that he felt sorry for not asking the girl out at the first place because he liked her so much.  If he could and he wished he could turning back in time, he would asked her out.  But in the end, he died.

And in the Harry Potter series, we all know that Ronald Weasley has a feeling for Hermione Granger.  But until the last movie, the Deadly Hollow part 2, he never tells her about his feeling.  Event in Goblet of Fire, Ron doesn’t ask Hermione to go to the Ball with him from the very beginning.  Even he says that, “Hermione, you’re a girl.  Do you want to go to the Ball with me?”  What a dumb move.  Fortunate for him, he could end up with Hermione at the end of the series.

From those three movies, my sister and I made a conclusion.  Sometimes, men are hard to understand.  Sometimes they tend to forget their capacity to act as a leader, to make a move when they’ve got a chance and not to run away instead.  They should not waste their time or the women’s time on waiting for them.

Not every men though, but in this case, since we got the conclusion based on those three movies, we kinda have to say that.

Now the lesson.

If you were in Manny, the Boy or Ron Weasley’s shoes, please take a deep breath and act.  Please be aware of every single sign from Ellie, the Girl or Hermione.  Please be brave and ask for her hand.   Nothing’s wrong with that.

Good for you if you have second chance.  Second chance to be brave as Manny was at last.  Second chance to have next opportunity to say his feeling as Ron had.  But what if you don’t have it, like the Boy.  He ended up dead, with no second chance.

There is a very great song from Sara Bareilles.  Brave.  Please listen to it.  Even though it’s not only about love song, but it can be inspired.  If, again, you were in Manny, the Boy or Ron Weasley’s shoes, just imagine Ellie, the Girl or Hermione sung this song for you.  It might encourage you to be brave, more brave. 


-Bekasi, August 25, 2013-

Rabu, 21 Agustus 2013

dulu dia PERNAH suka, tapi tidak lagi (part-3)


Masih bercerita tentang seorang gadis yang menyimpan rasa kepada sahabatnya sendiri selama kurang lebih 8 tahun lamanya.  Setelah saya pikir-pikir, saya timbang-timbang, saya telisik lebih dalam ke hati saya (andaikan saya adalah gadis itu), sebuah realita menghantam saya.

Sesungguhnya, betapa bodohnya saya (sang gadis) yang selama bertahun-tahun lamanya terbuai oleh kepalsuan perasaan saya (sang gadis) semata.  Betapa tidak realistisnya saya (sang gadis) dalam menilai dan melihat perasaan sang sahabat kepada saya (sang gadis).

Sebenernya nggak murni dari saya sendiri sih.  Bukan hasil pemikiran saya semata.  Bukan akal sehat saya yang terbuka dengan tiba-tiba.

Saya sempat bertukar pandangan dengan seorang teman saya.  Seorang laki-laki.  Saya meminta masukan dari sudut pandang laki-laki.  Saya minta dia memposisikan dirinya sebagai sang sahabat, dan saya sebagai sang gadis.

Saya sampaikan ke dia, ide cerita yang saya tulis sebelumnya.  Betapa saya mengagungkan serta membanggakan ketulusan perasaan sang gadis kepada sang sahabat.  Dengan harapan, teman saya itu akan mendukung saya.  

Apaan.  Yang ada, kepala saya ditoyor sama dia.  "Bloon lu."

Saya terpaku, sambil berpikir, ni orang nggak bisa menghargai cinta apa ya?  Jelas-jelas cerita saya itu sifatnya epik, heroik.  Kok nggak ada sedikit pun penghargaan terhaap cinta si gadis.

"Kok bisa?" saya bertanya.

Teman saya itu tersenyum, teramat sangat sinis.  Rasanya ingin tak cubit, tak tarik pipinya agar senyum sinis itu pergi dari wajahnya.

"Idealisme yang lu mau bangun itu nggak logis.  Justru sangat dibuat-buat, maksa.  Nggak mungkinlah 8 tahun awet banget mendem perasaan.  Pasti tu cewek kuper, nggak gaul, matanya nggak terbuka lebar, siwer, picek, nggak bisa liat dunia dengan segala isinya."

Saya cuma merengut, membayangkan celaan apa lagi yang bakal dia lontarkan. 

"Sekarang gini.  Lu nge-set sifat ceweknya gimana?  Apa pendiem, tipe-tipe kaya di tipi-tipi, bintang pelajar, pake kawat gigi sama kaca mata tebel banget?"

"Ya nggaklah, gue bikin sifat ceweknya itu periang, kalo ngomong blak-blakan, nggak pake bahasa isyarat, tapi langsung jleb."

"Terus cowoknya?"

"Hmm, gue si bikin sifatnya nggak gitu jauh dari si cewek.  Setipe, gampang berbaur sama orang.  Istilahnya, dilepas di tengah kota yang mereka nggak ada yang kenal juga mereka tetep bakal bisa idup, bisa balik lagi ke rumah."

"Nah, kalo lu udah bikin frame kaya gitu, kenapa lu masih nyimpang jauh banget dari frame yang lu tetapin sendiri?"

Saya manyum.

"Dimana-mana, cowok normal tu pasti bakal sadar kalo ada yang lagi suka sama dia.  Mau dia secuek apa kek, tetep aja kalo ada cewek yang suka ngeliatin, merhatiin, dia pasti sadar. Gitu juga si tokoh sahabat yang lu bikin.  Harusnya si, nggak musti ngabisin 8 tahun supaya dia sadar kalo tu cewek suka sama dia."

Saya masih manyun.

"Apalagi, lu bilang tadi si cewek sikapnya blak-blakan, periang, nggak pake bahasa isyarat.  Harusnya si, cerita yang bener ya, si cowok sadar sesadar-sadarnya kalo tu cewek mendem rasa sama dia."

Saya tetap manyun.

"Kalo lu setting perasaan si cewek nggak berbalas, itu bukan karena si cewek yang nggak ngaku, tapi lebih karena si cowok nggak punya perasaan apa-apa sama sekali dari awal mereka temenan, sahabatan.  Lebih masuk akal."

Saya makin manyun.

"Aku ngerti maksud lu.  Lu pengen mereka bakal happy ending kan?  Bisa aja si cewek yang ngaku kalo dia suka sama tu cowok, trus ternyata perasaan tu cewek berbalas.  Atau yang lebih oke, lu bikin akhirnya si cowok nembak si cewek yang ternyata selama ini dicintai setengah mati pula.  Tapi plis dong, itu bener-bener nggak masuk akal."

Bibir saya semakin kerucut.

"Kalo emang suka, si cowok nggak bakal tega ngebiarin si cewek mendem rasa lama banget kaya gitu.  Bisa-bisa jenggotan tu cewek."

Mata saya mulai berkedut.

"Tebakan gue, pasti arah cerita lu, lu mau ngarahin kalo si cowok, walaupun nggak pernah ngomong langsung sama tu cewek kalo dia suka, si cowok pasti sikapnya baik, manis, perhatian, penyabar, dengan tatapan super teduh tiap kali ngeliat si cewek.  Hal inilah yang jadi motivasi si cewek buat nunggu si cowok, ngarepin jadian, jalan bareng.  Ya kan?"

 Sh*t, dia bener.  Terpaksa saya menggerakkan kepala, perlahan, naik turun, kaya ayam jago lagi ngantuk.

Senyum sinisnya terkembang kembali.

"Lu itu, sebelum bikin cerita, harusnya survey dulu.  Jangan ujug-ujug bikin alur cerita yang maksa.  Emang si, lu bebas nentuin isi cerita lu.  Tapi lu juga harus bisa berlaku adil sama lakon-lakon yang ada di cerita lu.  Nggak boleh seenak perut lu sendiri.  Umpakan aja mereka benaran memiliki nyawa.  Umpakan lu di posisi mereka.  Rela nggak kira-kira ngelakuin apa yang lu garisin di cerita mereka?"

Bibir saya masih mengerucut, mata saya memicing.

"Sorry ni ya, lu kan nanya pendapat gue.  Pendapat gue sebagai laki-laki normal, yang punya sifat ceria yang kaya lu bilang tadi.  Dan gue punya sahabat cewek yang udah 8 taun lebih ada di samping gue, bantu gue, siap sedia buat gue.  Nggak mungkin gue nggak tau kalo dia suka sama gue.  Yang ada, karena gue udah tau feeling dia, gue nggak enak mau ninggalin dia, mau ngejauh dari dia. Gue tutupin sama kebaikan gue, sikap dan sifat gue, dengan harapan dia bakal sadar sendiri kalo gue nggak pernah nganggep dia kaya yang dia pengen.  Dengan harapan dia bakal ngehentiin semua perasaan dia ke gue dengan sendirinya.  Kalo menurut gue si itu nggak bakalan kejadian."

Dielusnya kepala saya, diacak-acaknya rambut saya.

"Elu, harus adil sama tokoh ceweknya.  Nggak boleh jadi super tega.  Pertimbangin opsi paling logis, walaupun itu paling pesimis sifatnya.  Gue jamin, di dunia nyata, sia-sia kalo si cewek masih mau ngaku sama si cowok kalo dia suka mati sama dia.  Nggak ada gunanya.  Kalo emang si cewek butuh penyelesaian, apa iya jalannya lewat ngaku?  Emang dia nggak bisa cari penyelesaian sendiri?"

Akhir saya lihat senyuman tanpa diiringi seringai penuh kesinisan.

"Akan lebih baik buat si cewek bikin penyelesaian sendiri.  Walaupun bisa dibilang udah telat banget, tapi paling nggak lu masih bisa nyelametin muka tu cewek.  Lu masih bisa benerin image dia, paling nggak jadi dewasa seiring perjalanan waktunya yang teramat sia-sia.  Jangan buat tokoh utama lu lebih menderita lagi."

Lama saya berpikir.  Dan akhirnya, saya mengamini semua ucapannya.

Jadi, saya mau ralat akhir cerita saya.

Saya sisipkan beberapa fakta untuk menguatkan pendirian saya.

Bahwa sang sahabat pernah menolak ajakan nonton dari sang gadis.

Bahwa tidak hanya ketika bertamu ke rumah sang gadis, sang sahabat membawa sekotak besar makanan, melainkan ketika bertamu ke rumah teman lainnya.

Bahwa sikap manis si sahabat tak hanya kepada sang gadis, melainkan pada semua gadis lainnya.

Dan akhirnya, sang gadis menyadari, bahwa sesungguhnya tak pernah sedikit pun terlintas namanya di benak sahabat, bahwa sang sahabat tak dapat menangkap getar asmara yang dipancarkan oleh sang gadis, maupun tak akan pernah ada kesempatan untuk mereka bersama.

Sulit memang untuk sang gadis menerima.  Namun harus saya buat seperti ini.  Karena inilah kisah yang paling masuk akal yang bisa saya cerna.

CASE CLOSED.



-Sudirman, 2 Agustus 2013-

Jumat, 16 Agustus 2013

dulu dia PERNAH suka, tapi tidak lagi (part-2)

Masih ingat sama cerita saya terdahulu?  Tentang seorang cewek yang memendam rasa terhadap sahabatnya, hampir 8 tahun lamanya (Previously on dulu dia PERNAH suka, tapi tidak lagi (part-1)

Nah, saya ingin melanjutkan cerita saya tersebut.

Di akhir cerita, saya katakan bahwa sang gadis menyerah kalah pada perasaannya.  Bahwa akhirnya sang gadis memilih menyatakan perasan yang sesungguhnya pada sang sahabat.  Mau tau caranya?

Begini caranya.

Karena sang gadis masih tak juga berani menatap langsung dan menyatakan perasaannya, akhirnya dia memilih satu cara yang sangat mudah.  Sang gadis menulis.  Setumpuk lembaran kertas ditemukan di sudut kamarnya.  Kalimat demi kalimat dia coba rangkai, untuk menunjukkan perasaannya yang terdalam.  Terus menerus.  Hingga akhirnya, lembaran ini lah yang dia selesaikan.

8 tahun saya galau.
Galau tentang apa yang sedang saya rasa.  Galau tentang apakah yang sedang dia rasa. 
Saya tidak mau berbasa basi.  Saya tidak mau mengulur-ulur waktu lagi.  Sudah terlalu lama waktu yang saya “korbankan” demi kegalauan ini.  Kegalauan tiada akhir, yang harus segera diakhiri.  Meskipun dalam akhir tersebut, ada konsekuensinya.  Antara bahagia, atau sedikit sentuhan duka lara.  Tak mengapa.  Sebab saya sudah lelah.  Saya lelah mematut hati pada satu hal yang sama.  Terus menerus, tanpa pernah berhenti atau berganti.
Meskipun harus saya akui, tak selamanya kegalauan ini berkobar layaknya lautan api.  Memang ada kalanya kegalauan ini berkobar layaknya lautan api.  Namun terkadang, ia hanya berbentuk serupa lilin, yang justru memiliki panas yang konstan, stabil.
8 tahun saya mendamba,  merindunya.  Namun, layaknya sebuah peribahasa.  Bagaikan pungguk merindukan bulan.  Tiada suatu apa yang dapat saya lakukan.  Kecuali melihat, mengharap.  Keberanian saya terlampau kecil, bahkan untuk sekedar bertatap serius sembari menyatakan rasa suka padanya.  Hanya dapat bercengkrama dan bergembira, menutup rasa suka yang teramat sangat.
Berbagai kesempatan datang silih berganti.  Namun tiada pernah ada satu pergerakan apapun darinya, tidak juga dari saya.  Saya tidak berani menduga, apa penyebabnya.  Saya tidak mau memikirkan hal-hal yang justru dapat membuat saya sakit, merasa tercela.
Hingga akhirnya, saat ini saya rasa cukup.  Terlalu lama hati saya berkorban untuk sebuah fakta, yang bahkan mungkin tak pernah berubah sejak pertama saya memiliki rasa padanya.
Dan kini, dihadapanmu.
Pertanyaan saya singkat saja.
Dalam 8 tahun terakhir, pernahkan dalam benakmu, terbesit namaku?
Dalam 8 tahun terakhir, dapatkah kamu menangkap getar asmaraku tiap kali aku melihatmu?
Dalam 8 tahun terakhir, apakah pernah ada kesempatan untukku agar bersamamu?
Atau.
Bilakah nanti akan terbesit namaku dalam benakmu?
Bilakah nanti dapat kau tangkap getar asmaraku tiap kali aku melihatmu?
Bilakah nanti ada kesempatan untukku agar bersamamu?
Saya hanya ingin mengakhiri kegalauan ini.
Tak jadi soal, jika pahit harus dirasa.  Selama kepahitan itu dapat akhirnya mengubur segala rasa sakit akibat kegalauan yang selama ini melanda.  Saya tak ingin, tahun-tahun kedepan akan diisi oleh kegalauan yang sama.  Kegalauan tanpa akhir.

Nah, surat itulah yang disuatu hari, dengan memberanikan diri, dikirimkan kepada sang Sahabat.  Berharap sang sahabat akan luluh dan menerima cintanya.

NOTE:  tapi kita udah tau kan, apa yang akan terjadi setelah sang gadis mengirimkan suratnya? Ya, tiada seorang pun yang tau. ;)


Kamis, 15 Agustus 2013

dia dulu PERNAH suka, tapi tidak lagi (part-1)


Saya punya cerita.  Tentang seseorang yang telah memendam rasa selama bertahun-tahun lamanya.  Perasaan yang senantiasa dipupuk dan dijaga dengan seksama, agar tak pernah padam, meskipun dimakan oleh waktu.  Tentang seorang gadis, yang menyayangi sahabatnya sendiri, selama hampir 8 tahun lamanya.

Klise memang, layaknya roman picisan yang dijual dipinggir jalan, yang bisa dikarang oleh pelajar usia 16 tahun sebagai pekerjaan rumah pelajaran Bahasa Indonesia.  Basi, karena ide seperti ini sudah banyak ditulis oleh sejumlah pengarang, baik yang ternama maupun yang baru mulai mencari nama.   Tidak menarik, karena memang tidak ada yang menarik dari cerita sang gadis.

Namun yang pasti, saya dapat pastikan bahwa perasaan sang gadis benar-benar tulus.  Tanpa alasan, tanpa batasan.

Tanpa alasan.  Ketika kita menyukai seseorang, pastinya dilandasi oleh alasan-alasan tertentu.  Alasan yang rasional, dan tidak rasional.

“Dia itu, sosok yang cool banget kalo di sekolah.  Asli, nggak pake bohong.  Mana pinter lagi.”

“Dia ganteng bangettt, kaya bintang film.”

“Buset, anak orang kaya tau.  Masa iya nggak suka sama yang kaya-kaya?  Anaknya royal banget, nggak kira-kira kalo ngeluarin duit buat jajan.”

“Dia itu anak band, pinter maen musik.  Aku paling suka dirayu sambil maen alat musik.”

Dan banyak alasan-alasan lain, yang bisa diajukan ketika kita ditanya, kenapa kita suka sama seseorang.  Tapi tahukah kamu, semua alasan-alasan tersebut, jika memang sudah waktunya, dapat hilang berganti, disapu angin.

Sosok cool di sekolah, dapat berubah.  Karena kebanyakan gaya, bisa-bisa jadi betingkah nggak karu-karuan.  Sok cari perhatian.  Bahkan tak jarang, malah jadi anak berandalan.

Kelebihan fisik tidak bisa dipegang sebagai faktor utama, sebab ia bukanlah sesuatu yang tak lekang dimakan zaman.  Kamu terluka, atau kamu dewasa. Hal itu bisa membuatmu memiliki rupa berbeda hanya dalam tempo yang sekejap saja.

Selama harta yang bisa kau pamerkan adalah harta orang tua, jangan merasa bangga.  Kamu hanya numpang, parasit.  Nggak ada yang bisa dipamerkan dari harta itu.

Keahlian dalam bermain musik, bisa semakin berkembang dengan diasah, namun dapat juga menghilang, usang.

Apabila, hal-hal yang kita jadikan alasan dalam menyukai seserang hilang, maka hilanglah perasaan suka kita pada dia.  Namun, jika kita tulus menyukai seseorang, apa adanya, untuk segala yang ada pada dirinya, baik yang baru maupun yang terus menerus melekang padanya, itu baru hebat.  Itu yang namanya, menyukai tanpa alasan, mencintai tanpa alasan.

Tanpa batasan.  8 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mempertahankan suatu perasaan kepada seseorang.  Apalagi jika seseorang yang kamu sukai memiliki kepribadian  yang luar biasa.  Ramah, mudah bergaul, lucu, dan bahkan cukup tampan.  Cukup mudah untuk kita menjadi marah dan cemburu melihat sepak terjangnya di lingkungan sekitar.  Banyak yang ingin menjadi temannya, sahabatnya, dan bahkan tak jarang pacarnya.  Cukup mudah untuk menyerah pada kenyataan bahwa, dia selama ini menganggapmu, tak lebih dari teman biasa.  Yang bisa diajak tertawa dan bercanda, serta menangis dan berduka.

Tidak hanya itu saja.  Permasalahan yang lebih pelik akan muncul ketika pujaanmu, dengan bangganya berkata bahwa dia sedang berhubungan dengan seseorang, yang tentunya bukan dirimu.  Apa yang akan kamu lakukan, ketika pujaanmu, yang juga teman baikmu, datang kepadamu dan berkata “Aku punya pacar.”  Dengan senyumnya yang super sumringah, layaknya dunia hanya milik mereka berdua.   Apa yang akan kamu lakukan, ketika pujaanmu, yang juga teman baikmu, menceritakan bagaimana dia menyatakan perasaan ke gadis pujaannya, malam minggu pertama mereka, pertengkaran pertama mereka, akhir dari perjalanan cinta mereka.  Tak hanya sambil lalu, melainkan secara mendetail, tanpa ada satupun informasi yang terlewatkan.

“Bodoh, aku nggak mau denger ini semua.”  Itu yang kamu katakan dalam hati. 

“Serius? Busettt, so sweet banget kamu.  Beruntung banget cewek itu.”  Itu ucapmu, dilengkapi dengan senyuman super palsu. 

“Astagaaaa, hentikan semua ini.  Bukan dia yang harusnya bersamamu, tapi aku.”  Itu yang kamu gumamkan dalam hati.

“Kalian kesana? Ah, iri aku.  Makannya enak, viewnya juga ok.  Kapan-kapan aku kesana ah sama pacarku.”  Itu sambutanmu, dengan mata berbinar-binar penuh harapan hendak kesana.  Bukan, bukan dengan pacarmu, tapi dengan pujaanmu.

“Bagus, akhirnya berantem juga.  Bosen banget aku denger yang indah-indah mulu dari kalian berdua, nggak ada habis-habisnya.”  Suara hatimu, menyuarakan pandanganmu yang sesungguhnya terhadap hubungan mereka.

“Hmm, sabar ya.  Namanya juga lagi pacaran, nggak seru dong kalo nggak berantem.   Udah, kamu yang duluan telepon dia, minta maap.  Cowok dikit napa, biar keren.”  Ucapmu menenangkannya, dibarengi dengan usapan lembut dipunggungnya.

“Yesss, akhirnya, alhamdulilah.  Aku nggak perlu lagi degerin semua cerita dia sama pacarnya.  Ada kesempatan buat PKDT nih.”  Kamu bersyukur dalam hati, gembira, lega.

“Apa?? Kalian putus? Kok bisa? Duh, kalian kan pasangan serasi banget.. Udah nggak usah sedih, kalo emang jodoh kalian bakal balikan lagi.”  Kamu mencoba menguatkan pujaanmu, sambil memasang wajah sedih penuh perhatian.

Dan siklus diatas terjadi berkali-kali, berulang waktu demi waktu, on and on, like it will never stop.

Tak jarang, terjadi improvisasi.  Karena bukan hanya pujaanmu yang bisa memiliki kekasih, melainkan kamu juga.  Meskipun kamu sedang menjalin kasih dengan orang lain, pasti tetap ada tempat khusus di hatimu yang secara sadar maupun tidak, kamu tujukan untuknya.

Sewaktu sahabatmu berkunjung ke tempatmu, kamu akan senantiasa mendahulukan kepentingan pujaanmu ketimbang pacarmu.  Bahkan ketika mereka berdua berada dalam suatu situasi yang sama.  Kamu akan lebih dahulu mengambilkan makanan atau minuman untuk pujaanmu, menyusul kemudian kekasihmu.  Kamu akan lebih mendengar dan memperhatikan ucapan dari pujaanmu, dibandingkan kekasihmu.  Kamu akan dengan senang hati menemaninya membeli oleh-oleh, atau sekedar berjalan-jalan sore-sore keliling kota. 

Jika pacarmu bertanya, ada apa dengan sikapmu hari itu, kamu akan berkilah.

“Loh, dia kan sobat aku dari jaman dulu, udah kaya sodara sendiri.  Bukan cuma sama aku, sama ayah ibu juga udah sering ketemu, maen ke rumah.  nggak ada yang perlu kamu takutin, aku nggak bakal selingkuh dari kamu,” ujarmu menenangkan kekasihmu.

Untung bagimu jika kekasihmu bisa menerima penjelasanmu.  Sebab ada masanya, penjelasanmu itu, meskipun kamu kemas sedemikian rupa sehingga menjadi masuk akal, tidak dapat diterima dengan baik oleh kekasihmu.  Dia akan membuatmu memilih, antara dirinya atau sahabatmu. 

Kebingungan pun melanda hatimu.

Jika kamu lebih memilih sahabatmu, tentu kamu akan kehilangan pacarmu, seseorang yang secara fisik ada di hadapanmu.  Tempatmu berkeluh kesah, mendapatkan curahan kasih sayang dan perhatian, secara utuh, secara nyata. Konsekuensinya, kamu akan kehilangan dia yang telah kamu sayang untuk beberapa saat lamanya.  Kamu akan kehilangan pujaanmu.

Sebaliknya, jika kamu memilih sahabatmu, kamu akan kehilangan pacarmu.  Dan kamu tidak mendapatkan apa-apa, hanya sekedar perasaan puas, lega bahwa kamu tetap bisa mempertahankan ego-mu yang tak berkesudahan.  Sebab semua yang kamu rasakan terhadap sahabatmu, hanya bersifat satu arah saja.  Tanpa balasan.

Akhirnya, kamu ambil jalan tengah.  Kamu bilang ke pacarmu, kamu lebih memilih dia ketimbang sahabatmu.  Namun kamu tetap menyisakan sedikit ruang dihatimu, yang bahkan tak dapat terjamah oleh kekasihmu, untuk sahabatmu.  Tentu kasihmu tidak mengetahui kebohonganmu. Sebab, hati manusia tiada satu pun yang tahu kecuali sang pemilik hati itu sendiri.  Bahkan tak jarang, ada pemilik hati yang tak mengetahui kondisi hati yang dimilikinya.  Ya sang gadis itu sendiri.

Dia tak tahu, betapa celakanya ia, telah mendustakan seseorang yang telah begitu tulus hadir untuk dirinya.  Justru menyia-nyiakannya, memanfaatkannya.

Beberapa pertanyaan pasti muncul.  Kenapa sang gadis, sampai detik ini tidak juga berani menyatakan perasanaannya kepada sahabatnya itu?  Kalo emang sayang, cinta, ya dicoba disampaikan dong. Mau jungkir balik jalan jongkok juga, kalo suatu perasaan tidak pernah disampaikan, ya tidak akan pernah tersampaikan.

Banyak faktor yang membuat sang gadis tak juga menyampaikan perasaannya, tak berani memandang dan mengatakan rasa sayangnya kepada sang sahabat.  Logis, dan tidak logis.

“Iya kalo dia suka sama aku, kalo nggak gimana? Aku nggak mau kehilangan seorang sahabat, yang sangat berarti buat aku.  Bohong kalo ada cerita seorang cewek ditolak sama cowok, dan mereka berdua masih sahabatan terus-terusan.  Itu nggak logis.  Yang logis adalah, kalo emang si cowok masih ada di sekitar si cewek, itu karena si cowok ngerasa kasian sama si cewek, nggak mau si cewek ngerasa kecil hati karena ditolak terus ditinggalin sama si cewek.  Dan kalo ditinggalin, itu karena emang situasinya pasti udah nggak senyaman yang dulu lagi.  Ada rasa janggal diantara keduanya.  Yang satu masih ada feeling, bahkan bisa-bisa ngarep bakal ada secerah harapan buat kelangsungan hubungan mereka berdua. Sedangkan yang satu, ya awkward aja, canggung, kaku.  Dan bisanya, untuk menghilangkan kekakuan tersebut, jalan paling ampuh ya lari, menghindar, menghilangkan diri.  Emang pelan, tapi pasti.”  Argumentasi logis.

“Aku cewek, ya masa iya mau nembak cowok duluan.  Mau dikemanain muka aku, muka cowok itu.  Hakekatnya, laki-laki itu musti maju duluan, berani mengambil sikap.  Kalo emang suka, ya bilang dong suka sama si cewek.  Masa mau jadi ayam sayur? Kan nggak lucu kalo misalnya emang mereka berdua jadi, trus ditanya sama anak-anaknya.  Ayah, dulu sama ibu yang duluan nembak siapa?? Terus ibunya ceria, Ayahmu itu, nggak berani nembak Ibu.  Terpaksa Ibu yang ngungkapin perasaan ibu ke Ayah.  Kan bukan panutan yang baik buat anak-anaknya.”  Argumentasi nggak logis.

Namun akhirnya, sang gadis merasa cukup. Setelah 8 tahun bergelut dengan rasa yang tak kunjung padam, sang gadis mencoba memberanikan diri untuk menyampaikan kepada sang sahabat.

Betapa dia menyukainya.

Betapa dia perduli padanya.

Betapa dia menyayanginya.

Sang gadis sudah siap, dengan segala konsekuensi yang ada, dengan argumentasi logisnya.

Dia tak berharap banyak dari sang sahabat.  Dia tidak lagi terlalu berharap, hendak menjadi kekasihnya.  Dia hanya sudah terlalu lelah, menyimpan sejumput asa di hatinya.  Dia hanya ingin sahabatnya tau, bahwa selama ini dia selalu berusaha ada untuknya.  Tak perduli betapa sulit, sakit dan beratnya perasaan cemburu, amarah, sedih yang harus dirasakan.

Dan, tentu saja.  Kisah cinta mereka tidak berakhir bahagia.  Bahkan tidak pantas disebut kisah cinta, karena sejumput asa itu hanya berasal dari satu pihak saja.

Dan benar terjadi.  Sang sahabat, perlahan tapi pasti mulai menghilang dari hidup sang gadis.  Komunikasi, hanya dilakukan melalui alat komunikasi, tak lagi bertatapan langsung.

Tak perlu ada yang ditangisi, tak ada yang perlu disesali.  Karena setiap jalan yang kita ambil, pasti akan ada maknanya.

Sang gadis hanya perlu ikhlas.  Tak sulit baginya untuk mengikhlaskan ketidak hadiran sang sahabat di hadapannya.  Karena memang ia sudah terbiasa tanpa kehadirannya.  Yang sulit adalah, mengikhlaskan perasaan yang telah tertanam di dalam hatinya.  Mengikhlaskan harapan dan keinginan yang tumbuh dalam waktu tak singkat.  Yang paling utama, mengikhlaskan bayangan atas keberadaannya bersama dengan sang pujaan, terikat dalam satu hubungan kasih yang tak berkesudahan.

IKHLAS ITU SULIT, BAHKAN UNTUK SESUATU YANG BAHKAN TIDAK PERNAH KITA MILIKI.


Tidak.

Sebagai pemilik cerita ini, saya tidak rela jika penantian panjang sang gadis berakhir hanya seperti itu.  Terlalu panjang penantian yang harus dilaluinya.  8 tahun lamanya.  Jika saya mengakhiri cerita ini sampai disitu, terlalu sedih bagi sang gadis.  Jadi, saya ingin memberikan suatu penawaran lain.

Saya memang tidak bisa menentukan secara pasti, bagaimana akhir dari cerita cinta ini.  Sebab untuk menentukan akhir dari suatu cerita, harus ada kompromi dari dua belah pihak.  Dan satu yang tidak bisa saya pastikan.  Bagaimanakah sebetulnya perasaan dari sang sahabat.

Sebagai pemilik cerita, saya tentu bisa memaksakan bagaimana perasaan sang sahabat agar memuaskan keinginan sang gadis.  Tapi, tentu itu bukanlah hal yang adil.  Tidak bagi sang sahabat, tidak pula bagi sang gadis.  Karena sesuatu yang dipaksakan, tidaklah akan bertahan lama.

Yang saya bisa lakukan adalah, memberikan alternatif lain dari penyelesaian cerita cinta sang gadis.  Simpel, sederhana.

MEREKA BERDUA, HIDUP BAHAGIA SELAMANYA.

Tapi, itu pun dapat berarti beberapa hal yang sangat berbeda.

Pertama.  Seperti alternatif yang telah saya terangkan diatas, sang sahabat perlahan-lahan menjauh darinya.  Sang gadis mendapatkan penyelesaian, kelegaan yang mendalam, dan bisa mulai memberikan perasaannya secara penuh kepada laki-laki lain.  Sang sahabat pun menemukan tambatan hatinya.  Mereka berdua, masing-masing hidup bahagia selamanya.

Kedua.  Sang sahabat menerima perasaan sang gadis, karena tersentuh dengan cerita cintanya.  Ia mulai merasakan hal yang sama kepada sang gadis.  Mereka berdua, hidup bahagia selamanya.

Ketiga.  Ternyata sang sahabat selama ini memiliki perasaan yang sama seperti sang gadis, dan selama ini tidak memiliki cukup keberanian untuk menyatakan hal tersebut kepada sang gadis.  Mereka berdua, hidup bahagia selamanya.

Pilihan ada di tangan kita. 

Masing-masing manusia memiliki peran sendiri dalam menentukan jalan hidupnya, selain kemudian berserah pada Yang Kuasa.  Kombinasi dari kedua hal tersebut, yang akan menentukan akhir dari suatu cerita.   Apakah itu bahagia, ataukah nestapa.

Dan dalam hal ini, kisah cinta yang akan kita selesaikan adalah kisah cinta sang gadis.

Ingat.  Saya hanya memberikan alternatif, yang menurut saya masuk akal dan mungkin terjadi.  

Harus digaris bawahi.  Saya hanya memberikan alternatif, tidak memaksakan suatu pilihan.  Jika memang sang sahabat ternyata tidak nyaman dengan alternatif yang saya ajukan,  bisa saja.  Mungkin saya tidak cukup kreatif dalam mempertimbangan adanya kemungkinan-kemungkinan lain.  Karena tidak dapat saya pungkiri, saya mendukung sang gadis, saya memihak sang gadis.  Saya ingin yang terbaik untuk sang gadis, dengan tidak melupakan sang sahabat.

Sungguh, hanya Tuhan yang tahu kemana mereka akan melangkah.