Jumat, 20 September 2013

kisah manis (yang terungkap) di hari Selasa


Tiap hari yang kita lalui di dunia, bukannya tanpa makna.  Setiap langkah yang kita tempuh, setiap keputusan yang kita ambil, tidaklah hanya akan berlalu begitu saja.  Pasti ada hikmah dan maknanya.  Meskipun tak lantas kita sadari dalam hitungan detik.  Terkadang perlu hitungan hari, bulan, bahkan tahun.  Dan semakin hari, semakin saya sadari hal ini.  Seperti hari ini.

Serabi Solo is about to get married!

Bahkan hal ini pun saya ketahui sebagai buah dari serangkaian kejadian sebelumnya.

Semua bermula dari proses persiapan berkas untuk pendaftaran salah satu instansi pemerintahan, sebut saja institusi A.  Salah satu berkas yang dibutuhkan, sertifikat TOEFL, yang kebetulan tidak saya miliki.  Kecemasan melanda saya, karena saya ingin masuk dan bekerja institusi ini, untuk membanggakan orang tua saya.  Bahwa saya bisa masuk dan bekerja di institusi pemerintahan hanya bermodalkan diri sendiri.  Namun, bagaimana mungkin saya bisa memenangkan ambisi saya, jika perjuangan saya tak cukup kuat bahkan untuk memenuhi persyaratan administrasi belaka.

Setelah sibuk menelpon sana sini, akhirnya saya temukan satu tempat yang bisa saya ikuti dan hasilnya sudah dapat diambil sebelum tes institusi A dilaksanakan.  Singkat cerita, bersama Serabi Solo, yang juga akan mengikuti tes institusi A, bergegas menuju lokasi untuk mendaftar.  Sepanjang perjalanan Sudirman–Bekasi–Sudirman itulah, sebuah kisah manis terungkap.

Serabi Solo: (nyengir lebar, sembari menunjukkan sebuah laman di
Androidnya, Depok-Bekasi) Opo iki nduk?

Aku: (tertegun, tersipu, lantas tertawa) Ahahahaa, liat juga sampean le.
 
Serabi Solo: Haha, tadinya si aku cuma baca Sedan Perak. Tapi pas aku scroll ke bawah, loh kok ada Depoknya. Ya udah aku baca. (Tangannya memainkan layar handphone, menaik-turunkan laman)
Aku: (terbahak) Iya, penuh dedikasi tu aku bikinnya.  Abis bbman sama kamu, langsung mikir kaya gitu aku.  Tapi waktu kejadian, kamu nggak nangis kan le?

Serabi Solo: Dikit lagi aku nangis nduk. Bayangin, waktu itu lagi mudik kan, abis pesawat delay hampir 5 jam, terus nunggu bagasi, trus nelponin kamu nggak bisa-bisa, eh tiba-tiba dapet bbm kaya gitu. Shok. Yang niatnya mau minta temenin sambil pdkt, eh malah disuruh berenti manggil Icha. (tertawa mengenang yang telah lalu)

Aku: Iya, maaf ya. Nggak kepikiran sampe kesitu. Tapi kan ada hikmahnya. Kalo kemaren kamu tetep manggil aku Icha, kamu nggak bakal ketemu
mbak Asti
. Betul kan?

Serabi Solo: (tertawa)
B
ener itu.

Aku:  (ikut tertawa, sembari duduk gelisah)  Jadi gimana sama si mbaknya?  Udah sampe mana rencananya?  Kapan mau merid le?

Serabi Solo:  Insya Allah, akhir tahun ini (tersenyum super sumringah)

Aku:  Whatt???? Lee, aku belum siap leee!! (merajuk, merengut, kemudian tertawa)

Serabi Solo:  (tergelak)  Lah, aku yang mau mantenan, kok kamu yang sibuk nggak siap.  Aku kan mantennya bukan sama kamu.

Aku:  Hahaha, iya sih, emang bukan sama aku.  Waktu nikahan Jagoan Gading aku juga bilang gitu,  Aku belum siapp!!! Belum siap pasangannya maksudnya (tertawa)

Serabi Solo:  Ya kamu siap nggak siap, ya aku tetap manten.

Aku:  Eh kamu belum pernah cerita ke aku, gimana ketemu sama mbak Asti.

Serabi Solo:  Kita juga kenalnya nggak sengaja kok.  Dia itu kenalannya sepupuku.  Awalnya dia minta sepupuku jadi Pagar Bagus, nemenin dia yang jadi Pagar Ayu.  Tapi karena sepupuku nggak bisa, jadinya aku yang gantiin.  Abis itu, aku yang gantian minta temenin dia ke nikahan Penghuni Tebet.  Kamu kan masih galak tu waktu itu, sekitar bulan September apa Oktober tu.  Ya udah, kita lanjut dari situ.

Aku:  Berarti bener ya, sikap aku kemaren.  Coba kalo kamu tetep manggil Icha, kita tetep dateng ke nikahan Penghuni Tebet, pasti nggak gini kisah cintamu sama mbak Asti.  Wow, I’m happy for you two, guys.

Serabi Solo:  (tersenyum, mengangguk, tersipu)

Itu benar.  Saya benar-benar gembira mendengar berita itu.  Karena jujur saja, saya sedikit takut tatkala Serabi Solo kembali memanggil saya Icha.  Bahkan sempat terlintas di pikiran saya, panggilan tersebut muncul karena Serabi Solo sedang menghadapi permasalahan dengan mbak Asti.  

Namun ternyata tidak.  Syukurlah.

Sungguh jalan cerita hidup tak ada satupun yang tahu.  Cerita yang satu dapat terhubung dengan cerita yang lain.

Andaikan siang itu kami tidak meributkan sertifikat TOEFL, saya tidak akan tahu jika “Depok-Bekasi” sudah menjalankan tugasnya dengan baik.
Jika dia tidak meminta izin untuk memanggil saya Icha lagi, mungkin saya tidak akan terpikir untuk menciptakan “Depok-Bekasi”.
Jika dia tidak meminta izin untuk memanggil saya Icha lagi, mungkin itu artinya dia tidak pernah berhenti memanggil saya Icha.
Jika dia tidak pernah berhenti memanggil saya Icha, mungkin dia tidak akan pernah bertemu dengan mbak Asti.

Tapi kenyataannya tidak.

Dia tak lagi memanggil saya Icha, tak lama setelah saya memintanya.
Kami tidak pernah datang ke pernikahan Penghuni Tebet bersama-sama.
Dia meminta izin saya terlebih dahulu untuk kembali memanggil saya Icha.
Dan yang paling utama, saya menciptakan "Depok-Bekasi".

Hidup itu benar-benar sebuah misteri.  Misteri indah yang oleh manusia, yang sebetulnya sungguh sangat beruntung, hanya perlu dijalani dan dinikmati.  Tanpa perlu diiringi kecemasan berlebihan.  

-Sudirman-Bekasi-Sudirman, 17 September 2013-



Buat kamu yang ada di seberang sana, yang mungkin sedang membaca postingan ini.
Jika dia tidak pernah berhenti memanggil saya Icha, saya mungkin akan berhenti menantimu.
Tapi kenyataannya tidak.
Dia berhenti memanggil saya Icha, membuat saya tetap menantimu. 
Dan saya mensyukurinya.
*edited on Jan.12, 2015



Jumat, 13 September 2013

Sedan Perak


Brief post.

Hari ini, mantan calon gebetan gue resmi resign dr kantor.  Apakah gue sedih?  Nggak sih, biasa aja.  Soalnya emang kisah gue sama dia udah berakhir lama sekali.  Cuma konco-konco tetep aja suka godain, dengan harapan gue bakal kembali tersipu-sipu malu yang menimbulkan semburat merah saat menatap wajah lembutnya.  Hahai, not's gonna happen, bro!

Sebut saja dia Sedan Perak. Perawakannya kurus tinggi, wajahnya tampak lugu, lengkap dengan sorotan mata yang tenang namun tajam, serta deretan giginya yang rapih (gue selalu lumer saat melihat senyumnya).  Tak lupa kacamata minusnya yang semakin membuat penampilannya terlihat pinter.  Emang pinter sih.  Dia itu lulusan universitas luar negeri, trus udah lulus 2 dari 3 ujian, yang konon kabarnya susahnya luar binasa, yang harus diikuti untuk dapetin gelar CFA (entah apa itu maknanya).  Posisinya di kantor, Analis, yang menurut gue butuh ketekunan super karena harus mengkombinasikan antara kerja otak dan data-data dari dunia maya.

Nah, awal pertemuan gue sama dia, biasa aja sih.  Perasaan dan otak gue belum tergelitik untuk menyisihkan sedikit rasa buat dia.  Tapi dasarnya sama-sama jomblo, maka dijadikanlah kejombloan itu sebuah alasan oleh konco-konco gue untuk memerpersatukan kami berdua (baca=nyoblangin).

Mungkin karena gue (kami) masih terlihat muda (padahal umur kami sama2 sudah lewat kepala kembardua), gaya pencomblangan yang diusung sama konco-konco, bisa dibilang tipikal anak sma.  Pake acara salam-salaman, cie-ciean, diatur supaya duduk deket-deketan pas makan siang, kondangan bareng, satu tim pas games, atau tindakan-tindakan lain yang sifatnya maksa.

Pertamanya sih gue tetep cool, biasa aja.  Tapi ternyata, penyakit Puppy Love gue kambuh!!  Gue jadi suka sama si Sedan Perak. Hahaa.  Nah, kalo penyakit ini udah kambuh, apapun yang gue lakuin jadi serba salah.  Contoh.  Tiap liat dia jalan atau senyum, kupu-kupu di perut gue mulai  terbang berhamburan.  Dan parahnya, kalo konco-konco lagi kumat godaknya.  Setiap tanggapan yang bakal gue kasih pasti salah.  Soalnya gue udah salah tingkah duluan.  Yang lebih parah lagi, gue kan setengah mati ngusahain supaya perasaan gue ni nggak ketauan sama siapa-siapa.  Gue belagak pilon, nggak ngerti sama kode-kode konco-konco.  Yah, paling gue cuma senyam senyum nimpalin tu kode.  Dan gue pikir, poker face gue udah yang paling ok.  Tapi ternyata, gue salah saudara-saudara.  Justru sikap salah tingkah gue terlihat nyata.  Maka jadilah tu konco-konco, semakin meraja-lela mem-buly kami berdua.

Sebenernya gue nggak nolak juga sih, kalo ternyata akhirnya gue punya jodoh sama tu orang.  Nggak heran dong, waktu akhirnya dia tiba-tiba ngajak kondangan bareng, gue terimalah ajakan dia dengan penuh suka cita (yang akhirnya gue tau kalo dia ngajak gue kondangan karena paksaan konco-konco gue, damn!).  Berlanjut dah kita nonton bareng, sempet 3 kali apa ya waktu itu.  Tapi udah cuma sampe situ aja.  Kenapa? Ada alasannya.

Pertama. Dia itu orang paling sussaaah yang pernah gue kenal buat diajak ngobrol.  Berasa kaya lagi ngomong sama tembok.  Tiap komunikasi, hampir 90% bahan omongan dari gue.  Sukur-sukur ditanggepin.  Lah ada berapa kali kejadian, dia lebih fokus dengerin radio dibandingin omongan gue.  Ntah ada syaraf pendengarannya yang putus, ato emang bahan omongan gue yang nggak menarik.  Tapi kayanya nggak juga deh, secara gue itu lumayan supel.  Jadi intinya, dia yang rada eror.

Kedua.  Dia itu nggak ngerti gimana caranya bersosialisasi dengan cewek (baca=kencan).  Ya masa iya, suatu ketika di Blitz Megaplex, tersebutlah seorang cewek membawakan tiket nonton plus popcorn ukuran L plus botol minum buat si cewek plus tas cewek ala anak muda, sedangkan sang cowok cuma lenggang kangkung sambil megang botol minum buat dirinya sendiri.  

Ketiga.  Dia itu tata kramanya agak kurang pas.  Masa, disuatu malam ketika gue pulang dari nonton, nyokap gue nanya, "Mba, itu temennya tukang koran apa tukang ojek?  Abis nganterin kamu kok langsung ngacir pulang aja.  Nggak sopan."  Waduh, dunia percintaan pun gonjang ganjing jikalau ibunda tercinta sudah berkata demikian.

Intinya, selain segala kelebihannya, ada juga beberapa kekurangan.  Dan gue sadari, bahwa gue nggak klop untuk bersanding dengannya.  Apa yang gue cari dari seorang laki-laki, nggak gue temukan darinya.

Nah, datangnya kesadaran gue itu kejadiannya udah lama banget, lebih dari 1tahun.  Nggak heran dong, kalo akhirnya, waktu tadi kita ngumpul buat trakhir kalinya, walaupun diceng-cengin semaksimal mungkin, tetep aja gue cuma ketawa-ketawa doang.  Nggak sedikitpun ada kupu-kupu lepas di perut.  Walaupun salah satu konco gue ngotot, muka gue kemerah-merahan, gue bisa ngejamin 1000%, gue udah nggak ada feeling lagi sama dia.

Alhamdulillah.

Pokoknya, gue doain yang terbaik buat lu, Sedan Perak.

-Comuterline, 13 September 2013-

Kamis, 12 September 2013

Teori Kantong Plastik

Aku punya sahabat, cukup kental, sekental kopi hitam yang umumnya dibuat bapak-bapak dipagi hari.  Namanya.., well, tampaknya tidak perlu aku sebutkan disini.  Bisa ketahuan nanti, jati diriku. Hehe.  Sebut saja, si Kodok Merah.

Hampir 4 tahun lamanya kami menimba ilmu di kota Pelajar, setelah sebelumnya menimba ilmu pengetahuan di SMA yang sama.  Kebetulan pula, kami tinggal di satu kosan yang sama, meskipun kamar kami terpisah lorong, begitu pula dengan kampus kami.  Namun, hal ini tak membuat kami tercerai berai. Halah, ngawur.  Padahal ide yang mau aku sampaikan ditulisan ini sungguh sangat berat.

Singkat cerita, kami berdua, bersama dengan beberapa konco lain di atap kosan yang sama itu, sering cekakak-cekikik, bergosip.  Apalagi kalo bukan masalah laki-laki.  Mulai dari yang paling umum.  Tentang si A yang sudah pacaran sekian lama, namun nggak disetujui atau bahkan diketahui oleh orang tua, karena beda kepercayaan.  Tentang si B yang sudah lamaaa sekali memendam rasa sama seorang cowok, tapi nggak punya keberanian buat ngomong.  Tentang si C yang punya pacar yang hobinya grepe-grepe, dianya risih tapi asik dan ketagihan.  Tentang si D yang udah dijodohin sama orang tuanya sejak dia kecil (maklum, adat yang menuntun jalannya).  Tentang si E punya banyak pacar.  Tentang cowok-cowok yang kosnya berada tepat di depan kosan kami.  Tentang cowok-cowok lain.

Nah, disuatu malam, ketika udara di kamarku yang biasa dijadikan markas mulai menipis akibat terhisap oleh kuatnya tarikan napas melalui mulut (baca=nguap), satu persatu dari konco-konco kosan pun meninggalkan markas.  Hingga akhirnya tinggallah aku dan si Kodok Merah.

Apa yang kami lakukan selanjutnya?  Kembali bergosip?  Tidak.  Kami berdua mulai menyimpulkan, makna pembicaraan kami sebelumnya.  Sebetulnya si, ide awalnya datang dari si Kodok Merah.

"Emang ya, Ning (diambil dari stabilokuNING), manusia itu nggak ada yang sempurna.  Nggak cowok, cewek, semuanya sama aja.  Punya kelebihan dan kekurangan.  Cuma jenis kelebihan dan kekurangannya aja tu yang beda-beda, dan nilainya beda-beda.  Tapi kalo dikumpul-kumpulin, intinya tetep sama nilainya," gumam si Kodok Merah, sambil menatap Shaun the Sheep, acara yang ketika pertama kali ditayangkan justru di tengah malam bolong.

Aku yang mulai kehilangan daya konsentrasi, hanya melirik kearahnya.  Sahabatku yang lagi belajar Psikologi itu memang suka mengemukakan pandangan-pandangan absurb, yang perlu sekian waktu bagi pikiran dan alat komunikasinya agar dapat merangkai kalimat yang tepat, sehingga aku mampu menangkap maksudnya (atau mungkin daya nalarku-lah yang sebenernya kurang baik).

"Bener deh Ning, emang gitu.  Kayanya bisa jadi teori baru ni," katanya, acuh tak acuh terhadap lirikanku.  Terlepas dari sikapnya yang tampak ogah-ogahan, aku tau kalo otaknya sedang bekerja dengan giat, merangkai sebuah teori absurb baru yang kerap kami lakukan bersama.

"Pemikiranku si gini.  Tuhan menjadikan setiap manusia ini, masing-masing memiliki nilai, anggeplah 100.  Trus, Tuhan menyediakan sifat-sifat, baik sifat baik ataupun buruk, untuk dipilih sama manusia ataupun yang memang merupakan takdir manusia.  Biar gampangnya, kita sebut aja kantong plastik," gumamnya sambil matanya tak lepas dari layar tv.

"Nah, nanti si manusia bisa milih, mau masuk kemana.  Tapi inget, nilainya itu gak ada yang minus, meskipun sifatnya itu yang jelek.  Soalnya kan kita mau ngabisin nilai 100 yang kita punya," jemarinya mulai mengetuk-ngetuk lantai secara berirama, dimulai dari kelingking hingga telunjuk.

"Misalnya ni, contohnya pacar si A.  Ganteng, tinggi, atletis, tapi sayangnya agak bau badan, sama lemot, sama yang paling penting, beda keyakinan sama si A.  Kalo menurut aku, ganteng, tinggi, atletis itu nilai positif secara fisik, jadi nilainya 20; kalo negatifnya, bau badan sama lemot, nilainya 10 masuk ke kantong plastik fisik yang negatif, tapi yang paling utama si beda agama sama si A, jadi nilainya 30 ke kantong negatif secara umum.  Sedangkan sisanya, aku nggak tau karena aku nggak begitu kenal sama dia."

Aku masih  ogah-ogahan mendengar celotehannya, meskipun tak kupungkiri pikiranku mulai tergelitik merespon pemikirannya.

"Terus temen kita tu, si B.  Dia pinter, manis, agamanya juga bagus, sejauh yang aku liat nggak pernah bolong kalo solat kaya kita, hehe.  Tapi sayangnya, dia gendut, pemalu, kurang pinter berbaur sama sekitar.  Jadi nilainya, kantong yang positif dari fisiknya dia itu manis, jadi nilainya 10, tapi dia pendek, jadi 10.  Kalo kantong sifat, masalah pinter, rajin ibadah, nilainya gedee, skitar 40, tapi sifat pemalunya itu juga musti diitung, sekitar 10 aja biar genap.  Jadi totalnya 70, tinggal 30 point lagi yang kita nggak tau dia masukin kantong mana."

Aku akhirnya menatap temanku ini dengan pandangan takjub.

"Kalo kamu..," dia menoleh kearahku, sontak membuatku melotot.  Antara senang dan takut.

"Kamu itu, walau nggak cakep-cakep banget, rada jerawatan, pendek, suka pake baju serampangan, tapi ada sesuatu yang menarik dari kamu.  Kebanyakan cowok yang ketemu sama kamu, pasti pengen ketemu lagi.  Kamu juga baik, sikap peduli lumayan tinggi, nggak terlalu ngeduluin diri sendiri. Tapi sayangnya, kamu itu kadang terlihat angkuh, sombong, terlihat mendominasi.  Trus terlalu cepat menyimpulkan sesuatu, terutama sikap cowok-cowok ke kamu, trus jadinya kamu takut sendiri, trus kamu lari.  Jadi, nilai buat kamu, kantong secara fisik positifnya 20 negatifnya 10, kantong sifatmu secara positif aku kasih nilai 20, tapi negatifnya juga tinggi, 20.  Jadi imbang kan tu.  Nah, sisanya 30 point lagi aku masih belum tau, soalnya aku yakin masih banyak yang aku belum liat dari kamu," ujarnya, serius sekali, membuyarkan seringai di wajahku.

"Kalo aku, nah ini yang rumit.  Aku nggak bisa nilai diri aku sendiri, nanti sifatnya jadi subjektif.  Coba kamu yang kasih penilaian."  Si Kodok Merah merubah posisinya, duduk selonjoran bersandar lemari pakaian, menghadapku.

Ditodong seperti itu, giliran pikiranku yang bergerak cepat, merangkum dan mengumpulkan semua informasi yang aku punya tentang sahabatku yang satu ini.

"Baik, akan saya coba memberikan penilaian saya terhadap saudari Kodok Merah."  Aku amati dia, dari ujung kepala sampe ujung kaki, yang tentunya nggak sampe satu meter karena posisinya lagi duduk.

"Kalo kamu, fisikmu tu ok banget, Dok.  Berat dan tinggi badan yang ideal, bahkan aku aja iri kadang-kadang.  Apalagi liat betismu yang nggak ada "telor"nya sama sekali. haha.. Tapi sayang, sama aja kaya aku kamu jerawatan, dan rambutmu, seperti yang kita tahu, rada keriting. hehee..  Kalo sifat, kamu itu orangnya super baik, sejajarlah sama aku baiknya.  Pembawaanmu si yang bagus, tenang.  Bisa matahin stigma selama ini yang katanya perempuan ini lebih banyak make perasaan dibanding pikiran.  Tapi jeleknya, kamu itu susah bergaul, kalo nggak diajak, kamu cenderung nggak mau ngajak.  Pendiem, mungkin bisa digeneralisir kaya gitu.  Dan sebagai cewek, kamu terlalu tomboy.  Hati-hati, nanti kamu bisa kehilangan pengalaman pacaran selama kuliah. Jadi, kantong sifatmu, positifnya nilainya 30, negatifnya 15.  Kalo fisik, positifnya 15, negatifnya 10.  Loh, sisanya 30 juga sama kaya aku," aku menerangkan semampuku.

"Jadi, intinya nggak ada manusia yang sempurna.  Karena kesempurnaan sendiri itu sebenernya relatif.  Bisa dibilang, sempurna adalah ketika kamu bisa memasukkan semua nilaimu ke kantong-kantong yang sifatnya positif.  Tapi kan bisa juga sempurna adalah ketika kamu bisa sedikit menyisipkan nilaimu ke kantong-kantong negatif, tapi sifat negatifmu itu bisa tercover sama sifat positifmu."

Aku tertawa.  Pukul 02.00 dini hari, dan kami membuat satu teori baru.  Teori kantong plastik.


Credit for: EPMS alias Kodok Merah



-Jogjakarta, suatu malam diantara malam-malam panjang sepanjang 2007 s.d 2011-

Sabtu, 07 September 2013

Depok - Bekasi

Well, i wanna make a confession.

Someone who used to call me Icha, and haven't done that for the past almost a year, did that again tonight.  We talked via messenger, and all the sudden, he asked my permission to call me Icha once again.  And I said, "Please, go ahead."  

There was a story as a reason why he asked my permission to call me Icha.  He was kinda liked me back then, about last year.  But sadly, I was too afraid of his aggressiveness on approaching me.  So, instead of getting closer, I decided to cut it off and run away. 

We started as friends.  He called me as my real name.  After several texting messages and hang out together, he called me Icha, my nickname for my beloved one such as family.  Long story short, our relationship grew more than just friends.  He started to act more as a friend in which making me, as I said before, cut it off and run away.

Basically, the entire thing I did back then to him, was because I felt like he did too much on everything.  In fact, he gave me afraid, by giving so much attention and passion to me.  By texting me more than 3 times a day, coming to my house at 11 pm just to give me chocolate and wish me get well soon (I was on my healing process after got hospitalized for typhus), or as simple as twitted something in which describe me when I was on my way to go to the office by train.  He even drew a picture of me.  I felt like he was stalking on me.  And it was creepy.

Maybe, he did that because he wanted to show me how much he cared about me.  I enjoyed it at first.  He was a good guy with good looking face and personality.  But then, I felt uncomfortable.  Maybe I spent too much time on being single, so I was used to be alone.  Or maybe, I was just a simple girl who didn't need that much attention from a boy approaching me.  And I choose second alternative.

At one moment, when I felt like it was enough, I told and explained to him.  That I wasn't the type of girl who might fall in love solely because of attention, even too much attention.  I liked a boy knowing when to move forward with full attention or move backward acting as he didn't care.  And I asked him to reduce his texting to me.  And then, I asked him not to call me Icha.

It was hard, but as time goes by, we can be normal and be friends again.

So, what’s the point?

Actually, I want to apologize to him.  For not giving him a chance to get to know me better, for shutting the “door” even before he got in the “fence” and “knock my door”.  I closed it soon after I felt uncomfortable with him.

After he called me Icha tonight, I traced back our relationship by our historical of communication. With my crystal clear mind and thought, I realized, it wasn't 100% as I thought before.  Yes, he was and he is a very friendly person, love to talk to anyone.  Yes, he came to my home at 11 pm, but not solely just to give me chocolate, but because he was with his cousin, on their traveling time and coincidentally passed by my house.  Yes, he twitted about me, but who don't?  Even I do that, twit about someone or something I like.  Yes, he drew some sketches of me, but it’s not creepy.  It showed his passion positively.

With that bombshell, I plead guilty.  I judged him wrong.  I am sorry.

Now, he has a girlfriend.  I’m happy for him, wishing them the very best of luck and love.  They seem happy.  And I wish I could feel the same feeling soon, with someone who has been waiting for me out there.

Credit for:  LHPA


-Bekasi, 6 September 2013-