![]() |
| Jakarta, 24 Maret 2014, 06.20 wib |
Ini adalah pemandangan
yang lazim saya temui setiap pagi (dan sore) hari, hari Senin hingga Jumat, dan
terkadang hari Sabtu dan Minggu. Yap,
inilah Jakarta. Ibukota negara tercinta. Kota dengan segala fasilitasnya (yang katanya
terlengkap di Indonesia). Kota dengan
gedung-gedung pencakar langitnya. Kota
dengan berjuta mimpi. Kota dengan
berjuta janji.
Sejujurnya, saya cukup
lelah mengadu nasib di kota ini. Selaku
warga Bekasi Selatan (alias Jakarta coret, karena rumah saya tinggal tidak
terlalu jauh dari ibukota), setiap harinya, saya dan banyak pekerja lainnya yang
tinggal di luar kota Jakarta, wajib meluangkan waktu kurang lebih 2 hingga 4
jam untuk dapat dihabiskan dalam perjalanan.
Dalam kondisi tertentu, semisal hujan lebat yang mengakibatkan banjir
disana sini serta berimbas pada kemacetan lalu lintas, atau pengalihan jalan
yang diakibatkan satu dan lain hal, 4 jam tidaklah cukup. Maka, minimal 1/6 dari total hidup sehari saya
dan pekerja lainnya tersebut, dihabiskan dalam posisi diam, sembari kepala
terkulai kesana-kemari, terkantuk-kantuk mengikuti goyang kendaraan.
Miris memang. Padahal, kata orang, time is money. Tapi apa mau
dikata. 4 jam itulah waktu tambahan yang
harus kami korbankan, untuk mendapatkan pendapatan. Sehingga sebetulnya, total jam kerja yang
kami luangkan setiap harinya selama 4’+8’15”=12’15”, jauh melebihi ketentuan
dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, yaitu 7’x6 HK/minggu, atau 8’x5HK/minggu.
***
Yah, perhitungan diatas
hanyalah akal-akalan saya saja sih.
Hitung-hitungan diatas hanyalah pembenaran atas rasa lelah yang saya
dera selama hampir 3 tahun terakhir. Pembenaran
yang tiada berujung, jika saya menjalani roda kehidupan saya tanpa rasa syukur
atas nikmat yang Kuasa.
Seperti yang pernah saya
utarakan dalam Rat Race, maupun tulisan-tulisan lainnya, hidup itu harus penuh
syukur. Oleh karenanya, saya akan coba
memusatkan perhatian saya untuk tidak lantas terkungkung dalam rasa lelah ini.
Pertama, bersyukurlah
anda Anak muda, masih diberikan kesempatan untuk bekerja tanpa henti selama 3
tahun terakhir. Artinya, sejak anda
diberikan gelar sarjana di bulan Mei 2011, anda diberikan kemudahan dari yang
Kuasa untuk langsung bekerja di bulan berikutnya, Juni 2011. Bahkan sampai detik ini, tak satu haripun
anda berstatus seorang pengangguran.
Camkan itu anak muda.
Kedua, bersyukurlah anda
menjalani hidup di Kota Metropolitan, bahkan Megapolitan. Anda tak harus bersusah payah hidup dalam
keterbatasan sarana transportasi, komunikasi, akomodasi, dan konsumsi. Semua serba tersedia, semua serba lengkap. Camkan itu anak muda.
Ketiga, bersyukurlah anda
tidak memiliki kekurangan suatu apapun.
Anda masih memiliki ayah bunda, serta dua adik tercinta. Anda masih diberikan nikmat sehat, secara
jasmani dan rohani. Anda tidak buta,
secara jasmani dan rohani. Sehingga anda
tidak berhak melihat hanya dari segi buruknya saja, tanpa bahkan melirik pada
sisi baiknya. Camkan itu anak muda.
Selanjutnya, bersyukurlah
pada semua yang anda miliki, apa yang anda akan miliki, dan apa yang anda tidak
miliki. Yakinlah, setiap titik yang anda
pijak, memiliki alasan tertentu, dan akan membawa anda ke titik selanjutnya. Sungguh, camkan itu anak muda!
***
Yap, disini saya
berada. Lantai 17 sebuah bangunan
bertingkat. Dengan nyaman, duduk di
depan layar komputer, lengkap dengan segala perabotnya. Ditemani sejumlah manusia-manusia baik, yang
akan memandu saya dalam membangun diri.
Dan keluh kesah ini, saya akhiri sampai disini.
![]() |
| Jakarta, 24 Maret 2014, 08.10 wib |





