Minggu, 23 Februari 2014

Chapter VIII


Langit berwarna kelabu.  Awan beriring sedari tadi.  Matahari sedang enggan bersinar.
Rumah itu sudah ramai ketika aku tiba disana.  Segera ku terobos kerumunan orang berbaju gelap.  Seketika itu, ku lihat sosoknya terbaring, kaku.  Hanya berbalut kain putih.  Wajahnya terlihat tampan, bersih lagi rupawan.  Pandanganku samar, perlahan berubah gelap.
Ku buka mataku.  Ku pandangi langit-langit kamar.  Air mata menetes perlahan. Rasa pedih mulai menyeruak di dada.  Sakit, tertahan, dan akan bertahan disana untuk waktu yang lama.  Lamat-lamat kupadangi ruangan ini.  Kamar Bimo.  Ku kenali dari aromanya, berciri.
Ku panggil ingatanku.  Ah ya, seketika itu datang.  Seketika itu pula aku menjerit.  Meronta.  Menangis. 
Bimo meninggalkanku.
“Sayang, pagi ini aku kesana ya. Mau finishing skripsi ni, butuh inspirasi. Butuh kamu.”
“Halo, Rara?  Ini tante Ra.  Rara.. Bimo kecelakaan Ra.  Dia ketabrak mobil, helmnya lepas.  Sekarang lagi di bawa ke RS.  Doain ya Ra, semoga Bimo selamat.”
“Rara, Bimo udah dibawa ke rumah. Rara langsung ke rumah aja ya..”
***
Dipusaramu aku terdiam, termenung.  Terbayang hari-hari yang telah lewat.  Membayangkan hari-hari yang mungkin akan terlewat.
3 hari telah berlalu sejak kepergianmu.  Tak ada lagi air mata yang menetes, kendati rasa sedih ini semakin mencengkram.  Kepedihanku sudah benar-benar mengakar pada hati yang terdalam.  Hanya terasa hampa.
***
“Feeling-ku beneran jadi kenyataan lo, Ki.  Aku bener-bener shyok, nggak nyangka maksud feeling nggak enak tu maksudnya ini.”
Dapat ku dengar suara Tika.  Saat itu aku sedang berbaring di ranjang, memejamkan mata.  Riki dan Tika menemaniku, tak menyadari aku sedang mencuri dengar percakapan mereka.
“Maksudnya?”
“Kamu inget waktu kita reuni?  Nah, Minggu pagi sebelum Rara pulang, Rara cerita tentang Bimo.  Intinya sih mereka saling suka.  Tapi waktu itu aku masih nggak suka sama Bimo, soalnya belum tau cerita dia dari kamu, kalo dia udah lama banget suka sama Rara.  Waktu itu, feeling aku nggak enak.  Aku ngerasa, Bimo bakal macem-macem dan ninggalin Rara.  Aku nggak nyangka, Bimo beneran ninggalin Rara.  Tapi dengan cara kaya gini..” Suara Tika bergetar, menahan tangis.
Riki segera memeluknya, menenangkannya.  Dikecupnya kening sang kekasih.
“Bukan salah kamu kok, Ka.  Sewaktu mereka pacaran kamu udah setuju kan?  Nggak ngelarang Rara lagi kan?”  Tika menggeleng.
“Nah, kalo gitu pasti Bimo juga nggak masalah.  Toh mereka berdua bahagia.  Bimo bahagia, bisa menghabiskan sisa waktunya bersama Rara.”
Kembali ku rasakan mataku panas, namun air mata tak jua menggenang.  Akhirnya, kembali ku pejamkan mata.  Berharap ini semua hanyalah mimpi buruk semata.
***
Dear Bimo..
Seminggu telah berlalu sejak kepergianmu.  Mulai ku coba untuk ikhlas.  Ikhlas untuk mengenalmu, ikhlas atas singgahnya kamu dihidupku, ikhlas atas segala kenangan bersamamu, ikhlas untuk setiap waktu dan tenaga yang telah tercurah untukmu.  Namun, sangat sulit untuk mengikhlaskan kepergianmu..
Terimakasih untuk segalanya.  Waktu, curahan kasih sayang.  Kebijaksanaan, pengetahuan, peringatan.
Akan selalu aku ingat.  Setiap laki-laki yang hadir atau singgah di hidupku, pasti memiliki peran yang berbeda.  Mereka mengajarkan kearifan cerita hidup yang berbeda, dengan cara yang berbeda.  Ada yang pahit, ada yang manis.  Mereka memiliki tempat tersendiri di benakku, yang aku ciptakan dengan bantuan hatiku.  Yang hanya berada benakku, bukan dihatiku.  Karena pos yang ada dihatiku, bukanlah tempat untuk disingahi, melainkan tempat untuk didiami.
Meskipun harus ku akui, aku sungguh berharap bahwa kamu tak hanya sekedar singgah di benakku, melainkan di hatiku.  Sesungguhnya, telah kusiapkan singgasana bagimu, agar dapat kaudiami dengan nyaman.
Namun apa daya.  Cerita hidup yang baru telah kau ajarkan padaku.
Itulah fungsimu, untuk mengajarkanku mengenai pos-pos di benakku.  Sayangnya, kamu bukanlah pengisi pos di hatiku.  Karena kamu telah terbang tinggi ke langit sana.
Kamu telah memberikan warna baru bagi  hidupku.  Hijau warnamu.  Membumi, tak ingin menonjolkan diri.  Mampu mengajarkanku kearifan hidup, menyembuhkan luka hatiku, menenangkan pikiranku.

75.000wrds

Chapter IX


...........
Seperti itulah akhir kisahku dan Rizki.
***
Ku pandang langit utara, berharap mataku dapat menembus cakrawala.  Membawaku ke tempatnya berada.
Terngiang kembali dalam pikirianku saat Rizki mampu melepaskanku dari cengkraman bayangan Bimo. Ketika itu, hanya beberapa hari berselang sejak perkenalan pertamaku dengannya.
“Ra, aku denger dari Echa kalo kamu lagi putus cinta ya.”
Aku tercekat, pembahasan ini adalah pembahasan yang paling ku benci, ku hindari.  “Iya,” jawabku singkat.
“Aku boleh kasih masukan nggak Ra?  Supaya kamu tidak lagi terjebak masa lalu,” pintanya.
Aku hanya terdiam.  Hanya hela napasku yang terdengar, menandakan persetujuanku.
“Ikhlaskan dia.  Ikhlaskan kepergiannya.  Semakin lama kamu membenamkan diri dalam kesedihan, semakin rusak dirimu.  Apa yang seharusnya kamu cinta darinya tidak lagi sama.  Jika awalnya yang kamu cinta adalah sifatnya, kepribadiannya, maka yang sekarang kamu cinta hanyalah sekedar sosoknya saja, keberadaannya saja disampingmu.  Cintamu tak lagi murni, sudah terkotori oleh nafsu.  Nafsu untuk memiliki.”
“Jika memang kamu mencitainya karena sifat atau kepribadiannya, maka kenanglah sifat dan kepribadiannya itu.  Tiru, lakukan.  Justru dia akan senang, karena kebaikannya berdampak positif buatmu.  Dan yang paling utama, jangan kamu ingkari takdir Allah.  Suratan-Nya itu nyata, tak dapat disandingkan dengan berjuta perandaian yang mahir dimainkan oleh manusia.”
Seketika itu juga, aku dapat merelakan kepergian Bimo.
***
Banyak yang kurindukan darinya, terlepas begitu singkatnya masa perkenalan dan komunikasi kami.  Kebanyakan yang kurindukan darinya adalah, betapa tentram hatiku dibuat dengan hanya mendengar perkataannya.
“Kamu tau Ki, untuk bisa berkencan denganku, kamu harus bisa nyanyi loh. Jadi kalo nanti kapan-kapan kita karaokean, duet kita bisa bagus hasilnya,” usilku pada minggu pertama kami berkomunikasi.
“Oh ya?  Sayangnya aku kurang bagus suaranya,” ujarnya tenang.
“Yahh, nggak asik dong Ki.  Kalo kamu punya syarat apa?” tanyaku bersemangat.
“Gak ada syarat apa-apa Ra. Aku cukup pengen denger kamu ngaji.
Atau ketika aku bertanya di minggu kedua kami berkomunikasi.
“Aku denger dari Echa, kamu katanya pemuda masjid ya Ki?  Yah, culun doongg,” ujarku penasaran.
Dapat ku dengar senyumnya yang lembut, sembari berkata “Aku bukan pemuda Masjid.  Tapi aku ingin menjadi pemuda yang hatinya terpaut oleh Masjid.
Atau ketika dia menyampaikan salam untuk ayah yang kebetulan sedang cuti dari dinas luar kota sehingga bisa menyempatkan diri pulang ke rumah, namun tidak mengirimkan salam kepadaku.
“Kalo ayah kan pas suasananya, lagi cuti.  Kan jarang-jarang ayah ada di rumah.  Ya kalo buat kamu, salamku dalam doaku aja.
Hatiku selalu tersentuh setiap mendengar tanggapannya atas segala kekonyolan yang ku lontarkan. Belum pernah aku bertemu dengan laki-laki yang memiliki pemikiran sesederhana namun berkelas seperti itu.
Atau ketika tak putus mengingatkanku untuk selalu berdzikir menyebut nama Allah meskipun aku sedang tidak dapat melaksanakan ibadah.
Atau ketika dia memutus telepon meskipun pembicaraan kami baru dimulai atau sedang seru-serunya sewaktu mendengar panggilan adzan dan segera bergegas ke Masjid terdekat.
Kerinduanku padanya cukup sederhana, sebab yang kurindukan darinya adalah kesederhanaannya.
***
Rizki itu laksana Ungu.  Ia mampu memberikan pandangan yang tak dapat diberikan oleh orang lain.  Pengetahuannya sungguh luas, lengkap dengan kemampuannya membuat orang mencerna.  Ia memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dengan tidak lantas merendahkan orang lain.  Dan yang paling utama, dia mampu menjadikan hidupku kembali berwarna, dengan keajaibannya sendiri. 
Dan kini, semua itu tak lagi dapat kuraih, kugenggam.  Namun, layaknya wejangan yang diberikan olehnya sebelumnya, akan kurelakan kepergiannya dari hidupku.  Akan kucintai kepribadiannya, tak hanya sekedar sosoknya.  Akan kuikhlaskan kenyataan bahwa kami tak akan bersama. Meskipun sulit.
Ikhlas itu sulit, bahkan untuk sesuatu yang sebetulnya tidak pernah kita miliki.

75.000wrds

Jumat, 21 Februari 2014

Trust Your Guts

This morning, Bekasi was cloudy.  Even though the sun hasn't shining yet, but I could tell from the atmosphere from the air.  It was heavy, full of aqueous vapor. There were several puddles on the street, indicating the pouring rain occurred through the night.  But still, it wasn't raining when I went out from home to the office.

It was 5.16 am, and I was lazy to take 5.18 am Trans Galaxi bus.  Not only because I arrived at bus station at the very last minute, which meant I wouldn't have a proper sit, I will also be arrived at the office very early in the morning, about 6.30 am.  Therefore, I decided to take the next bus, the 5.28 am so I can choose my favorite sit, row number two and next to the window, and hopefully arrived at the office about 7.00 am.

As soon the bus left the station, it was still normal.  The speed was normal since the traffic was normal.  But when we reached the flyover, I saw so many red light coming from cars queuing on the  highways.  Still, I felt oke, because we wouldn't get in to the highways from that nearby gate.

As we reached the highways, the traffic turned slowly.  Every five minutes, I looked at the clock hanging on the ceiling.  My heart started beating fast, because the bus' speed started affected by the rain.  It was 6.25 am, and we haven't reached Cawang yet, while normally at that time, I should be walking on the sidewalk from Komdak to DJP.

I started feeling regret.  Why didn't I take the earlier bus instead of this one?  Why would I risked my salary just for not having arrived at the office earlier?  Because every time I'm late, I will have my salary cut.  It's called TL 1 to 4, with the proportion of cutting from 0.5%, 1%, 1.25% and maximum 5%.  Since I already have 7.5% of cutting, I will literally not be willingly to have another salary cutting.

When the clock at 7.05 am, the traffic was back to normal, finally.  And the bus was able to pulled over at Komdak at 07.10 am.  I was relief.  I still had about 15 minutes to walk and get at the office in time (my office hour starts at 07.30 am).  But came another obstacle.  It was raining, heavy.  Such a raining cats and dogs, causing the water started to pooled and making us, the streetwalker, even harder to walk.  But I had no time to grumble.  Soon after my foot hit the road, I opened my umbrella and walked.  Very fast.  I didn't even care if my shoes went wet.  As long as I didn't get TL today.

And I didn't.  I arrived just in time, 7.20 am.

So, what was the point of this writing?  Well, I was grateful for having 5.28 am bus instead of 5.18 am bus.  Even though before I felt a little regret, actually, it was unnecessary.  Because, when my bus at Semanggi exit highway, I see something.  Just in front of my bus, there was 05.18 am bus.  It meant, that bus had the same speed with my bus.  And I was lucky.  If I took 5.18 bus, I should fell anxious of being late, while standing for almost 2 hours.  But since I didn't, still I did feel anxious, but at least on my comfy seat.

Just, trust your gut.


Senin, 17 Februari 2014

Tentang Pagi


Pagi ini, ingin ku sekedar berceloteh ringan. 

Tentang aku, kamu, dunia.  Tentang pekat yang masih menebar semilir angin nan menusuk tulang. Tentang embun pagi yang masih menitik di ujung dedaunan.  Tentang semburat mentari pagi yang mulai tampak malu-malu di ufuk timur.  Tentang kokok ayam yang tak lagi terdengar menyapa ditengah kota.  Tentang temaran lampu jalan yang perlahan mulai padam.  Tentang gurat awan yang mulai tampak beriring diatas sana. 

Tentang jejak langkah kaki yang senantiasa berlari mengejar roda yang berputar.  Tentang roda-roda yang tiada henti berputar.  Tentang gemuruh AC yang menderu, menyapa tiap helaian rambut di kepala. Tentang helaian Rupiah yang tak jemu beralih tangan.  Tentang kantuk yang tak bosan mengiring di pagi buta.  Tentang keberuntungan untuk mendapatkan tempat bersandar. 

Tentang sehelai handuk yang tersandar di pundak seorang bapak.  Tentang pluit yang terus berteriak nyaring di pertigaan kota.  Tentang suara lantang yang menuntun jalan.  Tentang jarum yang menunjuk angka naik dan turun.  Tentang asap nan pekat sang pencemar udara.  Tentang sorot lampu yang terkadang ditajamkan.   Tentang kesigapan untuk menyalip kanan dan kiri. 

Tentang para pengawas yang menuntun menuju tempat singgah.  Tentang penceloteh yang tak jemu mempromosikan barang dagangannya.  Tentang pembalap yang senantiasa mengacungkan telunjuk tuk menjaring rejekinya.  Tentang setumpuk barang berjejer dan menggantung di pundak seorang pemuda.  Tentang langkah-langkah kecil berlarian kesana kemari.  Tentang tangan-tangan yang menengadah.  Tentang ayunan serangkaian batangan lidi.  Tentang setiap sapaan ramah.  Tentang setiap anggukan kepala. 

Tentang setiap denyut nadi yang berdetak cepat.  Tentang setiap helaan napas yang berhembus berat.  Tentang setiap pusaran pikir di dalam kepala.  Tentang setiap langkah cepat yang berayun kesana kemari memburu waktu, yang tak kunjung lelah menjemput rejeki dan menaklukan mimpi.

Tentang pagi.


Gatsu, 08.10 wib

Sabtu, 15 Februari 2014

Lentera Indonesia

Hari Minggu yang lalu, 9 Februari 2014, saya menonton sebuah acara televisi.  Lentera Indonesia.  Sebuah film dokumenter yang dibuat untuk merekam jejak langkah para Pengajar Muda dalam kegiatan  Indonesia Mengajar.

Indonesia Mengajar merupakan sebuah program yang bertujuan untuk membantu mengisi kekurangan guru sekolah dasar, khususnya di daerah terpencil dengan mengirimkan lulusan terbaik Perguruan Tinggi di Indonesia yang telah dididik intensif untuk menguasai kapasitas kepengajaran dan kepemimpinan untuk bekerja sebagai guru selama satu tahun. (https://indonesiamengajar.org/tentang-indonesia-mengajar/visi-dan-misi/).  Berangkat dari pemikiran pak Anies Baswedan, bahwa kualitas untuk berkompetensi kelas dunia saja tak cukup, sehingga anak-anak muda Indonesia harus punya pemahaman empatik yang mendalam seperti akar rumput meresapi tanah tempatnya hidup. (https://indonesiamengajar.org/tentang-indonesia-mengajar/sejarah/).

Nah, saya lupa judul lengkap episode Lentera Indonesia waktu itu.  Namun yang jelas, di episode itu, ditayangkanlah profil seorang Pengajar Muda bernama Ridwan Gunawan yang tengah bertugas di Rambang, Sumatera Selatan (akan segera saya ralat jika memang ternyata salah).  Sungguh, sebuah film dokumenter yang sangat bagus, sebab mampu membangunkan kembali sisi kemanusiaan saya yang cukup lama tertidur.

Tertidur?  Ya, tertidur.  Sebab, selama beberapa tahun terakhir, saya cukup apatis terhadap sejumlah program stasiun televisi yang menunjukkan sisi kesedihan dalam hidup bernegara Indonesia.  Memang, saya dapat menangkap makna dan maksud dari pembuatan program-program tersebut.  Namun, pengemasan yang saya rasa terlalu dipaksakan, membuat saya terkadang segera memindahkan saluran televisi ketika pandangan saya menangkap program tersebut.

Kembali ke Lentera Indonesia.  Sebenarnya, film dokumenter itu sederhana dan biasa saja.  Menayangkan keseharian kehidupan para Pengajar Muda di tempatnya bertugas, lengkap dengan segala bentuk kesedihan dan kepayahan hidup yang mereka temui.  Tak jauh berbeda dengan program-program lain yang saya gambarkan pada paragraph sebelum ini.  Namun ada satu yang berbeda dari Lentera Indonesia. Mungkin karena memang Indonesia Mengajar memang merupakan sebuah Gerakan yang teramat sangat luar biasa, yang mampu merumuskan amanat kemerdekaan dalam suatu gebrakan, yang justru ternyata terfokus pada titik nol kehidupan berbangsa, yaitu anak-anak muda generasi penerus bangsa.  Serta pengemasan yang tidak dipaksakan.

Seketika itu juga, hati saya tergerak.  Otak saya berpikir cepat.  "Hai anak muda, apa saja yang telah kau berikan secara nyata kepada ibu Pertiwi selama 24 tahun kebelakang?"  Pertanyaan yang sulit saya munculkan jawaban yang memuaskan.  Hari-hari saya selama ini lebih saya habiskan untuk berbakti pada ayah bunda, serta menjaga adik-adik tercinta.  Tak ada yang salah tentunya dengan hal itu.  Namun, saya ingin berbuat lebih.

Teringat oleh saya, ucapan bapak Pimpinan saya ditempat baru saya bekerja.  Bahwa sebuah "Kebetulan" itu tidak pernah ada di muka bumi ini.  Sebab, Tuhan tidak pernah usil dengan hidup kita.  Dia pasti telah dengan segala peritungan-Nya, merancang tiap jalan hidup manusia, bahkan jalan sekecil apapun.  Begitu pula dengan hal yang satu ini.  Pasti ada setidaknya hal kecil yang bisa saya lakukan untuk menuntaskan tidur panjang sisi kemanusiaan saya.

Karena setahu saya, belum ada kenalan saya yang terlibat sebagai Pengajar Muda, saya coba cari pemuda bernama Ridwan Gunawan itu.  Tak perlu waktu lama, saya temukan identitasnya di website Indonesia Mengajar.  Segera saya kontak beliau, menanyakan jenis bantuan yang mungkin saya lakukan, selain bergabung sebagai garda terdepan sebagai Pengajar Muda.

Singkat cerita, beliau merespon pertanyaan saya.  Semula, saya pikir saya akan banyak membantu dalam bentuk finansial.  Ternyata tidak, dan ternyata sangat sederhana.  Saya dapat membantu dengan cara berkirim surat kepada anak didik beliau di Rambang sana, kepada Letriani dan kawan-kawan.  Harapannya, agar saya bisa melihat betapa bersemangatnya mereka dalam menyongsong hidup di negara ini. Selain itu, agar saya bisa berbagi cerita kehidupan yang tidak mereka ketahui, tentang bernegara Indonesia diluar daerah tempat tinggal mereka.

Yap, akan segera saya lakukan.  Sebuah langkah sederhana, yang mungkin justru tak menghabiskan banyak biaya.  Tak muluk-muluk, namun memiliki andil yang cukup luar biasa.  Asal dilakukan dengan konsisten.

Satu hal lagi.  Saya sempat menyampaikan kepada kak Ridwan, bahwa saya sendiri belum sanggup jika diajak untuk bergabung di Indonesia Mengajar sebagai Pengajar Muda.  Saya belum sanggup meninggalkan zona nyaman saya, hidup dibawah asuh ayah bunda.  Oleh karenanya, saya sangat kagum dengan para Pengajar Muda, yang rela meninggalkan zona nyaman dan secara nyata berkontribusi untuk negeri.  Namun ternyata konsep saya salah.  Jawabannya membuka pemikiran baru buat saya.  Bahwa mereka, Para Pengajar Muda, bukanlah pergi meninggalkan zona nyaman mereka.  Mereka justru sedang memperluas zona nyaman mereka.  Mendengar, lebih tepatnya membaca hal tersebut, saya hanya bisa mengacungkan kedua jempol saya dan berkata, Anda sungguh sangat hebat.

Untuk kak Ridwan dan para Pengajar Muda lain, terimakasih karena telah bergabung dengan Indonesia Mengajar.  Terimakasih untuk Lentera Indonesia, yang telah mampu membangunkan sisi kemanusiaan saya yang sudah tertidur cukup lama. Mungkin, saya masih belum tau apa makna dibalik tergeraknya hati saya ketika menyaksikan Lentera Indonesia.  Tugas sayalah untuk menggalinya lebih dalam lagi.

Bekasi, 14 Februari 2014

Selasa, 11 Februari 2014

It's 2014 already!


Ya ampun, sudah hampir 2 bulan saya tidak menulis sedikit pun.  Hmm,, bagaimana mau menjadi penulis yang baik, sedangkan untuk menulispun masih mood-moodan.  Masih menjadi sebuah keinginan, bukan sebuah kebutuhan.  Ckck..

Banyak hal yang sudah terlewat selama pertengahan Desember 2013 hingga detik ini.  Banyak cerita penuh  makna yang sudah saya alami.  Memang, tak lantas patut saya tuangkan satu demi satu dalam laman ini.  Namun paling tidak, ada beberapa cerita yang maknanya perlu untuk saya sebar ke penjuru negeri.


Tak lagi Kucing-kucingan

(Pasang wajah sumringah dengan senyum super lebar)

Tanggal 24 Desember merupakan tanggal kramat bagi karir baru saya.  Saya lulus ujian masuk CPNS Kementerian Keuangan, teman-teman J. Namun, saya tak terjaring dalam penerimaan CPNS Kementerian Sekretariat Negara.  Tak mengapa.

Pukul 17.20 WIB, saya sedang berada di CommuterLine dan mengunjungi laman rekrutmen Setneg.  Sesaat setelah membaca pengumuman, hati saya mencelos.  Nama saya tak termasuk diantara 6 orang yang lulus seleksi CPNS LPSK.  Sedih, saat itu sungguh sedih.  Pikiran saya lantas terbang kemana-mana, tak tenang.  “Haduh, gimana kalo aku nggak dapet lagi cpns tahun ini?  Gimana kalo Menkeu nggak dapet?  L.”  Namun, pikiran itu saya buang jauh-jauh.  Saya yakin, Tuhan punya rencana terbaik buat saya.  Dan benar saja.

Pukul 23.05 WIB, saya sedang berada di ruang tamu dan mengunjungi laman rekrutmen Menkeu.  Tampak pengumuman baru tentang daftar peserta lulus rekrutmen.  Tak ingin berlama-lama, saya tekan tombol crtl+f, dan mencari nama saya, lengkap. Sedetik setelahnya, saya baca nama saya ada di urutan ke 171 lulusan prodi Ilmu Hukum.  Sontak saya bersorak, membuat ayah dan ibu saya, yang mungkin sudah terlelap dalam buai mimpi, terjaga dan bergegas keluar kamar.  Mereka memeluk saya, mencium kedua pipi saya, dan menangis.  Haru.

Tuhan tidak membuat saya lulus di kedua rekrutmen, sebab Tuhan tau yang terbaik untuk saya.  Dia langsug memilihkan sesuatu  yang tentu pasti baik bagi saya.  Dan yang pasti, karena saya tidak harus memilih Menkeu dan meninggalkan Setneg, saya tak perlu membayar uang denda sebesar 20jt.  Alhamdulillah..


Menjemput Impian (?/!)

8 Januari 2014, saya dikagetkan dengan kedatangan seseorang yang memang saya nantikan kehadirannya selama beberapa bulan belakangan.  Sebuket mawar ungu ditambah dua lembar kain batik khas Sulawesi menjadi bukti kedatangannya.  Saya kaget, dan gembira.  Namun juga saya takut, takut STT saya kambuh lagi.

Singkat cerita, suatu hari, kami berjalan bersama.  Sengaja kami tak ingin melakukan kegiatan berat, hanya sekedar makan biasa.  Karena sesungguhnya, ada kegiatan berat lain yang harus kami lakukan.  Berbicara.  Ngobrol.  Diskusi.  Tentang apa?  Tentang kami.

Setelah menemukan tempat yang sesuai keinginan kami, kami duduk, makan, dan berbincang.  Tentang apa?  Tentang kami.  Namun, bukan pembicaraan yang saya bayangkan maupun harapkan.  Hanya pembahasan ringan mengenai, bagaimana disana, bagaimana disini.  Hanya itu.  Kosong.  Bukan tentang mimpi kami, maupun bagaimana cara kami menjemput mimpi tersebut.  Tak ada pembicaraan lagi, bahkan hingga detik dia kembali ke tanah seberang. 

Saya, seperti sudah hilang asa tentangnya.  Lambat tapi pasti, akhirnya saya putuskan.  I’m back to square one.  Namun, satu yang pasti.  Saya pasti menjemput impian saya.  Mungkin tidak dengan cara yang saya pikirkan sebelumnya, tapi dengan cara lain.  Bagaimana?  Well, I’ll figure that out how, later.


Ketika siBeat Beralih Tuan

Sudah hampir setengah tahun ibu saya kepayahan ketika harus berbelanja ke pasar.  Sebab, motor yang biasanya beliau gunakan, sudah dikirim ke Purwokerto untuk digunakan oleh adik yang mulai menimba ilmu disana.  Jadi, terpaksa ibu harus ke pasar yang ada di komplek perumahan saja, meskipun tidak lengkap.  Ibu baru bisa ke pasar yang agak besar di hari Sabtu atau Minggu saja, ketika saya sedang tidak menunggangi siBeat ke stasiun kereta.

Saat itu, saya berjanji dalam hati, dalam tahun depan saya akan mengusahakan sebuah motor agar bisa berada dibawah kuasa ibu.  Entah bagaimana caranya.  Apakah harus mencicil, atau beli motor second.  Tak mengapa, selama ibu bisa mengakses pasar dengan mudah.  Dan ternyata doa saya cepat dijabah oleh Yang Kuasa.

Berita yang datang diakhir tahun 2013 (baca= saya lulus CPNS Menkeu), otomatis membuat pola transportasi saya berubah.  Jika sebelumnya setiap hari kerja saya harus menuju Sudirman, kini (mungkin hingga akhir tahun ini, atau kalo bisa seterusnya :p) saya harus menuju Gatsu.  Jika dulu saya harus menggunakan siBeat dan dilanjutkan CommuterLine, kini tak lagi.  Saya cukup duduk manis di dalam bus, yang langsung diberangkatkan dari Komplek Perumahan. 


Dengan demikian, siBeat pun dapat beralih tuan.  Sungguh, Tuhan sungguh sangat Maha Baik.  Dengan cara yang sederhana, saya bisa memenuhi janji saya tersebut.

***

Well, sekian dulu yang bisa saya bagikan hari ini.  Insya Allah, hari-hari kedepan akan saya isi dengan menulis secara teratur.

Akan saya buat menulis sebagai sebuah kebutuhan, tak lagi sekedar keinginan.