Jumat, 16 Agustus 2013

dulu dia PERNAH suka, tapi tidak lagi (part-2)

Masih ingat sama cerita saya terdahulu?  Tentang seorang cewek yang memendam rasa terhadap sahabatnya, hampir 8 tahun lamanya (Previously on dulu dia PERNAH suka, tapi tidak lagi (part-1)

Nah, saya ingin melanjutkan cerita saya tersebut.

Di akhir cerita, saya katakan bahwa sang gadis menyerah kalah pada perasaannya.  Bahwa akhirnya sang gadis memilih menyatakan perasan yang sesungguhnya pada sang sahabat.  Mau tau caranya?

Begini caranya.

Karena sang gadis masih tak juga berani menatap langsung dan menyatakan perasaannya, akhirnya dia memilih satu cara yang sangat mudah.  Sang gadis menulis.  Setumpuk lembaran kertas ditemukan di sudut kamarnya.  Kalimat demi kalimat dia coba rangkai, untuk menunjukkan perasaannya yang terdalam.  Terus menerus.  Hingga akhirnya, lembaran ini lah yang dia selesaikan.

8 tahun saya galau.
Galau tentang apa yang sedang saya rasa.  Galau tentang apakah yang sedang dia rasa. 
Saya tidak mau berbasa basi.  Saya tidak mau mengulur-ulur waktu lagi.  Sudah terlalu lama waktu yang saya “korbankan” demi kegalauan ini.  Kegalauan tiada akhir, yang harus segera diakhiri.  Meskipun dalam akhir tersebut, ada konsekuensinya.  Antara bahagia, atau sedikit sentuhan duka lara.  Tak mengapa.  Sebab saya sudah lelah.  Saya lelah mematut hati pada satu hal yang sama.  Terus menerus, tanpa pernah berhenti atau berganti.
Meskipun harus saya akui, tak selamanya kegalauan ini berkobar layaknya lautan api.  Memang ada kalanya kegalauan ini berkobar layaknya lautan api.  Namun terkadang, ia hanya berbentuk serupa lilin, yang justru memiliki panas yang konstan, stabil.
8 tahun saya mendamba,  merindunya.  Namun, layaknya sebuah peribahasa.  Bagaikan pungguk merindukan bulan.  Tiada suatu apa yang dapat saya lakukan.  Kecuali melihat, mengharap.  Keberanian saya terlampau kecil, bahkan untuk sekedar bertatap serius sembari menyatakan rasa suka padanya.  Hanya dapat bercengkrama dan bergembira, menutup rasa suka yang teramat sangat.
Berbagai kesempatan datang silih berganti.  Namun tiada pernah ada satu pergerakan apapun darinya, tidak juga dari saya.  Saya tidak berani menduga, apa penyebabnya.  Saya tidak mau memikirkan hal-hal yang justru dapat membuat saya sakit, merasa tercela.
Hingga akhirnya, saat ini saya rasa cukup.  Terlalu lama hati saya berkorban untuk sebuah fakta, yang bahkan mungkin tak pernah berubah sejak pertama saya memiliki rasa padanya.
Dan kini, dihadapanmu.
Pertanyaan saya singkat saja.
Dalam 8 tahun terakhir, pernahkan dalam benakmu, terbesit namaku?
Dalam 8 tahun terakhir, dapatkah kamu menangkap getar asmaraku tiap kali aku melihatmu?
Dalam 8 tahun terakhir, apakah pernah ada kesempatan untukku agar bersamamu?
Atau.
Bilakah nanti akan terbesit namaku dalam benakmu?
Bilakah nanti dapat kau tangkap getar asmaraku tiap kali aku melihatmu?
Bilakah nanti ada kesempatan untukku agar bersamamu?
Saya hanya ingin mengakhiri kegalauan ini.
Tak jadi soal, jika pahit harus dirasa.  Selama kepahitan itu dapat akhirnya mengubur segala rasa sakit akibat kegalauan yang selama ini melanda.  Saya tak ingin, tahun-tahun kedepan akan diisi oleh kegalauan yang sama.  Kegalauan tanpa akhir.

Nah, surat itulah yang disuatu hari, dengan memberanikan diri, dikirimkan kepada sang Sahabat.  Berharap sang sahabat akan luluh dan menerima cintanya.

NOTE:  tapi kita udah tau kan, apa yang akan terjadi setelah sang gadis mengirimkan suratnya? Ya, tiada seorang pun yang tau. ;)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar