Selasa, 15 April 2014

Dikebut Membaca

Sabtu itu, 5 April 2014, adalah kali ke-5 aku bertandang ke Posko Kuning.  Ketika itu aku sedang batuk, membuatku tak mampu berlakon sebagai ibu guru dihadapan sejumlah murid usia 3-5th.  Para peserta PAUD.  Maka jadilah, aku berdiam di pojok belakang ruangan, dekat rak buku, sembari memperhatikan rekan-rekan sejawatku yang sibuk memusatkan perhatian peserta PAUD pada mereka.

Pagi itu lumayan terik.  Jarum jam masih tampak tersenyum, baru lewat pukul 10, ketika ku lihat di sudut daun pintu, dua wajah yang sangat ku kenali. Berbalut seragam coklat Pramuka, berdua mereka tersenyum malu-malu, sambil curi-curi pandang ke arahku.  Ku lambaikan tangan ke arah mereka, ku lanjut dengan gerakan telunjuk yang ku rapatkan ke bibir, meminta mereka tenang.  Sebab kegiatan PAUD masih berlangsung dengan riang.

Detik berlalu perlahan, dapat ku rasakan kegelisahan yang terpancar dari sudut pintu.  Di balik masker, aku tersenyum.  Geli membayangkan isi pikiran dua gadis manis itu.  Segera ku beranjak dari singgasanaku.  Ku sambar batangan pensil, buku tulis dan buku bacaan, seraya bergeser ke pintu secara perlahan. Mataku menangkap mata rekanku yang menangkap pergerakanku.  Berisyarat layaknya tarzan, aku pamit, berbalas anggukan kepala darinya.

Tak lama, kami duduk bertiga, di sebuah taman kecil di samping Posko Kuning.  Tak pula lantas pantas disebut Taman, sebab hanya ada satu perosotan kecil serta ayunan yang sudah tak jelas juntrungannya.  Namun setidaknya, ada alas untuk duduk, serta rimbun daun yang menaungi kami.

Disanalah, aku melanjutkan pengawalanku terhadap Indah dan Tia.  Pengawalan yang tak seberapa, terhadap pelajaran yang tengah mereka tempa di kelas 4 SD.  Berbekal buku tulis, ku kebut pemahaman mereka tentang dunia hitung-hitungan.  Atau perbendaharaan kata dalam Bahasa Inggris.  Atau sekedar mengenal angka romawi.

Baik Indah maupun Tia, keduanya anak yang cukup pandai.  Kebayakan soal-soal yang ku tulis di buku, dapat mereka kerjakan dengan nilai baik.  Seimbang, berkisar 7-10.  Indah tidak lebih pandai ketimbang Tia, namun Tia tidak lebih teliti ketimbang Indah.  Hal ini yang membuat keduanya saling susul menyusul dalam mengejar nilai dariku.

Satu yang agak sulit ku tempa dari mereka, yang seyogyanya diemban oleh nama kegiatan kami.  Minat baca.  Yap, mereka berdua masih enggan ketika aku minta untuk membaca.  Bermacam buku yang kerap ku sodorkan, hanya dibaca sambil lalu.  Mereka lebih senang mencari cara menyelesaikan soal-soal yang ku tulis untuk mereka.

Agak miris rasanya.  Sebab, masih sangat ku ingat, betapa gandrungnya aku akan membaca.  Segala macam buku bacaan habis ku lalap sedari kecil.  Bahkan, beberapa kisah istimewa turut pula tergurat di masa kecilku.

Ayah ibuku, yang tak pula cukup mampu untuk berlangganan majalah Bobo edisi terbaru di tiap minggu, memiliki cara yang unik untuk dapat tetap menuntaskan dahagaku dan kedua adikku dalam membaca.  Sistem itu bernama Tukar Guling, istilah karangan kami sendiri.  Kami memiliki sejumlah majalah induk, yang akan kami putar dengan majalah "terbaru" di tukang majalah langganan kami.  Terbaru disini bukan berarti edisi terbaru, melainkan majalah Bobo yang belum pernah kami baca.  Tak menjadi masalah majalah itu terbitan tahun kapan.  Sebab, suatu cerita itu tak pernah mengenal kata usang, kuno, lampau, atau ketinggalan jaman.  Pun artikel-artikel menarik di dalamnya.  Bukan menjadi kesalahan bagi si pembaca jika ia baru membaca artikel tersebut berbulan-bulan setelah artikel di buat.  Yang terpenting, aku mau membacanya.  Begitu ucap ayah ketika itu.

Dilain hari, Ibuku pernah bercerita, cerita dari Lek Surti si tukang sayur bersepeda yang selalu setia datang ke komplek perumahan sederhana kami.  Alkisah, ketika umurku sebaya dengan Indah dan Tia, aku pernah mendatanginya, sambil menenteng koran bekas dan sudah tidak dibaca lagi.  Sambil menyodorkan gulungan koran itu, aku berkata, "Lek Surti, boleh ndak aku tukar bungkus cabe Bulek dengan koran ini?".  Ah, ternyata kertas yang dipakai oleh Lek Surti adalah buku cerita rakyat bergambar, yang tentu sangat aku gemari.  Ibu, yang mendengar cerita ini, tak dapat menahan geli bercampur haru.  Begitu pula aku, saat mendengar beliau menceritakan kembali kisah itu padaku.

Nah, aku ingin kecintaan baca Indah dan Tia, sebesar rasa cinta yang ku miliki.  Karenanya, tak putus ku cekoki mereka dengan buku bacaan saat kunjungan rutin mereka di setiap hari Sabtu.  Ingin ku buat mereka, menemukan keasyikan tersendiri dalam membaca.  Agar mereka mengenal dunia dan isinya.  Meskipun raga mereka terkungkung dalam kelurahan Kebon Baru, tak membuat pengetahuan mereka dilarang untuk melanglang buana ke penjuru nusantara, kan?

Dan yang paling utama, agar Taman Bacaan Indonesia Menyala Kebon Baru, benar-benar berfungsi sebagai Taman Bacaan bagi rekan-rekanku yang masih SD ini.

Sabtu ini, akan ke geber kembali minat baca mereka.  aku sudah menemukan satu cara untuk memotivasi mereka dalam membaca.  Apa itu?  Mari kita tunggu cerita berikutnya.


These two little girls are my new little sisters

Tidak ada komentar:

Posting Komentar