Jarum
menunjukkan pukul 11 malam, ketika ku lihat dari sudut mataku, kerlipan lampu
indikator di handphoneku yang menyala.
Sebuah chat baru dari sahabatku di pulau seberang. Stabilokuning. “Give
me a hug, please. A very warm and huge
hug.”
Segera ku
hubungi dia. Agak lama kutunggu sambutan
suara nyaring diseberang sana. Bahkan
pada panggilan ketiga, baru terdengar suaranya.
Agak sengau.
Stabilokuning: Holla.. (dengan suara sengaunya).
Aku: Kenapa kamu? (nada suaraku memelan, khawatir atas dirinya).
Stabilokuning: Kenapa pake acara
nelpon sih? Wong aku cuma mau chatingan
doang..
Aku: Biasa, lagi kaya ni, kemarin
baru dikirim pulsa sama mama.
Stabilokuning: Dasar kamu, pelaku
papa minta pulsa. Aku laporin pak RT
baru tau ntar (tertawa)
Aku: (Tertawa) Lah, emang bener. Aku kemarin baru diisin pulsa nyasar sama
orang. Pas udahannya, dia sms, “Pulsanya
udah mamah kirim ya pah”. Lah, ya aku
happy. Masa mau aku balikin
pulsanya?
Stabilokuning: (Tertawa dari
kejauhan) Iya, iya, percaya deh
papah. (Terdiam)
Aku: So, piye, piye? Ada berita apa
cuyung?
Stabilokuning: (Menghela nafas,
ringan) Nggak ada apa-apa, cuma pengen
ngalem-ngaleman aja sama kamu.
Aku: Emang aku cowok apaan, tempat
kamu ngalem-ngalem? Dadaku nggak cukup
bidang untuk menampung kamu dan cewekku.
Stabilokuning: (Tertawa
tergelak) Nampung-nampung, emangnya kita
air hujan pake ditampung-tampung. Kan cuma lewat chat doang, aku juga nggak
butuh dada kamu yang nggak bidang itu.
Buat cewekmu ajalah.
Aku: Piye jadi? Kenapa kamu?
Stabilokuning: (Hening)
.......
Percakapan
kami berlanjut hingga beberapa puluh menit.
Intinya, dia sedang berpikir kritis.
Dia mengkritisi kaumku. Sebuah
kaum yang menurutnya merupakan kaum yang seharusnya lebih dalam segala hal
dibanding kaumnya.
Dia
menggugat. Mengapa kaumku sering
menggunakan alasan bahwa kaumnya lebih baik dari kaumku? Sehingga kaumku merasa
bahwa kaumku itu tidak pantas untuk kaumnya.
Dia heran, mengapa jika memang kaumku merasa seperti itu, bukannya malah
berusaha untuk menjadi lebih daripada kaumnya, kaumku justru mundur dan
melarikan diri. Dia tak habis pikir,
jika memang kaumku merasa kaumnya lebih baik daripada kaumku, mengapa kaumku
mencoba mendekati kaumnya dari awal, dan menjebak kaumnya dalam perasaan semu
belaka.
Dia
bertanya, mengapa kaumku justru merasa takut atas kelebihan yang dimiliki kaumnya
dibanding kaumku? Bukankah seharusnya
kaumku merasa bangga dapat bersanding dengan kaumnya yang menurut kaumku memiliki
sejuta kelebihan itu? Dia ingin tahu,
jika memang kaumku tidak ingin bersanding dengan kaumnya yang berpendidikan
cukup baik, mengapa kaumku tidak mencari kaumnya yang tidak berpendidikan sama
sekali?
Dia ingin
kaumku tahu, bahwa sesungguhnya pandangan yang dibentuk oleh kaumku atas
kehebatan kaumnya, adalah murni, semata-mata merupakan penilaian kaumku atas
kaumnya. Penilaian yang terkadang
diberikan secara berlebih, yang terkadang justru menjerumuskan kaumku sehingga
merasa kecil dihadapan kaumnya.
Dia ingin
jawaban, mengapa terkadang kaumku tak juga lantas maju untuk mengambil
kesempatan yang sudah ditawarkan oleh kaumnya? Atas kesetiaan dan kesabaran serta kasih
sayang yang tak akan berkesudahan.
Aku
diam. Dalam kondisi seperti itu, sahabat
manisku itu tak membutuhkan balasan.
Dalam kondisi seperti itu, dia hanya ingin didengar segala keluh
kesahnya. Sebab aku tahu, dia tidak
sedang bersedih. Mungkin kesedihannya
sudah dipendamnya di sudut hati terdalam, tak ingin dimunculkan lagi. Yang ada, hanyalah guratan kekecewaan. Atas perwakilan kaumku yang tak mampu
menjawab semua gugatan maupun pertanyaan
yang diutarakannya padaku. Atau justru
yang telah memicunya untuk menggugat dan bertanya seperti itu.
Sahabatku
ini memang tidak menyebutkan objek pembicaraannya. Namun aku tahu, siapakah perwakilan kaumku
yang mampu membuatnya bersuara selaku perwakilan kaumnya. Sudah cukup lama cerita manis itu terbina
antara mereka berdua. Hanya sekedar
cerita manis, yang tak terbingkai dalam suatu ceremonial kecil yang banyak digilai oleh kaumnya. Belum terbingkai. Sebuah ceremonial
kecil yang setahuku, akan mereka ciptakan di akhir bulan lalu. Namun tampaknya, mendengar celotehannya
selama setengah jam terakhir, ceremonial
kecil tersebut tak pernah terjadi.
Hanya
beberapa kalimat yang keluar dari mulutku.
Sekedar penghibur, untuk menguatkannya.
Agar tak lantas dirudung duka yang tak berkesudahan. Agar tak lantas duduk diam dan mematung tanpa
pergerakan. Agar tak lantas menjadi
pupus asa.
Namun,
setelah gemuruh napasnya terdengar mulai perlahan, beberapa masukan pun aku
sampaikan. Bahwa tidak semua yang dia
utarakan benar adanya. Bahwa tak jarang,
kaumku pun bertindak selain yang disebut olehnya. Bahwa tidak ku perkenankan untuk
menyamaratakan penilaiannya itu terhadap kaumku. Bahwa dia harus lebih legowo menerima pengalamannya itu. Bahwa pengalamannya itu tak akan menjadi
suatu kesia-siaan. Bahwa pasti akan ada
hal yang baik yang kelak didapatnya.
Pukul 11.50
malam, handphone-ku kembali berkerlip.
Stabilokuning. “Terimakasih ya, Sinaga untuk waktunya.”
Menurutku, kebanyakan kaummu memang begitu adanya. Penebar janji disetiap hati.
BalasHapusHai Ismie, hati-hati lo dalam membaca tulisanku diatas, terutama dalam penggunaan sudut pandangnya. Aku dan kamu gk beda kok ;)
HapusAku suka dalam penggunaan sudut pandang penceritanya. Itu baru kusadari ketika masuk di percakapan, ngapain stabilo kuning manggil lawan bicaranya stabilo kuning. Kemudian.. I see. Sungguh manis penceritaannya.
BalasHapusNamun, sangat disayangkan pesannya kurang masuk dan tidak memberi arti.
Terimakasih pak guru untuk comment-nya.
HapusCerita diatas sebetulnya bagian dari 75.000wrds, sehingga tepat adanya ketika pk guru merasa tidak ada pesan maupun arti yang tersampaikan dg baik. :p