Kamis, 31 Desember 2015

Telah Cukupkah?

Tahun 2015 telah berlalu.  Tak rela rasanya melepas tahun yang sangat luar biasa itu, mengingat betapa banyak yang terjadi dalam selang waktu 355 hari tersebut.  Dimulai dari hari pertama di bulan Januari, hingga hari terakhir di bulan Desember.

Di tahun 2015, saya resmi diangkat Pegawai Negeri Sipil.  Mengemban titel sebagai abdi negara, sudah sepatutnya saya memberi sumbangsih kepada negara, semampu yang saya bisa.  Meskipun hanya sekedar pikiran yang disertai tenaga seadanya, sembari memaklumkan diri sebagai seorang abdi baru, yang masih perlu banyak belajar. 

Sejumlah tugas telah terlaksana, dengan beragam hasil.  Cukup baik, baik, memuaskan.  Yah, meskipun itu hanya penilaian yang saya sematkan sendiri.  Setidaknya, tugas terbesar di tahun tersebut sudah selesai dikerjakan, atau tepatnya "akhirnya disahkan" oleh pihak yang berwenang, pimpinan tertinggi tempat saya bekerja.  Penghujung tahun menjadi hari yang sangat saya nanti, hari pengesahan tersebut.  Yang paling utama, tugas besar tersebut tidak menjadi PR untuk tahun berikutnya.

Di tahun 2015, saya melepas masa lajang saya, dengan seorang laki-laki bernama Reza Fauzi.  Kisah kami dimulai ketika mulai pacaran di bulan Januari, lamaran bulan April, dan mengucap ijab kabul di bulan September.  Langkah yang sangat cepat, hanya 9 bulan berselang sejak pertemuan pertama di bulan Desember 2014.

Rupanya, singkatnya waktu yang kami butuhkan itu, tak lepas dari untaian doa dan pinta yang senantiasa dipanjatkan ibunda tercinta.  Beliau bercerita, bahwa ibu menginginkan saya tidak berlama-lama pacaran, cukup 2-3 bulan, lalu dilamar.  Tak dinyana, doa ibu dijabah Yang Kuasa.  3 bulan setelah pertama bertemu, mas Reza menyatakan keseriusannya, yang kemudian mendatangkan keluarga besarnya.  Tanpa berlama-lama, janur kuning pun melengkung di pelataran rumah.  12 September 2015 tepatnya, yang dilanjutkan berupa resepsi di hari berikutnya.  Alhamdulillah..

Di tahun 2015, Ayah kembali ditugaskan di lapangan.  Bertempat di LP Paledang Bogor, ayah pun beralih tugas serta tempat tinggal disana, bersama Ibu, yang senantiasa menemani.  Senang rasanya, melihat Ayah kembali dapat bekerja sesuai dengan keahliannya.  Bukan berarti selama beberapa waktu lalu di Kantor Pusat Ayah tidak bekerja optimal.  Beliau tetap profesional seperti biasa.  Hanya saja, sepertinya beliau lebih cocok ditempatkan di lapangan.  Selain itu, Ibu pun kembali memiliki sejumlah aktivitas, bersama ibu-ibu yang lain.  Tidak seperti selama ini di rumah Galaxi, tanpa aktivitas yang berarti.

Berita bahwa Ayah dipindahtugaskan ke Bogor, hanya berselang 6 hari sejak hari pernikahan saya.  Sungguh suatu berkah dari Yang Maha Kuasa, yang kembali menjabah doa Ibu. Ya,, rupanya tak putusnya Ibu meminta, agar saya dipertemukan dengan jodoh saya, baru kemudian Ibu akan dengan tenang meninggalkan saya di rumah Galaxi untuk bisa menemani Ayah.  Alhamdulillah..

Yang menjadi pertanyaan, telah cukupkah saya berterimakasih kepada Yang Kuasa? Atas segala nikmat dan karunianya?

Telah cukup giatkah saya dalam mengabdi kepada ibu pertiwi?  Menyingsingkan lengan baju untuk berkontribusi kepada negeri?  Menimba ilmu yang tak pernah habis agar dapat diaplikasikan dalam bekerja sehari-hari?

Telah cukupkah saya dalam mengabdi kepada suami?  Mendampinginya dalam cita dan lara?  Menutupi kekuranganya dan membanggakan kelebihannya? 

Telah cukup berbaktikah saya dalam mengabdi kepada Ayah dan Ibu?  Menaati semua perkataan mereka?  Menjaga hati dan perasaan mereka?  Membahagiakan mereka? 

Semoga, apa yang sudah saya perbuat sepanjang tahun 2015 sudah membuahkan suatu kecukupan.  Jika pun belum, saya sudah berbuat semampu yang saya bisa.  Untuk mencukupkan diri, di tahun 2015.

Dan kini, 2016 harus menjadi tahun yang lebih baik ketimbang 2015.  Agar diri ini tak hanya sekedar cukup, melainkan lebih dari cukup.  Semoga..

Selasa, 23 Juni 2015

Memilih Untuk Dipilih

Wanita itu, kodratnya untuk dipilih.  Kata orang.  Jadi, wanita itu tidak perlu repot-repot pontang-panting kesana-kesini nyari jodoh.  Cukup duduk manis dan menunggu datangnya sang kekasih pujaan hati.  Oh really??? 

Saya sebagai salah seorang wanita, kok yo ndak sreg sama "kata orang" diatas.  Wanita terkesan pasif, tidak berjuang apa-apa untuk kehidupan cintanya.  Kalo saya pribadi mah, kodrat wanita untuk dipilih itu tidak 100% tepat.

Selama 26 tahun saya mengembara di muka bumi ini, 10 tahun sudah saya habiskan dalam memilah lelaki yang menurut saya pas untuk berada di samping saya. Hahai, "memilah", indah sekali bahasa saya.  Iya, memilah.  Begitu banyak lelaki bertebaran di muka bumi ini.  Setidaknya, dengan posisi saya saat ini, saya punya nilai jual sehingga saya tak semata-mata dipilih oleh lelaki.

Saya memilih untuk dipilih.  

Yap, proses pemilahan yang saya lakukan, bukan dalam rangka saya ingin mengejar lelaki tersebut.  Menghamba dan mengiba kepadanya, agar mau menerima saya menjadi pendamping hidupnya.  Tidak.  Proses pemilahan yang saya lakukan, lebih kepada proses awal saya mengenal "calon-calon" saya.  Kadar keimanannya, kepribadiannya, pemikirannya, pengetahuannya, tingkah lakunya, tutur katanya, perbuatannya...  Saya tidak memandang mereka sebagai mangsa, melainkan lawan main dalam kehidupan kini yang kelak mungkin akan saya gandeng 'tuk menjadi teman hidup.

Ketika saya sudah menemukan "calon" yang memiliki potensi baik, saya pun memilihnya.  Ingat, tidak lantas dengan memilih, saya mengejar-ngejar dan menyatakan cinta padanya.  Langkah selanjutnya, saya akan lebih membuka diri padanya, membuka sebuah kemungkinan untuk berjalan bersamanya.

Sejauh ini, cukup banyak lelaki yang terjaring dalam magnet saya, lelaki yang telah saya pilah dan dengan yakin saya pilih untuk memilih saya.  Namun, yang namanya belum berjodoh, sejumlah lelaki tersebut  justru hengkang dari pandangan saya.  Entah menjauh dengan sendirinya, atau saya buat menjauh karena ternyata saya tak lagi memilih untuk dipilihnya.  Kecewa, tentu.  Tapi bukan berarti saya harus larut dalam kesedihan mendalam yang tak berkesudahan.  Justru saya jadi lebih banyak belajar tentang karakter yang saya pilih, maupun karakter saya untuk dipilih.  Berharap, ketika lelaki pilihan itu datang, tak perlulah waktu yang lama untuk saya bisa menentukan bahwa saya memilih untuk dipilih dirinya.

Hingga akhirnya, ketika saat itu tiba.  Saya memilih untuk dipilih olehmu.  Lelaki baik hati, yang rasanya tak perlu saya sebut namanya disini.


Kamis, 18 Juni 2015

Fast Forward in Love

From my last post (excluding Marhaban Ya Ramadhan) on Jan 15, I've stopped writing for more than 5 months.  I don't know what exactly causing me being so lazy.  Maybe I was distracted by something so interesting making me can't take my eyes off him.

On the last 5 months, many things happened.  I met someone.  Well, introduced to be exact.  Then I dated him.  Then he proposed, asked me to marry him.  Then I'm engaged with him. And now, I'm preparing a wedding with him, my biggest upcoming event which about to be happened in couples of months.

You know what, it's like fast forward in love.  It only took a month to ensure me that he's a right guy to date with.  It only took 3 months to ensure me accepting his wedding proposal.  It only took 4 months to have ring on my ring finger.  And it's only several months to go before I officially become a Mrs.

I'm glad, very glad for his coming in my life.  To end my loneliness.  To complete my lacking of.  To complete my faith.  To start a new chapter in my life. 

I'm glad, very glad for his coming in my life.  The one who has a better point of view in everything.  The one who has a very open mind.  The one who is very patiently in listening every single story that I'm telling about.  The one who corrects me gently.  The one who cares about me so much.  The one who probably I can't live without.

I really look forward days after days to be spent with him.  Live with him.  Grow old with him.  Have fun with him.  Travel with him.  To become a family with him.


with you, for the rest of my life


Rabu, 17 Juni 2015

Marhaban ya Ramadhan

Well, tulisan ini adalah tulisan yang pertama aku buat sejak,,, entahlah.  Padahal diawal tahun, niat untuk menulis sangatlah menggebu.  Tapi apa daya, rasa malas yang rasanya tak berkesudahan senantiasa mampu mengalahkan niatan baik itu.  Ditambah lagi dengan sejumlah kesibukan disana sini, yang tak pelak membuat aku semakin malas untuk menulis.  Alasan klise sebetulnya.  Namun tak apalah.  Toh sementara ini aku menulis karena inginku sendiri.

Malam ini, penghujung bulan Sya'ban 1436H.  Di saat umat muslim beramai-ramai menuju ke mesjid untuk menunaikan ibadah shalat Tarawih, aku masih terfokus untuk sampai di rumah.  Sembari berharap, masih sempat mensejajarkan kaki di tengah barisan makmum.  Semoga.  Andaipun tidak, tak mengapalah jika ku hamparkan sajadah di dalam kamar.

Di awal Ramadhan ini, pantas kiranya bagi kita, aku lebih tepatnya, untuk kembali merenungkan yang telah lalu.  Merenungkan tentang betapa banyaknya nikmat Tuhan yang dilimpahkannya padaku.  Atas nikmat sehat.  Atas nikmat selamat.  Atas nikmat rejeki.  Atas nikmat cinta dan kasih sayang.  Atas nikmat usia.  Atas nikmat selamat. 

Namun sesungguhnya, bertemu kembali dengan bulan Ramadhan adalah nikmat yang tak bersudahan.  Untuk dapat kembali berlomba-lomba menunaikan perintah-Nya, dengan mengharap Ridho dan surga-Nya.

Semoga, pertemuan dengan Ramadhan kali ini tidak menjadi suatu kesia-siaan belaka.  Tak hanya sekedar mendapat lapar dan dahaga.  Tak hanya sekedar melawan hawa nafsu.  Tak hanya sekedar mengalihkan jadwal rutinitas sehari-hari.  Melainkan menambah amalan kita, mempertebal iman dan takwa kita.  Sembari berdoa, kiranya dapat dipertemukan lagi dengan Ramadhan-Ramadhan berikutnya.

Marhaban ya Ramadhan..

Kamis, 15 Januari 2015

Setahun Berselang

15 Januari 2014

Ketika itu, aku anak baru.  Clingak-clinguk di tempat yang terasa awam bagiku.  Jam menunjukkan pukul 7 ketika ku jejakkan kaki di tempat itu.  Lantai 17 sebuah gedung bertingkat, yang dihiasi ornamen-ornamen sederhana layaknya perkantoran pada umumnya.

Dipertemukanku dengan 9 pemuda/pemudi seusiaku, yang kelak tak ada pernah ada putusnya mengisi sebagian besar hariku.  Sekumpulan manusia baik, dipenuhi keragaman sifat nan apik.  Meskipun sikap itu tak lantas muncul di muka, namun tak pula terlambat aku menyadarinya.  Untungnya.

Sedari awal aku putuskan, akan ku gelarkan mereka sebagai para sahabat.  Yang tak hanya kubutuhkan ketika aku dipanggil atasan.  Yang tak hanya muncul ketika dilaksanakan rapat-rapat koordinasi dan pembinaan.  Yang tak hanya bertegur sapa sebatas senyum dan anggukan kepala.

Ya, mereka tak hanya sebatas itu saja.  Dengan merekalah aku berbagi suka.  Dengan merekalah aku mengurangi duka.  Merajut mimpi bersama, merangkai asa, tuk senantiasa mengabdi pada negara tercinta, Indonesia.

***

11 Agustus 2014

Kali itu, aku kembali menjadi anak baru.  Lantai 9 gedung yang sama, tanpa 9 pemuda/pemudi kesayangan ada di sisiku.  Masing-masing ada di tempat yang baru.  Sebagian masih dalam jangkauan pandanganku, sebagian di tanah yang baru.  Sumpah setia sebagai abdi negaralah yang mencerai-beraikan raga kami.  Sumpah yang telah terucap pada sebuah institusi yang mempertemukan kami.

Sedih? Tentu sedih.  Namun, tak perlu rasanya ku tunjukkan rasa sedih yang tak kunjung bergeming dr benakku, yang terus memicu ingatanku akan mereka disana.  Sebab aku yakin, kiranya jalan inilah yang terbaik untuk masing-masing diri kami.

Ku putuskan, ku kembali mencari pemuda/pemudi baru, yang setidaknya dapat mengisi hari-hari ditempat baruku. Walau tentunya, tak dapat pemuda/pemudi baru ini menggantikan kesembilan pemuda/pemudi baik para sahabatku tersebut.

Keseharian tanpa mereka, tak menyurutkan derap langkahku di tempat baru.  Sembari senantiasa berdoa, agar sesekali diperkenankan bertemu kembali.  Dalam sejumlah moment bahagia, yang terkadang diselingi awan duka.  Sebagaimana yang telah digariskan oleh-Nya, untuk kami tekuni, jalani, nikmati.

***

15 Januari 2015

Setahun telah berganti sejak pertama kalian kukenali.
Setahun telah berlalu sejak ku rapal nama kalian satu persatu.
Setahun telah terlewat sejak ku kukuhkan kalian sebagai sahabat.
Setahun telah terlampaui sejak kalian mewarnai hari-hari.
Setahun telah berselang, menanti kehadiran tahun-tahun yang akan datang.



Kamis, 08 Januari 2015

Standing in My Own Shoes

Disclaimer.
Just a thought. I do apologize for those feeling offended by this thought.

***

I'm the eldest daughter of 3 in my little family.  Thus, everything that I say or do, mostly shall be followed by my sisters.  In other way, I'm such a role model for them.

Being the eldest one, and being raised in such a discipline environment, made me become such an independent humanbeing.  I don't use to rely on others.  If I have a chance or ability to do something, I'll do that by myself.  And I'll do that hard. *with an exception wich is eating outside and watching a movie in theater.  Hell no, I can't do that alone by myself. 

This habit is carried in every part of my life.  Including my romance life.  I use to take responsibility of my own thing, or split a joined responsibility in justice.  For instance.

When I go shopping with my.., just consider my partner, I'll take my shopping bags and my handbag by myself.  Unless I feel overwhelmed by my shopping bags, I'll take care of all of it by myself.  You know, I feel bad for guys carrying his girl's handbag.  It's just not right, I think.  And I won't let him to do so, unless for several of my shopping bags.

When we go for brunch, lunch or dinner, I'll pay for myself.  It doesn't mean that every time we eat, we shall split the bill on the spot.  We'll alternately pay for the meal.  Once for me, once for him.  It also works on watching movies, or karaoke, or buying stuff I wanted or needed, or other activity consuming money.  I mean, I have a work now, and I've earned money for living.  Besides, I know how much money does it cost to be spent on my expenditures.  I may not conduct something that I can't afford to.

I'm not saying that I want my partner to let me do everything by myself.  Of course I love being showered by attention, affection, or understanding from my partner.  But as long as I know that I'm still able to bring my own handbag or pay my bill, I'd prefer to do so by myself.

I know what size of shoes that I use, that fits me like a glove.  And as long as I could, I'll work my ass-off, to be standing in my own shoes.


Jumat, 02 Januari 2015

Turn Back in Time

If you were a cast in a movie as Aladin, and had Genie who will grant a specific wish, which is turning back in time, will you take that wish? 

If I were you, I won’t.  No matter how bad I was in my behavior or my decision, I will never exchange my current condition with anything.  Why?  Does it mean that I don’t have something I regret?  Am I really satisfied with my life? 

Well, it’s a tricky question.  Yes, I do have something I feel regret about.  But that doesn’t mean that I’m not satisfied with my life.  Because I belief that everything happened in my life, was happened for a reason, for so many reasons in fact.  I would never exchange every stories of my life happened in 2014: even for a tiniest part of it; even for a better version of it.  Why?  Because I had those stories as a result for what I’ve given in the entire year, extended with the previous year.

It’s not a big secret that started from January 2014, I officially joined one of the best Ministry in Indonesia.  I’ve been working in Directorate of General Taxes since then, with the following consequences: being assigned for the internship period and for definitive placement (for the next several years) in Jakarta; met and being surrounded by so many great people, some became my best-friends; had a Pra-jabatan training, DTU and DTSD, which tested me in physically and mentally, in leadership and knowledge.  Having those experiences, I simply can ask for no more.  All the hard work I've given on 2013 during the open recruitment process was paid off.  I've worked my ass off for God's sake.

Through the year, both of my younger sisters had their own achievement.  One of them graduated from Faculty of Medicine on late February, and now is having her internship (co-as) in Semarang and Wonogiri; fulfilled my parents biggest dream, which was to have a humble doctor in my family. While my youngest sister, she succeed registering herself as one of Yogyakarta’s residence, just like two of her sisters, by entering Faculty of Law, Gadjah Mada University.  Even though those were not my own achievement, I felt proud of them, and considered that as something that I won’t exchange for anything, bearing in mind that they had sacrificed blood and tear to reach what they've achieved now.

Having my family health in a good condition throughout the year, was something I should be grateful for; to see my Mom, Dad, and my sisters made a wish and blow some candles on their birthday cake without any meaningful illness in their body and soul.

Year of 2014 was also filled with two journey with my Golden Weekend Team, up hill to Baduy Dalam, and down hill to Ujung Kulon.  And as a bonus, even several of its member got married, which happened like a domino, one triggered to another, which the total members to get married were 3 of it.  Such a wake up call for the rest.  In which, led me to another thing to be grateful for.

As my age got older in 2014, meeting some people coloring my day made me realize of what I’ve missed from my college period: that it’s not right to see them solely in one point of view; that each of them had their own kindness and goodness, which was supposed to be easily noticed and loved, including you, the one who considered me as a Mango.

Yes, it’s true that sometime in my 2014, there were some bad moments.  But hey, who don’t?  As long as we manage to deal with it, whether by ourselves or along with companion from people around us.  Just put our head up high, and we should thank God for it.  Those bad moments shall make us become stronger than we think we are.

And this is the conclusion of my New Year post.  I'm gonna say it out loud.

I love my 2014, and I won't change anything of it. So, I don't need any Genie.

I’m here for who I am, for who I was and for who I’ll become.

Thus, welcome 2015, and good bye 2014.