Kamis, 14 September 2017

Bersyukurlah

Berawal dari sebuah mimpi dan cita-cita untuk menjadi seorang pengusaha, walaupun saat ini kedudukan masih sebagai PNS aktif, setahun belakang aku coba menggali skills sampingan yang sekiranya terpendam. Mulai dari sesuatu yang memang gemar ku geluti 2 tahun terakhir sembari menjadi seorang istri (baca = memasak), mencoba menuangkan ide-ide cerita kanak-kanak yang bersliweran di kepala dalam bentuk cerpen, hingga menguji keberuntungan di dunia jual beli.

Khusus untuk yang terakhir ini, coba aku tekuni semenjak 3 bulan terakhir.  Didukung dengan kondisi kantor yang memang jadwal terbangnya tinggi, ku coba melobi suami untuk menggelontorkan dana yang bisa dibilang lumayan di bisnis kecil-kecilan ini.  Bisnis apa rupanya selain jasa penyediaan tiket pesawat (baca = agen).

Berbekal segepok uang dan akun travel milik teman (yang dulunya sempat aktif berkecimpung di dunia ini), berpetuanglah aku di sebuah dunia yang baru.

Pada intinya, akun travel milik teman tersebut menginduk ke sebuah Travel Agent yang cukup ternama di sebuah kota pelajar.  Proses pembelian tiket pesawat serupa dengan proses pembelian tiket pesawat pada travel online yang sudah ternama.  Bahkan, harganya pun sebagian besar sama.  Jika ada yang berbeda, paling banter dalam hitungan ratusan rupiah.  Bedanya, atas pembelian tiket pesawat melalui akun travel tersebut, si agen mendapatkan keuntungan dari harga jual tiket pesawat.  Nominalnya?  Bervariasi, masing-masing maskapai punya kebijakan berbeda tentang besaran % keuntungan buat agen.   Apakah signifikan?  Yah,,,,, ndak perlu rasanya tak tulis disini karena hanya akan membuat yang  membaca ngelus dada (sangking ngenesnya 😂) 

Singkat cerita, muncul ide jail di kepala.  Pingin kaya mendadak, aku coba-coba lontarkan sejumlah ide gila.  Gimana kalau keuntungannya di tambah?  Ndak usah terlalu besar, kisaran 5 digit per tiket juga sudah bikin hidung kembang kempis membayangkannya.  Tapi masalahnya, apa mungkin hal ini bisa dilakukan?  Mengingat e-ticket dikirim ke email pelanggan (atau emailku sebagai agen ) langsung dari maskapai masing-masing, lengkap dengan rincian base fare, tax, dll.  Begitu juga dengan invoice, langsung di-generate oleh sistem (karena memang Travel Agent ini sudah cukup ternama), lengkap dengan kode-kode unik sebagai komponen nomor invoce, plus ada barcode pula.  Huaaa, ya nggak mungkin bisa berkutik lah ya..

Akhirnya, setelah membunuh ide-ide gila itu, aku niatkan untuk praktik jual beli seadanya.  Biarlah untungnya sedikit, pun lama-lama akan menjadi bukit.  Yang penting aman dan nyaman, tanpa ada tindakan kriminal berupa penipuan (catet, kutak-katik dokumen kan bisa dikenakan pasal penipuan).  Meskipun setelah dihitung-hitung, keuntungan yang aku peroleh hanya sekitar 1.2% dari total modal yang ku pasang, itu pun harus menunggu sekitar 2 bulanan ketika uang SPPD cair.. Hikss..

Tak mengapalah, karena sesungguhnya rejeki dari Allah itu nyata adanya.  

Sekitar sebulan sejak transaksi jual beli berakhir (dan modal belum kembali, kentungan apalagi), Travel Agent yang aku gunakan mengadakan promo gratis biaya pendaftaran.  Kalau kondisi normal, biaya pendaftaran keagenan bisa dibilang cukup wow, senilai TV LED 32".  Segera saja promo ini aku eksekusi, setelah sebelumnya memperbaharui izin dari suami.  

Alhasil, sekarang aku sudah resmi menjadi agen, dengan spesialisasi perjalanan dinas.  Sedangkan untuk keperluan pribadi, boleh lah dikasih kelonggaran pelunasan cicilan s.d. 2 minggu setelah tanggal keberangkatan 😎

"Bener kan, kalau rejeki emang nggak bakal kemana..  Coba hitung-hitung, nominal gratisan yang kamu dapetin itu pasti sebelas-dua belas sama nominal yang nggak jadi kamu dapetin dengan cara yang nggak bagus," celetuk rekan kerjaku siang tadi, seolah menyentilku yang tak jua peka akan kebesaran Illahi..

Rabu, 13 September 2017

Malaikat yang Terlihat

Belum lagi mulai menulis, sudah menitik air mataku.  Betapa tidak, judul postingan ini sudah ku simpan selama hampir dua tahun lamanya, teronggok sepi di sudut terjauh yang lama tak ku jamah.  Padahal seyogyanya, tulisan ini hendak ku persembahkan kepadamu Ibuku tercinta.

Berawal dari obrolan santai sembari bersantap di suatu siang, saat itu rekan kerjaku bercerita bahwa ia baru saja mengunjungi putri tercintanya yang sedang menimba ilmu di suatu pesantren.  Dengan berbekal buah tangan berupa makanan kesukaannya, cukup membuat putrinya itu berkata, "Ibu tau, buatku, ibu benar-benar sesosok malaikat yang terlihat".

Sontak, mendengar perkataan seorang anak usia 14 tahun seperti itu, serasa menampar pipiku.  Di usiaku yang kala itu yang seharusnya sudah cukup dewasa dalam menggunakan akal pikiran, belum mampu menggelitik kepalaku hingga berpikir, betapa agungnya sosok Ibuku.

Benar adanya, Ibu merupakan sesosok yang tak kan terganti.  Dengan rahim hangatnya, memberikan tempat gratis bagiku untuk berlaku dan bertindak selayaknya parasit, menggerogoti dan menghisap sari-sari makanan semampu yang aku bisa, selama 9 bulan lamanya.  Dengan dekapannya yang hangat, senantiasa memberikan rasa aman dan nyaman hingga aku tak lagi larut dalam isak tangis tanpa sebab.  Dengan kesabaran tiada tara, tak pernah bosan menuntun dan mengarahkan langkah yang akan aku ambil, sehingga sebisa mungkin aku terhidar dari kerikil-kerikil dunia.  Dengan untaian doanya yang tanpa putus, memberikan perisai maha dasyat sebagai modal ku melanglang buana dengan seijinnya.

Ibu, sungguh dirimu adalah malaikat yang terlihat.  Sesosok yang demikian mulia, yang sayangnya terkadang belum mampu ku muliakan.


Selasa, 12 September 2017

Count Your Blessings

Last Friday, I attended a meeting called Kajian Keputrian Masjid Salahuddin.  The speaker was someone who works in psychology field.  She often takes care of cases related to women's problems, such as married problems or even domestic violance.

The point of her lecture was, that us, every single of us, is entitled to be happy.  And when should happiness come?  Or when should we be happy?  Is it something a head of that we need to achieve with some struggle in which brings some unhappiness?  Or is something that determined by others using parameters commonly used by them?

The answer is, right now. Right this second.  Right this momment.

How?

By counting your blessings..

For the last 27 years of mylife, I believe that I've been showered with such tremendous love from the Almighty God, Allah SWT.  Allah always gives me something that I definetaly need, not only that I want.  Allah gives me such great parents who is willingly to give everything they have for me as their children.  Allah gives me great sisters who up until now never put my parents in misery for being a bad children.  Allah gives me clear path in every single step that I took in mylife.  Including in meeting you.

You are one of my greatest blessing that Allah gives to me.  Being your wife is such an honour for me, because if I succeed, it makes me getting closer to Jannah.

I'm happy for being your wife, since I'm very greatful for having you as Allah's blessing.

We deserve to be happy for who we are now.  Why?  Because it's one of our way to be grateful of Allah blessing.

12.09.2015 - 12.09.2017