Kamis, 24 April 2014

Club 25

Sejujurnya, saya agak malu untuk membuat tulisan kali ini.  Sebab, secara tidak langsung saya mengumumkan kepada dunia dua hal penting:  (i) tanggal lahir saya dan (ii) umur saya.  Catat, kedua hal itu sangat penting lo.  Mengingat perawakan dan tingkah laku saya yang sebetulnya malah belum cukup umur. Hoho..  Tapi, apa mau dikata.  Ada hal-hal di dunia ini yang tidak akan pernah bisa kita hindari.   Seperti umur.  Tak perduli seberapa besar ingin atau usaha kita, tak akan membuat kita lantas terhindar dari nominal/angka/jumlah tahun tersebut.

Jadi ceritanya, tanggal 23 April yang lalu, tepatnya pukul 03.45 pagi, saya tiba-tiba terbangun dari lelap tidur.  Tanpa alarm, tanpa dering sms atau telpon masuk, tanpa kumandang azan, tanpa perintah dari ibu, tanpa peringatan apapun.  Tiba-tiba saja saya terbangun dan terduduk, dengan mata membelalak segar layaknya hari masih petang, tanpa adanya satu bintang atau pun kunang-kunang bertebaran di atas kepala.  Sedetik itu pula, saya menyadari bahwa hari itu usia saya sudah 25.

Lantas, berkelebat semua memori yang telah terlewat.  Tentang masa kecil yang saya habiskan di sejumlah daerah, mulai dari Metro - Lampung, Muntok - Bangka, Prabumulih - Sumsel, Pondok Bambu - Jakarta, Kebon Waru - Bandung, Yogyakarta tempat saya bertitle MAHA-siswa, serta hingga dimana saya berada saat ini.  Perjalanan yang cukup panjang, penuh akan suka dan duka.  Perjalanan yang dipenuhi cinta ayah ibu dan kedua adik tercinta, serta dari sahabat-sahabat tercinta.


Setelah saya telisik, ternyata saya bangun tepat disaat saya dilahirkan ke dunia.  Ketika itu, 23 April 1989, bersamaan dengan perayaan Nuzulul Quran 17 Ramadhan 1409 H.  Tepat pukul 03.45 pagi, dokter mengeluarkan saya dari bekas sayatan pisau bedah yang digores di perut ibu.  Tepat pukul 03.45 pagi, saya memompa paru-paru mungil saya.  Tepat pukul 03.45 pagi, saya menangis sekencang-kencangnya karena mungkin saya enggan meninggalkan dekap hangat rahim ibu.  Tepat pukul 03.45 pagi, saya menjadi sumber kebahagiaan baru bagi keluarga kecil ayah dan ibuku.

Dan kini, setelah 25 tahun berlalu, apakah saya masih menjadi sumber kebahagiaan ayah dan ibu?  Mungkin.  Yang pasti, saya selalu berusaha untuk membahagiakan mereka berdua.

Sesaat setelah memori tersebut susut dan menghilang dari kepala, saya pun menengadahkan kedua tangan, seraya tertunduk ke arah kiblat.  Meskipun saya sedang tidak diizinkan untuk beribadah sembahyang, tak menghalangi saya untuk memanjatkan segala puja dan puji ke hadirat-Nya.

Semoga semua tahun-tahun yang telah terlewat tidak menjadi suatu kesia-siaan belaka.  Semoga semua tahun-tahun yang akan terlewat dipenuhi dengan keberkahan dan limpahan kasih-sayang dari-Nya.  Semoga tahun-tahun yang terlewat merupakan tahun-tahun penuh kebahagiaan bagi ayah ibu.  Semoga tahun-tahun yang terlewat dipenuhi dengan kebahagiaan bagi ayah ibu.

Welcome to the club 25, Nesia!!

Selasa, 22 April 2014

Quote - Lily Aldrin

Do you ever feel that your life is full of mistakes?  Gives you some regrets for having those stupid mistakes?  Well, i do sometime.  For sure.

There were several things happened and sometimes I feel sorry for.  Like, why was I always disobedient my mom and sneaking around for reading books under the dimmed light.  It costs me a glasses now.  Or, why wouldn't I do sports like jogging, volley ball or basket ball?  It costs me unhealthy legs, it's so big and mushy.  Or, why do I always feel annoyance when I have acne?  It costs me several acne scars.

So, do I need to feel regret all the time for doing all those stupid things?  I don't think so.  I will be more stupid if I always keep my regret.  And keep doing those stupid things. Life is about learning. Learning about everything.  Especially about yourself.  About myself. 

Here's a very best quote from Lily Aldrin, a fictional character in the CBS television series How I Met Your Mother. 

Ted: No, it's not an adventure, it's a mistake!
Lily: OK, yes it's a mistake. I know it's a mistake, but there are certain things in life where you know it's a mistake but you don't really know it's a mistake because the only way to really know it's a mistake is to make the mistake and look back and say 'yep, that was a mistake.' So really, the bigger mistake would be to not make the mistake, because then you'd go your whole life not knowing if something is a mistake or not. And dammit, I've made no mistakes! I've done all of this; my life, my relationship, my career, mistake-free. Does any of this make sense to you?
Ted: I dunno, you said mistake a lot.

Let me get this clear.  I'm not telling you people to keep making mistakes.  No, I am really not.  But please, just be yourself and do what you wanna do.  If you already did a mistake, please take the wisdom and learn from it.  And don't repeat it!  You're only allowed to be stupid just for once, not twice.  After you really know that it was a mistake, just leave it, and walk away from it.


HIMYM


Selasa, 15 April 2014

Dikebut Membaca

Sabtu itu, 5 April 2014, adalah kali ke-5 aku bertandang ke Posko Kuning.  Ketika itu aku sedang batuk, membuatku tak mampu berlakon sebagai ibu guru dihadapan sejumlah murid usia 3-5th.  Para peserta PAUD.  Maka jadilah, aku berdiam di pojok belakang ruangan, dekat rak buku, sembari memperhatikan rekan-rekan sejawatku yang sibuk memusatkan perhatian peserta PAUD pada mereka.

Pagi itu lumayan terik.  Jarum jam masih tampak tersenyum, baru lewat pukul 10, ketika ku lihat di sudut daun pintu, dua wajah yang sangat ku kenali. Berbalut seragam coklat Pramuka, berdua mereka tersenyum malu-malu, sambil curi-curi pandang ke arahku.  Ku lambaikan tangan ke arah mereka, ku lanjut dengan gerakan telunjuk yang ku rapatkan ke bibir, meminta mereka tenang.  Sebab kegiatan PAUD masih berlangsung dengan riang.

Detik berlalu perlahan, dapat ku rasakan kegelisahan yang terpancar dari sudut pintu.  Di balik masker, aku tersenyum.  Geli membayangkan isi pikiran dua gadis manis itu.  Segera ku beranjak dari singgasanaku.  Ku sambar batangan pensil, buku tulis dan buku bacaan, seraya bergeser ke pintu secara perlahan. Mataku menangkap mata rekanku yang menangkap pergerakanku.  Berisyarat layaknya tarzan, aku pamit, berbalas anggukan kepala darinya.

Tak lama, kami duduk bertiga, di sebuah taman kecil di samping Posko Kuning.  Tak pula lantas pantas disebut Taman, sebab hanya ada satu perosotan kecil serta ayunan yang sudah tak jelas juntrungannya.  Namun setidaknya, ada alas untuk duduk, serta rimbun daun yang menaungi kami.

Disanalah, aku melanjutkan pengawalanku terhadap Indah dan Tia.  Pengawalan yang tak seberapa, terhadap pelajaran yang tengah mereka tempa di kelas 4 SD.  Berbekal buku tulis, ku kebut pemahaman mereka tentang dunia hitung-hitungan.  Atau perbendaharaan kata dalam Bahasa Inggris.  Atau sekedar mengenal angka romawi.

Baik Indah maupun Tia, keduanya anak yang cukup pandai.  Kebayakan soal-soal yang ku tulis di buku, dapat mereka kerjakan dengan nilai baik.  Seimbang, berkisar 7-10.  Indah tidak lebih pandai ketimbang Tia, namun Tia tidak lebih teliti ketimbang Indah.  Hal ini yang membuat keduanya saling susul menyusul dalam mengejar nilai dariku.

Satu yang agak sulit ku tempa dari mereka, yang seyogyanya diemban oleh nama kegiatan kami.  Minat baca.  Yap, mereka berdua masih enggan ketika aku minta untuk membaca.  Bermacam buku yang kerap ku sodorkan, hanya dibaca sambil lalu.  Mereka lebih senang mencari cara menyelesaikan soal-soal yang ku tulis untuk mereka.

Agak miris rasanya.  Sebab, masih sangat ku ingat, betapa gandrungnya aku akan membaca.  Segala macam buku bacaan habis ku lalap sedari kecil.  Bahkan, beberapa kisah istimewa turut pula tergurat di masa kecilku.

Ayah ibuku, yang tak pula cukup mampu untuk berlangganan majalah Bobo edisi terbaru di tiap minggu, memiliki cara yang unik untuk dapat tetap menuntaskan dahagaku dan kedua adikku dalam membaca.  Sistem itu bernama Tukar Guling, istilah karangan kami sendiri.  Kami memiliki sejumlah majalah induk, yang akan kami putar dengan majalah "terbaru" di tukang majalah langganan kami.  Terbaru disini bukan berarti edisi terbaru, melainkan majalah Bobo yang belum pernah kami baca.  Tak menjadi masalah majalah itu terbitan tahun kapan.  Sebab, suatu cerita itu tak pernah mengenal kata usang, kuno, lampau, atau ketinggalan jaman.  Pun artikel-artikel menarik di dalamnya.  Bukan menjadi kesalahan bagi si pembaca jika ia baru membaca artikel tersebut berbulan-bulan setelah artikel di buat.  Yang terpenting, aku mau membacanya.  Begitu ucap ayah ketika itu.

Dilain hari, Ibuku pernah bercerita, cerita dari Lek Surti si tukang sayur bersepeda yang selalu setia datang ke komplek perumahan sederhana kami.  Alkisah, ketika umurku sebaya dengan Indah dan Tia, aku pernah mendatanginya, sambil menenteng koran bekas dan sudah tidak dibaca lagi.  Sambil menyodorkan gulungan koran itu, aku berkata, "Lek Surti, boleh ndak aku tukar bungkus cabe Bulek dengan koran ini?".  Ah, ternyata kertas yang dipakai oleh Lek Surti adalah buku cerita rakyat bergambar, yang tentu sangat aku gemari.  Ibu, yang mendengar cerita ini, tak dapat menahan geli bercampur haru.  Begitu pula aku, saat mendengar beliau menceritakan kembali kisah itu padaku.

Nah, aku ingin kecintaan baca Indah dan Tia, sebesar rasa cinta yang ku miliki.  Karenanya, tak putus ku cekoki mereka dengan buku bacaan saat kunjungan rutin mereka di setiap hari Sabtu.  Ingin ku buat mereka, menemukan keasyikan tersendiri dalam membaca.  Agar mereka mengenal dunia dan isinya.  Meskipun raga mereka terkungkung dalam kelurahan Kebon Baru, tak membuat pengetahuan mereka dilarang untuk melanglang buana ke penjuru nusantara, kan?

Dan yang paling utama, agar Taman Bacaan Indonesia Menyala Kebon Baru, benar-benar berfungsi sebagai Taman Bacaan bagi rekan-rekanku yang masih SD ini.

Sabtu ini, akan ke geber kembali minat baca mereka.  aku sudah menemukan satu cara untuk memotivasi mereka dalam membaca.  Apa itu?  Mari kita tunggu cerita berikutnya.


These two little girls are my new little sisters

Kamis, 03 April 2014

Galau Super Masal


Rabu, 27 November 2013. 

Anda bersedia dan siap jika ditempatkan di seluruh Indonesia?” 

Pertanyaan keramat itu selalu terngiang di benak saya, jauh sebelum saya bertemu dengan dua orang wanita paruh baya yang sedang duduk di hadapan saya saat ini.  Sebuah pertanyaan yang sebenarnya cukup sederhana, tapi memiliki efek cukup besar bagi kelanjutan keberuntungan saya dalam rangkaian tes selanjutnya.

Setelah mengulur waktu barang sedetik dua detik, akhirnya saya menjawab, sembari tersenyum.

Jika ditanya bersedia atau tidak, tentu saja saya bersedia di tempatkan di seluruh Indonesia, Bu.  Kebetulan, saya juga sudah dididik sedari kecil untuk dapat hidup dan beradaptasi di negeri ini, dimanapun saya berada.  Namun, untuk masalah kesiapan, pastinya saat ini belum siap 100%.  Tapi dapat saya pastikan, kesiapan secara penuh akan saya berikan jika saat itu tiba.”

Saya rasa, itulah jawaban terbaik yang bisa saya berikan ketika itu.  Dan ternyata, saya cukup beruntung dapat lolos dengan jawaban itu.

***

Jumat, 28 Maret 2014.

Pelaku 1
:
Sampai kapan ya guys, Jumat keramat ini akan berlangsung...”

Pelaku 2
:
Kenapa, kenapa, ada apa?”

Pelaku 1
:
Biasa, ada SK baru.  Si Alpha dan si Bravo dapet penempatan yang lumayan jauh, yang jelas keluar dari ibukota.”

Stabilokuning512
:
Lah, bukannya mereka belum ujian ya?  Kok udah penempatan aja?”

Pelaku 4
:
“Karena angkatan mereka ndak perlu pake diklat, makanya mereka langsung penempatan.  Nanti ujiannya, ya di tempat yang baru.”

Pelaku 5
:
Ya ampun, gimana nasib kita nanti?”

Pelaku 6
:
Usaha yang maksimal waktu diklat, supaya nilainya bagus, masuk 10 besar, trus bisa dapet penempatan yang baik.”

Pelaku 7
:
Iya, baik-baik selama magang plus OJT disini, syukur-syukur bisa ditarik ato direkomendasiin buat penempatan disini.”

Pelaku 8
:
Sama jangan lupa berdoa, doa untuk diri sendiri dan satu sama lain.”

Pelaku 9
:
Semoga dikasih yang terbaik sama yang Kuasa.”

All
:
Aamiin.”

***

Itulah sepenggal kisah galau yang tengah kami alami saat ini.  Kisah galau, yang saya rasa sih, sudah mulai membayangi langkah kami, kurang lebih sejak tanggal 27 November 2013 silam.  Kisah galau yang banyak membuahkan perandaian.  Kisah galau yang pastinya tak berkesudahan sampai saat itu tiba.  Pertanyaannya, saat seperti apa dan kapan?

Saat SK itu tiba?  Tidak.  Sebab saat SK itu tiba, masih ada dua kemungkinan baru dari kisah galau tersebut.  Antara kisah galau yang menjadi nyata, atau sekedar kenyataan yang tertunda.  Dan kisah galau itu akan kembali terulang, saat terbitnya SK-SK berikutnya.  Terus menerus, berulang tanpa henti.  Yap, tanpa henti. 

Bahkan bisa dibilang, bobot kisah galau itu sendiri dapat bertambah seiring berjalannya waktu.  Ketambahan pendamping hidup, serta momongan.  Meskipun kadar kedewasaan kami ketika menghadapi kisah galau macam itu, pastinya turut bertambah pula. 

Seyogyanya, kisah galau itu akan berhenti, saat kami sudah melewati garis FINISH.  Dengan cara apapun.  Entah itu pensiun, pensiun dini, atau harus mengakhiri perjalanan karir di tempat ini.  Saat itulah, tidak ada lagi kisah galau yang terus merong-rong dan  menghantui langkah kaki kami.

Namun kawan, satu hal yang pasti.  Sebagaimana tertuang dalam percakapan diatas, hal-hal itu lah yang saat ini dapat kita lakukan.  Berusaha dan berdoa dengan optimal.  Dan tak lupa, menyerahkan semua keputusan pada Yang Kuasa.  Karena pasti, itulah takdir Yang memang harus kita jalani di akhir hari, terlepas bagaimana pembawaan masing-masing diri.

Selain itu, kisah galau ini adalah sebuah konsekuensi yang harus kita tanggung atas setiap jawaban yang sudah kita berikan atas pertanyaan keramat diatas.  Komitmen atas satu bentuk jawaban yang sama, yang telah terlontar dari mulut kita, terlepas dari variasi maupun bermacam versi yang kita berikan.  Mari kita menjadi manusia terhormat, yang selalu memenuhi setiap kata yang telah terucap.

Cakti Buddhi Bhakti


Rabu, 02 April 2014

Toga, Samir dan Selempang Cumlaude



Bulaksumur, 19 Mei 2011

Euforia itu bernama Wisuda.  Sebuah ritual yang memakan waktu cukup panjang untuk dapat mencapainya.  Diatas kertas, 4 tahun adalah waktu tempuh normal.  Namun di lapangan, terkadang waktu tempuh itu dapat bergerak maju atau mundur.  Tak jarang sangking mundurnya, bisa mendekati batas akhir yang disediakan oleh penyelenggaran pendidikan, 7 tahun.

Bagi sebagian besar mahasiswa/i, Wisuda adalah acara yang sangat istimewa.   Sehingga hal yang umum di hari Wisuda, senyum manis bahkan gelak tawa kerap terdengar riuh rendah di udara.

Secara keseluruhan, mereka berpenampilan sama.  Berbalut seragam kebesaran bernama Toga yang menutupi seluruh badan, dihiasi samir (kalung Wisuda) berhias lambang universitas, serta beberapa dilengkapi selempang Cumlaude.  Properti yang satu ini sifatnya bonus, bagi mereka yang mampu mengumpulkan nilai yang ditentukan penyelenggara pendidikan.  Selebihnya, peserta Wisuda bebas berkreatifitas sesuai aturan yang ada.  Mereka berlomba-lomba berdandan cantik nan jelita, berlagak gagah lagi perkasa.  

Biasanya wisudawan tidak banyak  variasi, hanya menggunakan baju lengan panjang berwarna putih dan celana bahan serta sepatu formal.  Sedangkan para wisudawati, maksimal menghias diri dengan kebaya aneka model, rambut digelung maupun kerudung berhias warna warni (Sesuatu yang justru membuat saya berpikir, mereka ini mau menghadiri Wisuda, atau pesta pernikahan mereka sendiri).  Sepanjang hari, tak habisnya dan tak puasnya mereka berlakon di depan kamera.  Semua bersuka cita, menutup sebuah perjuangan panjang yang telah dilalui bersama. 

Rangkaian acara Wisuda sendiri, sejujurnya, sangat menjemukan.  Wajar saja, di satu pelaksanaan Wisuda, pesertanya bisa mencapai ratusan, bahkan ribuan orang.  Semua mengantri menjadi satu, menunggu satu proses puncak, yaitu ketika sang pimpinan tertinggi dari Universitas memindahkan Kuncir Tali Topi Toga, dari semula yang terletak di sebelah kiri, ke sebelah kanan.

Awalnya saya tak mengerti, apa arti pemindahan Kuncir Tali tersebut.  Setelah mencari disana sini, info yang saya dapat pada pokoknya satu hal.  Bahwa sejatinya, setelah kita menjadi Sarjana, kita tak boleh lantas terpaku dan melulu menggunakan otak kiri, yaitu otak yang berkaitan dengan hal-hal berbau akademis, seperti logika, analisis, bahasa dan matematis (pusat Intelligence Quotient (IQ)), melainkan juga harus menggunakan otak kanan, yaitu otak yang berkaitan dengan daya kreatifitas yang dipenuhi imajinasi, emisi, intuisi, dan spiritual (pusat Emotional Quotient (EQ)).  

Otak Kiri & Otak Kanan

Intinya, seorang Sarjana dituntut untuk dapat menyeimbangkan penggunaan otak kiri dan kanan, berbekal ilmu pengetahuan yang didapat dari dunia pendidikan, disandingkan dengan ilmu berkehidupan sosial di masyarakat.  Selain itu, kuncir tali Topi Toga perlambang tali pita pembatas buku.  Dengan demikian, pemindahan kuncir tali tersebut menandakan bergantinya halaman demi halaman buku yang sepatutnya dibaca oleh yang bersangkutan, yaitu para Sarjana.  Agar tak melulu berjalan di tempat, "membaca" hal yang sama berulang-ulang.

Sebagai salah satu pelaku beberapa tahun silam, sekarang saya hanya bisa tersenyum simpul melihat euforia itu.  Ya, sebab saya sudah mengetahui kegetiran yang menanti dibalik semua suka cita itu. Yang siap menerkam siapa saja yang tak segera siap untuk membuka mata dan menghadapi realita.  Yang terasa lebih kejam dibandingkan ibu tiri yang bahkan dalam lakon Cinderella masih berbaik hati menyisihkan nasi untuk melalui hari.  Yang segera menampakkan taringnya diriing seringai manis.

Bisa dijamin, banyak halangan dan rintangan yang pasti menanti mereka.  Pilihannya hanya dua.  Antara berebut peluang, atau menciptakan peluang.  Tak ada yang salah dan yang benar, sebab keduanya saling melengkapi.  Satu  hal yang pasti, mereka dilarang menyerah.  Dengan kombinasi kerja keras dan sifat pantang menyerah, serta dibumbui beberapa faktor x disana sini, mereka, para Sarjana, pasti mampu menaklukkan dunia.  Atau paling tidak, membuat orang tua bangga.

Setidaknya, Wisuda menjadi ajang yang pantas untuk disyukuri.  Sebab tak banyak yang mampu menjejakkan kaki di garis itu.  Sebuah garis yang bermakna ganda.  Sebagai penutup dari sebuah perjuangan panjang dalam menuntut ilmu, serta garis pembuka kehidupan yang sesungguhnya.


Note:  Happy Graduation Day for my beloved sister, wish you all the very best luck in the world dear.
 
Kaliurang KM 13.5, 29 Maret 2014


referensi: