Aku punya sahabat, cukup kental, sekental kopi hitam yang umumnya dibuat bapak-bapak dipagi hari. Namanya.., well, tampaknya tidak perlu aku sebutkan disini. Bisa ketahuan nanti, jati diriku. Hehe. Sebut saja, si Kodok Merah.
Hampir 4 tahun lamanya kami menimba ilmu di kota Pelajar, setelah sebelumnya menimba ilmu pengetahuan di SMA yang sama. Kebetulan pula, kami tinggal di satu kosan yang sama, meskipun kamar kami terpisah lorong, begitu pula dengan kampus kami. Namun, hal ini tak membuat kami tercerai berai. Halah, ngawur. Padahal ide yang mau aku sampaikan ditulisan ini sungguh sangat berat.
Singkat cerita, kami berdua, bersama dengan beberapa konco lain di atap kosan yang sama itu, sering cekakak-cekikik, bergosip. Apalagi kalo bukan masalah laki-laki. Mulai dari yang paling umum. Tentang si A yang sudah pacaran sekian lama, namun nggak disetujui atau bahkan diketahui oleh orang tua, karena beda kepercayaan. Tentang si B yang sudah lamaaa sekali memendam rasa sama seorang cowok, tapi nggak punya keberanian buat ngomong. Tentang si C yang punya pacar yang hobinya grepe-grepe, dianya risih tapi asik dan ketagihan. Tentang si D yang udah dijodohin sama orang tuanya sejak dia kecil (maklum, adat yang menuntun jalannya). Tentang si E punya banyak pacar. Tentang cowok-cowok yang kosnya berada tepat di depan kosan kami. Tentang cowok-cowok lain.
Nah, disuatu malam, ketika udara di kamarku yang biasa dijadikan markas mulai menipis akibat terhisap oleh kuatnya tarikan napas melalui mulut (baca=nguap), satu persatu dari konco-konco kosan pun meninggalkan markas. Hingga akhirnya tinggallah aku dan si Kodok Merah.
Apa yang kami lakukan selanjutnya? Kembali bergosip? Tidak. Kami berdua mulai menyimpulkan, makna pembicaraan kami sebelumnya. Sebetulnya si, ide awalnya datang dari si Kodok Merah.
"Emang ya, Ning (diambil dari stabilokuNING), manusia itu nggak ada yang sempurna. Nggak cowok, cewek, semuanya sama aja. Punya kelebihan dan kekurangan. Cuma jenis kelebihan dan kekurangannya aja tu yang beda-beda, dan nilainya beda-beda. Tapi kalo dikumpul-kumpulin, intinya tetep sama nilainya," gumam si Kodok Merah, sambil menatap Shaun the Sheep, acara yang ketika pertama kali ditayangkan justru di tengah malam bolong.
Aku yang mulai kehilangan daya konsentrasi, hanya melirik kearahnya. Sahabatku yang lagi belajar Psikologi itu memang suka mengemukakan pandangan-pandangan absurb, yang perlu sekian waktu bagi pikiran dan alat komunikasinya agar dapat merangkai kalimat yang tepat, sehingga aku mampu menangkap maksudnya (atau mungkin daya nalarku-lah yang sebenernya kurang baik).
"Bener deh Ning, emang gitu. Kayanya bisa jadi teori baru ni," katanya, acuh tak acuh terhadap lirikanku. Terlepas dari sikapnya yang tampak ogah-ogahan, aku tau kalo otaknya sedang bekerja dengan giat, merangkai sebuah teori absurb baru yang kerap kami lakukan bersama.
"Pemikiranku si gini. Tuhan menjadikan setiap manusia ini, masing-masing memiliki nilai, anggeplah 100. Trus, Tuhan menyediakan sifat-sifat, baik sifat baik ataupun buruk, untuk dipilih sama manusia ataupun yang memang merupakan takdir manusia. Biar gampangnya, kita sebut aja kantong plastik," gumamnya sambil matanya tak lepas dari layar tv.
"Nah, nanti si manusia bisa milih, mau masuk kemana. Tapi inget, nilainya itu gak ada yang minus, meskipun sifatnya itu yang jelek. Soalnya kan kita mau ngabisin nilai 100 yang kita punya," jemarinya mulai mengetuk-ngetuk lantai secara berirama, dimulai dari kelingking hingga telunjuk.
"Misalnya ni, contohnya pacar si A. Ganteng, tinggi, atletis, tapi sayangnya agak bau badan, sama lemot, sama yang paling penting, beda keyakinan sama si A. Kalo menurut aku, ganteng, tinggi, atletis itu nilai positif secara fisik, jadi nilainya 20; kalo negatifnya, bau badan sama lemot, nilainya 10 masuk ke kantong plastik fisik yang negatif, tapi yang paling utama si beda agama sama si A, jadi nilainya 30 ke kantong negatif secara umum. Sedangkan sisanya, aku nggak tau karena aku nggak begitu kenal sama dia."
Aku masih ogah-ogahan mendengar celotehannya, meskipun tak kupungkiri pikiranku mulai tergelitik merespon pemikirannya.
"Terus temen kita tu, si B. Dia pinter, manis, agamanya juga bagus, sejauh yang aku liat nggak pernah bolong kalo solat kaya kita, hehe. Tapi sayangnya, dia gendut, pemalu, kurang pinter berbaur sama sekitar. Jadi nilainya, kantong yang positif dari fisiknya dia itu manis, jadi nilainya 10, tapi dia pendek, jadi 10. Kalo kantong sifat, masalah pinter, rajin ibadah, nilainya gedee, skitar 40, tapi sifat pemalunya itu juga musti diitung, sekitar 10 aja biar genap. Jadi totalnya 70, tinggal 30 point lagi yang kita nggak tau dia masukin kantong mana."
Aku akhirnya menatap temanku ini dengan pandangan takjub.
"Kalo kamu..," dia menoleh kearahku, sontak membuatku melotot. Antara senang dan takut.
"Kamu itu, walau nggak cakep-cakep banget, rada jerawatan, pendek, suka pake baju serampangan, tapi ada sesuatu yang menarik dari kamu. Kebanyakan cowok yang ketemu sama kamu, pasti pengen ketemu lagi. Kamu juga baik, sikap peduli lumayan tinggi, nggak terlalu ngeduluin diri sendiri. Tapi sayangnya, kamu itu kadang terlihat angkuh, sombong, terlihat mendominasi. Trus terlalu cepat menyimpulkan sesuatu, terutama sikap cowok-cowok ke kamu, trus jadinya kamu takut sendiri, trus kamu lari. Jadi, nilai buat kamu, kantong secara fisik positifnya 20 negatifnya 10, kantong sifatmu secara positif aku kasih nilai 20, tapi negatifnya juga tinggi, 20. Jadi imbang kan tu. Nah, sisanya 30 point lagi aku masih belum tau, soalnya aku yakin masih banyak yang aku belum liat dari kamu," ujarnya, serius sekali, membuyarkan seringai di wajahku.
"Kalo aku, nah ini yang rumit. Aku nggak bisa nilai diri aku sendiri, nanti sifatnya jadi subjektif. Coba kamu yang kasih penilaian." Si Kodok Merah merubah posisinya, duduk selonjoran bersandar lemari pakaian, menghadapku.
Ditodong seperti itu, giliran pikiranku yang bergerak cepat, merangkum dan mengumpulkan semua informasi yang aku punya tentang sahabatku yang satu ini.
"Baik, akan saya coba memberikan penilaian saya terhadap saudari Kodok Merah." Aku amati dia, dari ujung kepala sampe ujung kaki, yang tentunya nggak sampe satu meter karena posisinya lagi duduk.
"Kalo kamu, fisikmu tu ok banget, Dok. Berat dan tinggi badan yang ideal, bahkan aku aja iri kadang-kadang. Apalagi liat betismu yang nggak ada "telor"nya sama sekali. haha.. Tapi sayang, sama aja kaya aku kamu jerawatan, dan rambutmu, seperti yang kita tahu, rada keriting. hehee.. Kalo sifat, kamu itu orangnya super baik, sejajarlah sama aku baiknya. Pembawaanmu si yang bagus, tenang. Bisa matahin stigma selama ini yang katanya perempuan ini lebih banyak make perasaan dibanding pikiran. Tapi jeleknya, kamu itu susah bergaul, kalo nggak diajak, kamu cenderung nggak mau ngajak. Pendiem, mungkin bisa digeneralisir kaya gitu. Dan sebagai cewek, kamu terlalu tomboy. Hati-hati, nanti kamu bisa kehilangan pengalaman pacaran selama kuliah. Jadi, kantong sifatmu, positifnya nilainya 30, negatifnya 15. Kalo fisik, positifnya 15, negatifnya 10. Loh, sisanya 30 juga sama kaya aku," aku menerangkan semampuku.
"Jadi, intinya nggak ada manusia yang sempurna. Karena kesempurnaan sendiri itu sebenernya relatif. Bisa dibilang, sempurna adalah ketika kamu bisa memasukkan semua nilaimu ke kantong-kantong yang sifatnya positif. Tapi kan bisa juga sempurna adalah ketika kamu bisa sedikit menyisipkan nilaimu ke kantong-kantong negatif, tapi sifat negatifmu itu bisa tercover sama sifat positifmu."
Aku tertawa. Pukul 02.00 dini hari, dan kami membuat satu teori baru. Teori kantong plastik.
Credit for: EPMS alias Kodok Merah
-Jogjakarta, suatu malam diantara malam-malam panjang sepanjang 2007 s.d 2011-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar