Kamis, 19 Desember 2013

Jackpot

Brief post.

Semalam adalah waktunya siBeat diisi ulang, sebab garis kesadarannya sudah berada diambang batas, nyaris menyentuh titik batas akhir kemampuannya untuk berlari membawaku pergi kesana kemari.  Bermodalkan 25ribu Rupiah, aku bergegas meninggalkan parkiran stasiun Bekasi dan menepi di tempat isi ulang.

Sebenarnya aku kurang suka mengisi ulang siBeat di tempat tersebut.  Disana selalu ramai, sarat akan antrian. Hanya 2 titik pengisian yang disediakan oleh petugas, sedang sejumlah titik pengisian lain dibiarkan begitu saja, tampak tak terjamah.

Begitu pula semalam.  Saat kuarahkan siBeat untuk menepi, telah tampak dari kejauhan satu antrian panjang yang kemudian bercabang dua dan bermuara di 2 titik pengisian.  Mungkin masing-masing antrian terdiri dari kawan-kawan siBeat sejumlah 10 buah.  Namun karena sudah kritis, aku tak punya pilihan lain.  Dengan enggan aku pun ikut bergabung dan memperpanjang antrian.

Sesaat sebelum aku memutar gas untuk mengajak siBeat berlari menuju cabang kanan, tiba-tiba dari belakang ada seorang bapak-bapak yang dengan enaknya menyerobot jatah kami.  Kaget, sontak aku menahan laju siBeat.  Dengan hati dongkol, aku biarkan bapak-bapak itu memposisikan diri sebelum kami.  Tak perlulah aku ungkap disini sejumlah cacian yang hampir terlontar dalam hati, tak etis rasanya.  Aku cuma berpikir, pasti ada hikmahnya.

Benar saja.

Selang beberapa detik setelah aku dan siBeat diserobot, tiba-tiba ada seruan dari titik pengisian ke tiga, "Yang mau isi pake selang biru, silahkan antri disini.

"Katching!!!"

Layaknya memenangkan judi, dapat kudengar suara gemerincing koin yang turun dari mesin jackpot itu.

Dengan tersenyum senang, segera ku putar kepala siBeat, ku putar gas perlahan dan ku arahkan menuju titik pengisian tersebut.  Dan aku pun berada diurutan pertama. Hahaha..

Saat ku tinggalkan tempat isi ulang, aku pun berpikir.  Betapa Tuhan sudah menyiapkan kebaikan-kebaikan bagi manusia.  Bahkan untuk hal-hal terkecil.

Misalnya aku berkeras menghalangi langkah bapak-bapak itu, tentunya aku akan menempati posisinya.  Posisi yang tidak menguntungkan.  Sebab diposisi tersebut, ada tali yang membatasi pengendara yang membuat aku tak akan mampu berbelok menuju titik pengisian ketiga.  Atau dengan adanya bapak itu, pasti aku tak bisa mundur dan memutar balik menuju titik pengisian ketiga.  Sehingga aku terperangkap dan terpaksa menjadi bagian dari iring-iringan panjang itu.

Satu lagi kuasa Tuhan yang sungguh tak terbantahkan, dan aku pun berucap, "Alhamdulillah"




Rabu, 18 Desember 2013

Berkendara Commuter Line

Sebenarnya, judul yang saya rasa lebih tepat untuk mewakili tulisan saya kali ini adalah, Tenggang Rasa ala Commuter Line.   Tapi, saya rasa judul itu akan terlalu mengerucut pada satu akar masalah saja, meskipun memang benar itu adalah hal yang ingin saya angkat kali ini.

Saya penghuni Bekasi yang mencari nafkah di Jakarta.  Jelas, setiap minggunya, selama 5 hari berturut-turut saya harus berpetualang ke ibukota.  Awalnya, saya menggunakan mobil pribadi.  Tapi rasanya terlalu banyak yang harus saya korbankan.  Waktu, tenaga, dan pastinya uang.  Akhirnya saya beralih ke moda transportasi publik yang paling mudah untuk saya gapai dari perumahan saya.  Kereta Listrik Aliran Atas atau yang lebih populer disebut Commuter Line.

Di tulisan ini saya tidak akan mengkritik pelayanan yang diberikan oleh PT. KAI Commuter Jabodetabek selaku pengelola Commuter Line, sebab saya rasa sudah cukup banyak masukan atau saran atau keluhan atau kritikan bahkan cacian serta makian yang ditujukan kepada mereka.  Saya justru akan menyorot perilaku pengguna Commuter Line itu sendiri, yaitu saya dan kawan-kawan sejawat saya lainnya.

Yang pertama, terkadang banyak penumpang yang bisa dikategorikan penumpang prioritas (ibu hamil, membawa anak, manula atau penyandang cacat), yang tidak kebagian tempat duduk.  Sebagai gambaran, satu rangkaian Commuter Line terdiri dari 8 gerbong (atau untuk kereta Feeder antar stasiun tertentu terdiri dari 4 gerbong).  Disetiap gerbong disediakan tempat khusus prioritas, biasanya total untuk 12 orang.


Nah, karena mungkin penumpang prioritasnya sudah terlalu banyak, ada penumpang prioritas yang tidak kebagian tempat duduk prioritas.  Walhasil, mereka terpaksa tampak kepayahan di tengah hiruk pikuk penumpang commuter lainnya.  Sepantasnya, penumpang yang duduk di tempat duduk biasa dapat memberikan "jatah"nya kepada mereka.  Tapi masalahnya, banyak dari penumpang yang duduk di tempat biasa justru akan menyarankan mereka untuk mencari tempat duduk prioritas, yang memang sudah jelas penuh.  Atau yang lebih parah, mereka akan berpura-pura tidak tahu dengan mengusung aksi pura-pura tidur.  Selama hampir 2 tahun saya berkendara Commuter (dan saya biasanya selalu berdiri, karena memang saya males berdesak-desakan dan berebutan tempat duduk), moment dimana saya melihat kemurahan hati sesorang untuk merelakan tempatnya ke penumpang prioritas, bisa dihitung dengan jari.

Kedua, saya kurang sepaham dengan penumpang Commuter Line yang asik memainkan gadget sembari berkendara Commuter.  Saya sendiri termasuk orang suka mencari hiburan via gadget, tapi setidaknya saya lihat-lihat kondisi dulu.  Apakah memungkinkan untuk membebaskan satu tangan (bahkan kedua tangan) agar bisa leluasa dengan gagdetnya.  Misalnya, saat Anda berkendara Commuter di jam-jam sibuk, yang mana Anda untuk menjejakkan kaki pun sudah sulit.  Istilahnya, alat vital pun sudah diobral sehingga dengan bebas bersentuhan dengan penumpang lainnya.  Bagaimana mungkin Anda masih tega "mengambil lahan" yang harusnya menjadi hak penumpang yang ada di depan Anda dengan sibuk dengan gadget ditangan?  Apalagi ukuran gadget-gadget super canggih saat ini bisa dibilang cukup besar dan dan memakan tempat cukup banyak.

Okelah, mungkin saat itu sang pengguna gadget ada keperluan penting yang tidak bisa ditunda lagi, seperti membalas email atau apalah.  Mungkin kalo seperti itu, masih bisa ditolerir.  Tapi kebanyakan, gadget-gadget itu hanya digunakan untuk bermain games.  "Alangkah sayang, alat semahal itu cuma bisa dipake buat maen games abal-abal, mana nyusahin orang lagi,"  ucap saya dalam hati.  Banyak-banyakin dosa saya saja.

Berikutnya, saya tidak habis pikir sama penumpang yang sengaja berdiri di depan pintu selayaknya penjaga pintu, padahal di dalam gerbong masih lowong.  Lowong disini bukan berarti bisa dipake buat nari-nari ala film India.  Maksudnya masih bisa berdiri lega tanpa harus bersentuhan dengan penumpang lainnya.  Dengan berdirinya mereka di depan pintu, seolah-olah kondisi di dalam gerbong sudah penuh, sesak, padat, rapat, tanpa ada lagi ruang untuk sekedar bergeser dan bergerak, sehingga membuat penumpang lain yang baru mau masuk ke gerbong, seolah-olah sudah tidak ada lagi harapan untuk ikut naik commuter.

Rapatnya barisan seperti ini tentu membuat penumpang yang tidak memiliki nyali, menjadi menciut dan mengurungkan niatnya untuk bergabung bersama massa lainnya di dalam kereta.  Padahal, nyatanya, jika saja penumpang tersebut berkeras hati dan menerobos "sang penjaga pintu" tersebut, mereka masih bisa bergerak dan bergeser ke dalam gerbong kereta.  Seperti yang sering saya lakukan.

Yang lebih egoisnya, terkadang terlontar celetukan dari "sang penjaga", "Udah penuuh, ikutan kereta berikutnya ajaa" atau "Adduuuhh, jangan dorong-dorong doong!!", atau "Heii, jangan dipaksain mbaakk!!."  Sikap kurang bersahabat ini akan semakin terdengar saat kereta sudah bergerak dan menepi di stasiun-stasiun berikutnya (stasiun transit).  "Udah bu,jangan dipaksain, kereta yang berikutnya aja. Udah deket kookkk!!!"

Yang saya heran, apa para penceloteh-penceloteh itu tidak berpikir, bagaimana jika posisinya dibalik, mereka yang jadi penumpang stasiun-stasiun transit itu.  Merasakan bagaimana rasanya harus berjuang menerjang masuk ke gerbong yang sudah penuh.  Tentu bukan salah mereka keretanya sudah penuh saat menepi di stasiun-stasiun transit itu.  Dan bukan ingin mereka juga untuk berhimpit-himpitan dan sedikit memaksa agar sekedar bisa terangkut oleh kereta.

Nah, dari ketiga contoh fenomena diatas, mungkin tidak akan terjadi jika terdapat lebih banyak tenggang rasa diantara sesama.  Ingat, saya tidak menyatakan bahwa penumpang Commuter Line tidak memiliki perasaan.  Sebagai orang Timur, tentu kepribadian kita masih bisa diacungi jempol.  SEANDAINYA LEBIH BANYAK TENGGANG RASA.

Mungkin, sudah saatnya bagi kita yang kebetulan mendapat kesempatan emas untuk duduk, meskipun bukan di tempat duduk prioritas, jika melihat ada penumpang lain yang mungkin lebih pantas mendapatkan keistimewaan tersebut, tidak ada salahnya untuk berbagi.  Mengikhlaskan kenyamanan yang temponya juga sebetulnya tidak seberapa itu.  Tuhan pasti membalas kebaikan kita.  Entah itu kepada diri kita, atau kerabat dan sahabat tercinta kita.

Mungkin, jika kita ingin membunuh rasa jenuh dengan gadget, ada baiknya melihat kondisi sekitar terlebih dahulu.  Jika memang masih ada ruang untuk bergerak, kalo saya patokannya sejangkauan lengan tangan, maka tak apalah untuk bermain bersama gadget.  Tapi kalo wajah kita langsung berhadapan dengan kepala atau punggung penumpang lain, akan lebih nyaman bagi kita untuk tidak mengeluarkan gadget kita itu.  Toh masih banyak cara lain yang bisa kita lakukan untuk membunuh waktu.  Misalnya dengan membaca doa-doa dalam hati, yang justru akan membawa keberkahan lebih kepada kita.

Mungkin, jika kita memang suka menjadi "penjaga pintu", yang tidak pula saya salahkan, jadilah penjaga pintu yang bijak.  Katakan penuh ketika kereta sudah penuh, persilahkan penumpang lain masuk ketika kereta masih bisa dimuati penumpang tambahan.  Bayangkan saja jika kita bertukar posisi dengan penumpang yang baru mau masuk tersebut, atau penumpang yang memulai perjalanannya di stasiun transit, bukan stasiun pemberangkatan.  Tentu tidak enak, jika kita yang sudah harap-harap cemas akankah ketinggalan kereta, atau bisa masuk ke kereta, tiba-tiba diteriakin "Kereta yang berikutnya aja mbakk."

Bertenggang-rasalah terhadap orang lain.
Bukan hanya sekedar berharap mendapat tenggang rasa dari orang lain.


Rabu, 11 Desember 2013

Tiga Langkah Kaki

Borneo, 2 November 2013.

Akhirnya aku liburan lagi.  Puji Tuhan.  Sungguh panjang waktu yang harus aku habiskan untuk bisa menemui waktu libur ini.  49 hari, dengan jatah libur yang kuambil di setiap hari Rabu.  Walhasil, kurang lebih selama 2 bulan, 6 hari seminggu, ku habiskan ditempat bekerja tercinta. Mekanisme bekerja di tempatku memang seperti itu.  Dan setelahnya, 2 minggu berturut-turut, waktunya berlibur.

Seperti yang sudah-sudah, aku tidak akan menghabiskan waktu liburku di Borneo ini.  Aku sudah cukup puas merasakan ketenangan dan kedamaian di kala bekerja.  Tapi untuk waktu libur, aku butuh keramaian.  Agar aku tidak gila dalam kesendirian ini.

Kuputuskan, untuk mengunjungi Jogjakarta.  Tempat yang penuh kenangan, terutama masalah percintaan.  Tapi, aku ke Jogja bukan untuk mengingat kembali kisah cinta yang telah lalu itu.  Bukan, bisa-bisa kepalaku dijitak nanti sama Stabilokuning.  Aku ke Jogja, karena memang ada beberapa hal yang harus aku selesaikan.  Selain itu, misi terbesarku adalah membawa Nolkomadua mengunjungi Stabilokuning di Bekasi.


"Piye, jadi ndak?" tanyaku kala itu ke Nolkomadua.  Tapi yang bersangkutan hanya menjawab, "Ya kamu dateng dulu dong sini ke Jogja, ntar tak kasih tau aku jadi apa ndak ikutan kesana."

Sedangkan kabar kedatanganku ke Bekasi bersama Nolkomadua sudah diketahui oleh Stabilokuning.

"Pokoknya, apapun yang terjadi, kalian berdua musti nyampe di Bekasi.  Harusss!!!"

Akhirnya, aku bertolak ke Jogjakarta, kota tercinta.

***

Jogjakarta,7 November 2013.

Siang itu terik, matahari sedang bersinar dengan garangnya.  Kulirik jam dinding, baru menunjukkan pukul 1 siang.  Selaras dengan kondisi perutku yang membuncit, pertanda baru selesai diasupi bakal energi. Mungkin piring kotor bekas makan siangku masih ada di pantry, belum sempat dicuci oleh OB.

Tak sabar, aku ingin malam segera datang.  Kuarahkan pandangan ke komputer, konsentrasi kupaksakan, agar seluruh pekerjaan dapat segera dituntaskan.  Agar tak ada beban yang menggantung di pundak, selagi aku bersenang-senang bersama teman lama.

Tak lama ponselku berdering.

"Dab, koe mulih jam piro?" Terdengar suara Sinaga dikejauhan.  Nada suaranya terdengar bosan.  Wajar, sebab dia sedang berada di rumahku.  Kuperintahkan dia menungguku di rumah, agar sepulangku dari kantor, kami bisa segera bertualang ke Jakarta.

"Jam 4 dab, nanti begitu kelar tak langsung pulang," ku jawab pertanyaannya.  Dan kutepati.

Selepas jam 4 sore, segera kususuri jalanan Jogjakarta, menuju rumahku.  Selepas berbenah, dengan berbekal satu ransel hitam yang senantiasa bertengger manis di pundak, kami menuju stasiun Tugu.  Tepat pukul 7 malam, dengan menumpang sebuah kereta, perjalanan kami pun dimulai.

"Kamu udah bilang sama Stabilokuning kalo kamu jadi dateng?" Sinaga bertanya, sambil sibuk mengunyah nasi padang.  Perutnya yang sudah sama membulatnya dengan perutku, menunjukkan betapa besar selera makan kami berdua.  Kami berdua duduk berhadapan, dengan ransel yang kami letakkan di kaki, agar tak lepas dari pandangan mata.

"Haha, belum e, aku masih bilang kalo aku ndak jadi ikut ke Jakarta.  Dia masih taunya kamu sendirian yang berangkat."

"Wah, bisa heboh nanti dia begitu liat kamu.  Kalo ketemu sama aku kan udah sering, sama kamu yang nggak pernah lagi abis kita les bareng."  Sinaga tertawa.

"Iya e, udah lama banget aku nggak ketemu sama dia.  Udah mau tiga tahun apa ya.  Tapi kamu jangan kasih info apa-apa dulu, biar dia kaget.  Ni aku lagi bbman sama dia."

Kulirik handphoneku.  "Yaahh, kamu beneran nggak ikut po?  Sinaga lagi, Sinaga lagi.  Bosen aku sama dia, haha"


"Tapi kita besok nggak langsung ke Bekasi ya, kita ke Cinere dulu, ada gawean dari pak bos.  Sabtu pagi aja kita berangkat Bekasi, lagian tu anak juga kan kerja kalo hari Jumat," usulku.  Karena memang aku ke Jakarta tidak lantas hanya untuk menemui dia saja, melainkan sambil mengerjakan tugas kantor.

"Siap laksanakan pak bos.  Eh, ayammu nggak abis to?  Sini tak abisin wae, haha" dengan santainya Sinaga merebut potongan ayam terakhir dan terbesar, yang sengaja kusisakan untuk kumakan di akhir.

"Siaul koe dab!"

***

Jakarta, 9 November 2013

Sedari pagi, aku sibuk.  Menyapu, ngepel, membereskan perabot rumah, mencuci baju, piring kotor, serta pekerjaan rumah tangga lainnya.  Hatiku riang, gerakanku ringan.  Sebab hari ini aku akan berkumpul dengan teman lamaku. Sinaga namanya, kenalanku sewaktu bertualang di Jogjakarta.  Saat ini dia sudah bekerja di sebuah perusahaan tambang yang berlokasi di Borneo. 

Sebetulnya bukan hanya Sinaga yang seharusnya datang ke Bekasi hari ini.  Ada lagi satu sahabatku yang berlokasi di Jogjakarta.  Tapi sayangnya dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Jogjakarta.

"Maap ya Ning, aku beneran nggak bisa ikut.  Aku tadi cuma sempet nganterin Sinaga ke Tugu doang.  Pengen ikut siiih, tapi nggak bisa e."

Walhasil, hanya Sinagalah yang harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk mentraktirku sepanjang hari ini.

Pukul 10.00 pagi, sambil gelisah mataku memandang layar televisi.

"Ning, aku di depan rumah."

Sedetik setelah membaca bbm dari Sinaga tersebut, aku segera menuju pintu garasi.  Langkahku ringan, mengingat sudah cukup lama aku tidak bertemu sahabatku yang satu ini.  Terkahir kali kami bertemu adalah pertengahan semester 2012, sebelum dia berangkat merantau ke pulau seberang.  Namun saat membuka pintu, justru wajah lain yang menyita pandanganku.

"Nolkomaduaaaa!!!! Kok kamu bisa ikutan???"  suaraku riang lagi kencang.  Yang mempunyai  nama, bukannya  segera menjawab, justru duduk manis di pinggiran taman depan rumahku.

"Sinaga, lu ngapain bawa bocah sentul kenyut itu?" aku tertawa, masih tak menyangka kedatangan dua wajah yang sudah lama tak ku lihat.

"Kan aku kangen sama kamu Ning," si Nolkomadua berucap.

"Preeeetttt!!!  Ayo masuk-masuk, mesakke tenan kalian.  Udah mandi belum?  Udah makan?  Dari terminal naik apa kesini?  Pantes nggak mau dijemput kamu Ga, wong bawa gembolan kaya begini ........." dan sederet pernyataan maupun pertanyaan lainnya.  Kujabat hangat tangan kedua sahabatku itu, ku tarik mereka masuk ke rumah.   Perbincangan pun dengan cepat pindah ke ruang tamu.

"Silahkan diminum,"  ku letakkan dua gelas plus seteko air es sirup.  Aku tau, kedua sahabatku ini pasti sedang kepayahan, tampak dari mukanya yang suram.  Akibat belum mandi, mungkin.

"Thankyou non, gerah banget aku," Sinaga segera meneguk sirupnya, tandas.  Dia sudah tak lagi malu-malu, sebab sudah beberapa kali mengunjungiku.  Sedangkan si Nolkomadua, masih sibuk memperhatikan keadaan rumahku.  Ditelitinya setiap foto yang terpajang di ruang tamu atau pot-pot bunga yang tersusun di pekarangan rumah.  Bahkan kucing kesayanganku pun tak luput dari penglihatannya.

"Adik-adikmu lebih cantik daripada kamu, Ning."  Dengan santainya Nolkomadua tertawa sambil melihatku memberengut, yang lantas ikut tertawa bersamanya.

"Apaan, ya pastinya cantikkan aku lah daripada adik-adikku.  Kamu kecapekan tu, makanya matanya jadi nggak awas," jawabku usil.


Percakapan pun berlangsung seru.  Memang sudah lama kami tidak berkumpul seperti ini.  Aku, Sinaga dan Nolkomadua pertama bertemu di satu tempat Kursus Bahasa Inggris yang ada di kota Jogjakarta.  Tidak seperti Nolkomadua yang memang bermukim di Jogja, aku dan Sinaga hanya numpang tinggal sambil menimba ilmu di kampus masing-masing.  Anak rantau.

"Orang rumah pada kemana Ning?" Nolkomadua bertanya sambil mencomot bolu yang terhidang di meja.

"Ayah kan lagi tugas di Jambi, Adikku yang satu di Jogja, yang satu di Purwokerto, kalo ibu lagi ada acara reuni sama temennya.  Aku sendirian di rumah hari ini, makanya nggak masak," jawabku cepat.

"Ah preet, alasan saja kau"  Sinaga terbahak mendengar alasanku.

"Udah pada makan belum?  Yuk aku traktir, perumahanku baru Grand Opening mall baru.  Pasti lagi banyak diskonnya,"  ajakku bersemangat.  Sedangkan Sinaga dan Nolkomadua hanya tertawa melihat tingkahku.  "Tapi si Classic lagi ngambek, nggak bisa jalan.  Kita kesananya naek motor aja yah!"

"Cenglu?  Yuk, yuk!" raut wajah Sinaga membulat, sedangkan Nolkomadua memainkan alisnya seperti ulat gendut yang sedang berjalan kepayahan.

Giliran aku yang memberengut.  "Ngacoo.  Jadi gini, karena motorku cuma satu, nanti kamu Ga, anter Nolkomadua dulu kesana, trus nanti kamu balik lagi kesini buat jemput aku yang ok banget ini.  Trus baru deh kita makan bareng," jelasku panjang lebar.  Sedangkan kedua sobatku hanya manggut-manggut, entah mengerti atau tidak.

Selepas berbenah seadanya, kami segera bertolak ke tujuan. Dan sisa hari itu pun kami habiskan bersama.

***

Tempat makan, 9 November 2013.

"What, kamu mau merit??"

Kabar baik itu datang dari Nolkomadua, membuat Stabilokuning terpelongo.  Tak heran, sebab cerita cinta antara Nolkomadua dan pacarnya, yang diketahui oleh Stabilokuning barulah sebatas pacaran belaka. Namun, Stabilokuning tetap bergembira mendengar sahabatnya akan mengakhiri masa lajang.

"Iya Ning, mau merit dia.  Udah duluan aja, ninggalin kita bedua yang masih jomblo sampe sekarang."  Sinaga menyahuti pernyataan Nolkomadua, sambil mata dan tangannya tetap terfokus pada hidangan yang ada dihadapannya.

Sedangkan yang punya hajat, hanya cengar cengir.  "Iya, Insya Allah Februari depan.  Nanti pada dateng ya."

"Insya Allah, aku usahakan datang,"  sambut Stabilokuning senang.

"Tapi sebelumnya, aku mau cerita dulu sama kalian.  Biar aku lega, rahasia ini nggak aku simpen sendirian."

Suara Nolkomadua berubah, nadanya datar, tak terdengar guratan canda didalamnya.  Mendengar nada suara seperti itu, baik Stabilokuning maupun Sinaga sama-sama berpaling dan memandang wajah Nolkomadua.

"Jadi, ceritanya antara aku, dia dan ............"

Cerita berlanjut, tentang langkah kaki tiga anak manusia, dalam mengarungi hidup.  Sebuah cerita, yang membutuhkan tempat lebih, tak hanya sekedar satu postingan saja.

***
Bekasi, 10 November 2013

Nyala lampu taksi menerangi lorong di depan sebuah rumah.  Bulan masih merajai diatas sana, bersahutan suara azan dan kokok ayam.  Tampak tiga anak manusia, sedang bersiap-siap dalam gelap.  Yang wanita melepas kepergian dua sahabat lelakinya.

"Nanti langsung ke Pasar Senen ya Pak, lewat tol Cakung aja,"  Stabilokuning berseru pada Supir Taksi.  "Kalian hati-hati ya di jalan, nanti barang-barang bawaan diliatin, jangan ditinggal sembarangan."  Dipandangnya kedua sahabatnya, sembari kemudian menjabat tangan, satu demi satu.

"Siap bos, perintah diterima dan akan dilaksanakan,"  Sinaga menyahut, sambil menunjukkan sikap hormat selayaknya kepada bendera negara.

"Iya, nanti kita ati-ati kok.  Tampang Sinaga kan lebih nakutin dibanding reman-reman di Jakarta, Ning," gurau Nolkomadua, yang diiringi tonjokan di lengan kanannya.

"Ahaaha, ok deh. Hati-hati ya cuyungs!  Jangan sampe ketinggalan kereta.  Sinaga nanti balik ke Borneonya ati-ati ya.  Nolkomadua, salam buat mbak Arin."

Dan mereka meretas langkah masing-masing.


Credit for:  ACS & AF

Selasa, 03 Desember 2013

Kucing-Kucingan

Merupakan sebuah kondisi yang akan saya gambarkan, yang saya alami sejak beberapa bulan terakhir.

Seperti yang kita tahu, pertengahan semester dua tahun 2013 ini, sejumlah Kementerian Negara serta beberapa Lembaga Tinggi Negara kembali melakukan Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil.  Tentunya, hal ini merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang, saya salah satu diantaranya.  Meskipun saat ini saya masih bekerja di sebuah Perusahaan Swasta, tapi berita ini cukup menggiurkan dan cukup menyita perhatian saya untuk turut serta dan ikut andil di dalamnya.

Setelah mengunjungi beragam situs Kementerian, pilihan saya jatuh pada dua tempat, yaitu Kementerian Keuangan dan Kementerian Sekretariat Negara, lebih spesifik di lingkungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).  Alasannya?  Sederhana.  Karena jumlah formasi yang dibutuhkan di Menkeu cukup besar, 429 Ilmu Hukum; sedangkan untuk LPSK membutuhkan 6 orang Analis Hukum.  Selain itu, kedua Kementerian tersebut tidak terlalu mempersulit peserta dengan beragam persyaratan administrasi yang rumit.  Serta tahapan tesnya pun cukup singkat. Berbekal pengetahuan dan pengalaman seadanya, serta doa dari orang tua saya, saya mendaftarkan diri di kedua Penerimaan tersebut.

Tahap pertama, melakukan pendaftaran secara online.  Apa yang diisi?  Secara umum, sudah dijelaskan oleh panitia penerimaan di masing-masing website.  Saya hanya perlu menyiapkan beberapa scan dokumen seperti Ijazah, Transkrip Nilai, KTP dan pas foto terbaru.  Perlu diperhatikan ukuran dari masing-masing file.  Biasanya ukuran file berkisar pada ukuran ratusan kb.  Khusus untuk Setneg/LPSK, mereka menentukan secara khusus warna latar belakang pas foto.  Untuk penerimaan tahun 2013, warna merah yang mereka pilih.

Alhamdulilah, saya lulus administrasi online.

Setelah pendaftaran online, tahap berikutnya adalah Tes Kompetensi Dasar.  Tahun 2013 adalah tahun pertama dimana jenis tes ini diadakan.  Intinya, kita diminta menjawab 150 soal yang terdiri dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Tes Intelensi Umum (TIU) dan Tes Karakteristik Pribadi (TKD).  Saya lupa rinciannya berapa (sekarang saya lagi di kantor, nyuri-nyuri jam kosong buat ngeblog, contekannya ketinggalan di rumah :p), tapi yang jelas total skor kalo bener semua 500 (confirm nilainya 500).

Tesnya canggih, menggunakan Komputer (namanya Computer Assisted Test).  Jadi, nanti kita duduk di kursi yang telah ditentukan, login dengan menggunakan Nomor KTP dan Nomor Peserta Tes.  Trus, langsung deh ngerjain soal selama hmmm,, 100 menit kalo nggak salah.  Di layar komputer, akan muncul pertanyaan dan pilihan jawaban.  Jangan lupa, untuk menyimpan setiap jawaban yang kita pilih di tiap nomernya.  Takutnya nanti lupa, trus malah nggak keitung udah diisi.  Kalo kamu udah yakin sama jawaban kamu, sebelum 100 menit berakhir kamu bisa langsung "Close" tesnya.  Musti yakin, soalnya begitu kamu Close, kamu nggak bisa lagi relogin, dan nilai kamu bakal langsung muncul dan bersifat FINAL.  Bagaimana jika kamu keasikan ngerjain tes dan tiba-tiba waktunya habis dan tes kamu ke-"Close"?  Jangan khawatir.  Sistem akan langsung otomatis menyimpan jawaban kamu, dan nilai kamu pun langsung muncul.

Dari 3 jenis tes itu, menurut saya yang paling sulit adalah Tes Wawasan Kebangsaan.  Kenapa?  Karena kita harus bisa memanggil kembali ingatan kita tentang PPKN / Kewarganegaraan, serta Sejarah yang kita pelajari sejak bangku SMP sampe SMA.  Bahkan mungkin dari bangku SD.  Tes CAT yang pertama saya jalani adalah tes Menkeu, bertempat di Balai Diklat Pajak, Slipi.  Sesaat setelah login dan membaca soal, saya meringis.  Saya tak tahu, siapakah yang menjadi Gubernur Pertama Provinsi Sulawesi sesaat setelah Indonesia merdeka.  Tebak-tebak buah manggis, asal nebak tapi berbuah manis, saya pilih Sam Ratulangi. Logika saya, bandara di Manado namanya Sam Ratulangi, pasti besar kemungkinan beliau pernah menjabat sebagai Gubernur Provinsi Sulawesi.  Hasil akhir, nilai saya, 311.  Mepet di TWK, benar-benar ambang minimal jawaban tepat, yaitu harus 40% dari total pertanyaan.  Tapi alhamdulillah, masih bisa lanjut ke tahap berikutnya.

Tak mau terjatuh kedalam rasa gelisah yang sama, saya mencoba untuk meningkatkan wawasan kebangsaan saya, dengan cara meminjam buku pelajaran SMA kelas 2 milik adik saya.  Tapi, namanya juga belajar kebut-kebutan, isinya nggak ada yang nyantel sama sekali.  Walhasil, tes LPSK, nilai saya cuma naik beberapa point, 32-an.  Tapi masih untung, dari 300 orang yang lolos dan boleh ikutan Tes Kompetensi Dasar, saya termasuk dalam 18 orang yang berhak maju ke babak berikutnya.

Nah, tes tahap berikutnya, terdapat perbedaan antara Menkeu dan LPSK.

Kalo di Menkeu, tahap berikutnya adalah Psikotes Lanjutan.  Tes berlangsung cukup lama, sejak pagi kira-kira pukul 9 hingga pukul 3 sore.  Di Psikotes Lanjutan ini, saya diminta mengisi Formulir Data Diri, menggambarkan kelebihan dan kekurangan diri, prestasi yang membanggakan dan kekecewaan yang paling dirasakan selama 2 tahun terakhir, disuruh mengerjakan psikotes yang tipenya berbeda-beda, dan dibatasi waktu.  Ada yang tipe disuruh mengingat, menghitung cepat, mencari persamaan/perbedaan, kelanjutan bangun ruang, dan beragam tes lainnya.  Setelah itu, lanjut menggambar Pohon, Orang, melanjutkan menggambar sebuah bentuk (itu lo, yang ada 8 kotak), dan yang paling akhir, kolom koran (saya kurang tahu nama apa nama pasti untuk masing-masing tes itu, mungkin teman-teman dari Psikologi bisa bantu kasih nama tesnya).  Capek, tapi sepadan.  Saya lanjut ke tes tahap berikutnya.

Sedangkan di LSPK, setelah TKD, langsung tes akhir, yaitu Bahasa Inggris dan Wawancara.  Untungnya pelaksanaan tes dilakukan di hari yang berbeda.  Tes Bahasa Inggris adalah Tes TOEFL ITP, panitia dari LPSK kerjasama dengan LIA Pramuka.  Tesnya di Gedung Krida Bhakti, seperti auditorium.  Disana sudah disusun oleh Panitia kursi dengan nomor ujian.  Begitu sampe di lokasi, kami (peserta) cukup dibuat bingung karena harus mencari nama di kursi masing-masing. Saran saya, dengerin instruksi panitia atau langsung tanya sama petugasnya.  Selain itu, yang nggak kuat dingin, bisa bawa jaket yang agak tebal.  Ruangannya cukup dingin.

Terus lanjut lagi tes Wawancara.  Tes wawancara dilakukan sesuai dengan jadwal dari Panitia, dari pagi sampai dengan selesai.  Bertempat di Gedung I Sekretariat Negara, wawancara langsung dilakukan oleh User, yaitu Pejabat eselon I/II.  Waktu saya kemarin, saya diwawancara oleh 2 orang, keduanya laki-laki, ditemani satu notulen.  Yang ditanya, seputar informasi diri yang kita cantumin di Formulir Pendaftaran online.  Terus ditanya seputar subtansi LPSK, sama motivasi masuk LPSK apa.  Dan satu pertanyaan yang tak saya duga, siap tau tidak ditempatkan di luar Jawa.  Nggak begitu lama, sekitar 20  menit, tes selesai, dan saya diperbolehkan pulang.

Nah, tes LPSK sudah selesai sampai disitu, dan sekarang tinggal nunggu pengumuman akhir, yang menurut jadwal akan dikeluarkan di minggu kedua bulan Desember.

Masih ingat dengan tes Menkeu?  Terakhir tadi adalah Psikotes.  Lulus dari Psikotes, saya menjalani tes wawancara, yang dirangkai dengan Tes Kesehatan dan Kebugaran.  Sama seperti tes LPSK, pelaksanaan kedua jenis tes tersebut dilakukan dihari yang berbeda.

Wawancara dilakukan dalam beberapa sesi, dan saya menjalani wawancara Sesi IV, pukul 15.20 s.d. selesai. Berlokasi di Direktorat Jenderal Pajak, saya bersama 19 orang lainnya (total satu sesi 20 orang), melakukan wawancara substansi secara serempak.  Sebelum masuk ke ruangan, kami dibariskan menjadi 2 banjar, mulai dari nomor urut 1-10, 11-20.  Dengan membawa Daftar Riwayat Hidup yang telah dipersiapkan sebelumnya di rumah sebanyak 2 rangkap, serta Formulir lain yang disediakan oleh panitia, kami masuk dan menempati bilik-bilik sesuai dengan nomor kedatangan kami.

Saya menempati bilik the lucky number 13.  Pewawancaranya baik, ibu Yovita dan ibu Ani (insya Allah, saya nggak salah nama).  Mereka bertanya seputar Formulir yang saya isi sebelumnya, yang pada pokoknya menanyakan pencapaian terbesar dan kegagalan terbesar yang saya raih selama 2 tahun terakhir.  Ini tugasnya bu Yovita.  Sedangkan ibu Ani, beliau bertanya berdasarkan daftar pertanyaan yang sudah beliau pegang.  Dengan kata lain, mereka telah memiliki standar pertanyaan.  Daftar Riwayat Hidup hanyalah tambahan informasi bagi mereka, bukan merupakan sumber utama pertanyaan.  Pertanyaan yang dimunculkan, seputar dunia pekerjaan, kuliah, kesuksesan apa yang paling berkesan buat saya, konflik di dalam pekerjaan, manajemen pekerjaan, dan pertanyaan-pertanyaan lain seputar pekerjaan (karena kebetulan saya masih bekerja).  Saat wawancara hampir berakhir, beliau akan meminta kita untuk mengisi Surat Pernyataan bersedia untuk ditempatkan diseluruh Indonesia.  Dan hal ini dikonfirmasi ulang sama beliau.  Kalo saya, sambil tersenyum saya menjawab, saya bersedia untuk ditempatkan di seluruh Indonesia.  Mengenai masalah kesiapan, pastinya saat itu juga belum siap 100%, tapi kesiapan itu bisa dipupuk seiring dengan sifat profesionalisme saya.  Terakhir, beliau akan meminta kita untuk mendeskripsikan diri kita selama 1 menit, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kita miliki.  Setelah setengah jam (mungkin lebih), saya keluar dari bilik wawancara.

Berikutnya, tes kesehatan dan kebugaran.  Jadwal saya, pelaksanaannya dua hari setelah wawancara, berlokasi di Diklat Bea Cukai, Rawamangun.  Tes kesehatannya si biasa, standar.  Tinggi badan, berat badan, detak jantung, tekanan darah, mata, sama mungkin perut diraba-raba dikit sama ibu Dokter.  Nah, tes kebugaran ini yang berat.  Berdasarkan pengumuman tahap kesehatan kebugaran, saya tahu bahwa nanti kami akan disuruh berlari selama 12 menit, dilanjutkan dengan suttle run (lari angka 8).  Saya, yang paling males namanya olahraga, tentu gentar.  Sehingga setelah pengumuman, saya langsung latihan lari di treadmil.  Lumayan, bisa lari nonstop 15 menit, walau jaraknya nggak jauh-jauh banget.  Jadinya, saya pede pas mau lari.  Eh ternyata, pas giliran kelompok saya lari (kita ber10, 4 cewek 6 cowok), matahari sudah hampir dipuncak kepala, jam sudah menunjuk pukul 10.35 WIB.  Dan kami harus berlari mengelilingi lapangan bola di stadion Bea Cukai, Rawamangun.  5  menit berlari, saya nggak sanggup.  Saya jalan, terus lari, terus jalan, terus lari, terus jalan, dan akhirnya saya paksakan berlari hingga pluit tanda 12 menit telah berakhir.  Saya bersyukur, sekaligus sedih.  Bersyukur karena siksaan tersebut berakhir, sedih karena saya  nggak bisa lari nonstop seperti yang saya targetin.

Kemudian, setelah rehat sebentar, kami lari membentuk angka 8.  Panitia sudah menyediakan 2 lintasan, masing-masing berjarak sekitar 7-10 meter, dengan dua buah bendera sebagai patokan untuk berputar.  Setelah briefing, dan standar waktu dari Panitia (19.8detik kalo nggak salah), kami berlari bergiliran.  Yah, lumayanlah.  Nggak pake tergelincir, cuma nggak tau waktunya berapa.

Demikianlah pengalaman saya, main kucing-kucingan.  Loh, kucing-kucingan?
Soalnya, selama pelaksanaan rangkaian tes tersebut, saya maen kucing-kucingan sama orang kantor.

Registrasi ulang LPSK:  saya izin setengah hari.
TKD LPSK:  saya izin setengah hari.
Tes TOEFL LPSK:  saya izin setangah hari.
Tes Wawancara  LPSK:  saya izin setengah hari.

Registrasi ulang Menkeu:  saya izin setengah hari.
TKD Menkeu:  saya izin setengah hari.
Tes Psikotes Lanjutan Menkeu:  saya cuti.
Tes Wawancara Menkeu:  saya izin setengah hari.
Tes Kesehatan Kebugaran Menkeu:  saya cuti.

Kenapa dari 7 kali tes, saya cuma cuti dua hari?  Pertama, karena cuti saya udah lumayan banyak yang saya pake.  Entah buat liburan, atau ikutan tes Bank Indonesia (disini saya cuma sampe tahap Psikotes Lanjutan sama FGD doang).  Kedua, lebih efisien.  Kalo cuma izin setengah hari kan, itungannya tetep ngantor, jadi nggak dipotong cuti ato potong gaji (kalo cutinya udah abis).

Yang sulit adalah, ketika harus mengajukan Leaving Desk Form ke pak Bos.  Mulai dari alasan sakit, kereta terlambat, kesiangan bangun, nganter ibu medical check up, sampe ke alasan sakit lagi.  Pak Bos mungkin udah mulai curiga ya, tapi beliau si nggak pernah nanya apa-apa.  Pokoknya, sejauh ini aman dan nyaman.

Well, demikian pengalaman saya kucing-kucingan selama beberapa bulan terakhir.  Sekarang, sudah lewat pukul 6 sore.  Saya sedang menanti pengumuman Menkeu, yang dijadwalkan muncul besok, tanggal 4 Desember 2013.  Sedangkan untuk LPSK, di minggu kedua bulan Desember.  Semoga saja, apa yang saya dapatkan akan sesuai dengan apa yang saya inginkan.  Jika memang tidak, semoga saya bisa dengan legowo menerima apa yang saya dapatkan tersebut.  Karena pada dasarnya, apa yang saya dapatkan adalah kombinasi dari semua pengorbanan yang sudah saya berikan (terlepas cukup atau tidak cukup), serta suratan dari Yang Kuasa.  Yang tentunya, adalah sesuatu yang sudah pasti saya butuhkan.

Doakan saya ya teman!

Note:  sekarang tanggal 4 Desember 2013, ada pengumuman dari Menkeu, P-16.  Perut saya sudah mencelos, mules-mules.  Eh ternyata, penundaan pengumuman akhir. :p  Jadinya masih bisa berdoa lebih kenceng lagi dari yang sebelumnya.