“SENJA.
Demikian akan ku sebut sebuah cerita yang akan kusampaikan pagi ini,”
Rangga memulai dengan perlahan.
“Gemuruh petir terdengar
dikejauhan. Hujan turun dengan derasnya,
bagaikan sengaja ditumpahkan oleh Dewa Langit.
Awan gelap menyelimuti senja itu, tanpa mentari dengan rona jingganya di
ufuk barat. Hanya kelabu, menebar sendu
ke penjuru negeri.
Dia berdiri, mematung. Tak akan ada yang menyadari, bahwa dia sedang
menangis. Bagaimana tidak. Air mata yang mengalir di pipinya, tersamarkan
oleh tetesan air hujan yang dengan setia menerpa wajahnya. Dia terisak dalam diam, meratapi kesendirian.
Diarahkan pandangannya ke sekeliling taman. Hening, sepi.
Hanya beberapa pengendara motor yang kepayahan sedang berteduh di halte
bus, atau beberapa mobil yang tetap melaju perlahan. Namun yang pasti, tak ada satupun wajah yang
dikenalnya. Ya, tak ada satu orang pun
yang bersusah payah mencarinya.
Wajar saja, saat itu dia sedang berada di sebuah tempat
yang bahkan dia sendiri pun tak tahu ada dimana. Ingatannya samar, memorinya tak mampu diajak
bekerja sama. Sekeras apapun dia
mengernyitkan kening, berusaha untuk mengingat, berakhir tanpa hasil.
Di tengah taman dia berdiri, mematung. Terdiam dalam senyi, sepi.”
Tampak Rangga kembali menghela napas. Tangannya terkepal, gemetar.
“Dengan langkah gontai, dia menuju sudut taman. Tempat wahana bermain anak-anak berada. Dia mencari perlindungan. Tubuhnya tak lagi sanggup menahan lebih lama
terpaan hujan. Dia menggigil kedinginan,
seluruh tubuhnya bergetar, giginya bergemelatukan.
Disana dia segera masuk ke dalam sebuah wahana permainan yang menyerupai rumah. Meskipun tanpa pintu, setidaknya dia aman
dari guyuran hujan. Hanya angin yang
masih setia mengganggunya, membuat rasa dingin semakin menusuk, masuk ke tulang. Dia terduduk, menyender ke dinding
plastik. Dilipat kakinya, didekatkan ke
dada, berusaha mencari kehangatan.
Namun ternyata posisi itu membuatnya tak nyaman. Gumpalan di perutnya membuat dekapannya tak
lagi rapat, malah tertahan, sakit. Dia
tersentak, kembali menangis. Disadarinya
satu hal, ada sesuatu yang bergerak di dalam sana. Sesuatu yang tidak diinginkannya.
Ingatannya seketika kembali.
Dia sedang dalam pelarian, dari
seseorang yang sesungguhnya disayanginya, namun juga sangat dibencinya. Sudah hampir seharian dia berjalan tak tentu
arah, dengan perbekalan seadanya. Tak
tahu kemana akan menuju. Yang dia tahu,
dia harus meninggalkan tempat laknat itu.
Tempat yang selama 2 bulan terakhir menjadi neraka dunia baginya.”
Wajah Rangga memerah, darah mengalir
deras ke kepala. Nadinya berdenyut
hebat.
“Tak ingin diingatnya kembali, namun
bayangan kekejian itu kembali menghantuinya.
Bagaimana selama 2 bulan itu dia dikhianati dan dinodai oleh ayah
tirinya. Dipaksa melayani nafsu bejatnya
yang tak berkesudahan. Tak kuasa dia
menolak, tak mampu dia memberontak. Dia
hanya mampu menangis, meraung, merutuki dirinya sendiri karena kelemahannya.
Kembali terbayang olehnya, malam neraka
yang harus dilaluinya. Malam tanpa
bintang, tanpa ada orang lain di rumah tempat tinggalnya. Malam tanpa perlindungan sang ibu dan adik yang
sedang dalam perjalanan lain. Malam
ketika sang ayah tiri memaksa masuk kamar yang telah dikuncinya dengan
rapat. Malam ketika nafsu binatang
merasuki sang ayah tiri. Malam ketika
kesuciannya teraih dengan paksa.”
Deru nafas Rangga terdengar kencang,
bahkan hidungnya mengeras. Bahunya
semakin terangkat tinggi di setiap tarikan nafasnya, seiring dia melanjutkan ceritanya.
“Dua bulan penuh derita dia lalui, tanpa
mampu meminta pertolongan. Setiap
dilihatnya wajah ibu dan adiknya, kembali teringat ancaman yang dilontarkan
ayah tirinya. Bahwa sang ayah tiri tak
segan-segan untuk menyakiti mereka berdua.
Bahwa sang ayah tiri bahkan akan lebih menyiksanya, secara fisik, maupun
mental. Bahwa dirinya tak lagi berharga,
tanpa kehormatan.
Dirinya letih. Tak lagi mampu melawan. Diterimanya nasib yang begitu dibencinya.”
Kembali Rangga menghela nafas panjang,
dalam.
“Tentu, perubahan sikap
ditunjukkannya. Meskipun sang ibu dan
sang adik sering bertanya, “Kamu kenapa mbak?
Ada masalah apa?” Lidahnya kelu,
tak mampu menjawab jujur. Rangkaian
kebohongan yang akhirnya mengalir dari mulutnya. Bahwa dia sedang berada dalam pertengkaran
bersama pacarnya. Bahwa pekerjaan di
kantor sedang banyak-banyaknya. Bahwa
ibu dan adik tidak perlu mengkhawatirkannya.
Bahwa dia baik-baik saja.
Dia menangis, dalam diam. Terbayang dengan jelas malam ketika dia
menggila. Pikirannya dipenuhi oleh
amarah. Hatinya tak lagi ada, setan
telah merasuki nuraninya.
Dihunusnya pisau, sesaat setelah sang ayah tiri melangkah masuk ke
kamarnya. Dihujamkannya berkali-kali,
sekuat tenaga. Hingga akhirnya sang ayah
roboh, bersimbah darah.
Petir dan gemuruh guntur yang
sahut-menyahut dikejauhan, mengiringi kepergiannya dari rumah. Tak ada yang tahu apa yang telah diperbuatnya
malam itu, dan dia tak perduli apakah akan ada yang tahu atau tidak. Yang dia tahu, dia sudah terbebas dari
belenggu nafsu bejat itu. Dia berjalan
dan berjalan dalam diam.
Di dalam rumah-rumahan, dia semakin menggigil hebat. Pandangannya gelap, matanya
berkunang-kunang. Nafasnya memburu
cepat. Tubuhnya lemah, tak mampu bergerak banyak. Dingin yang semakin menusuk tak lagi
dirasakannya. Justru kepanasan yang
dirasa, bahkan dengan pakaian tipis yang melekat dibadan. Satu persatu mulai ditanggalkannya baju yang
dia kenakan dengan harapan kesejukan akan membelai lembut tubuhnya. Namun dia tak lagi merasakan apa-apa. Dia terjatuh dalam tidur. Hingga kemudian polisi menemukannya, tanpa
nyawa. Begitu pula dengan gumpalan kecil yang sedang tumbuh diperutnya. Tanpa tahu betapa hancurnya hati
keluarga yang ditinggalkannya. Tanpa
tahu beta hancurnya hati sang ibu dan sang adik.
Senja itu, tak juga menampakkan rona
jingganya. Justru berganti pekat malam,
tanpa bintang ataupun bulan, dalam diam.”
Rangga mengakhiri ceritanya.
Semua terdiam dengan nafas tercekat.
Aku terpana, terhanyut dalam balutan
khayal yang muncul dalam angan-angan.
Dengan jelas tergambarkan di benakku, adegan demi adegan yang tercipta
tatkala mendengar jalinan cerita yang dituturkan Rangga. Haru biru, semua menyatu menjadi satu. Tanpa kusadari, pelupuk mataku telah basah,
perlahan mengalir menuruni pipi.
Langkahnya kembali ke tempat duduk tak
lagi sama dengan yang awal, sedikit gontai. “Sumpah,.. ceritamu bagus banget
Ngga. Aku suka..” suaraku tersendat,
masih terisak. Rangga hanya tersenyum,
pahit.
75.000wrds